Mohon tunggu...
Jefri Suprapto Panjaitan
Jefri Suprapto Panjaitan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

pecandu kenangan, penikmat masalalu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tentang Gadis Tetanggaku

19 Januari 2023   18:02 Diperbarui: 6 April 2023   00:44 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secangkir kopi dengan rokok yang sudah terbakar di sekat jari, menemaniku menyambut matahari membuka gerbang aktivitas di desaku. 

Seperti biasa, lalu lalang orang-orang menenteng cangkul di pundaknya dengan berlatar sawah dan gunung menjadi pemandangan setiap pagi yang ku nikmati sebelum berangkat ke tempat aku menghabiskan waktu mengais rezeki. 

Sesekali mereka yang lewat dari hadapan ku terlihat melempar senyuman sembari menyapa dari kejauhan. Hal ini lah yang membuatku betah berlama-lama duduk di teras rumah.

Saat sedang menikmati kegiatan pagi ku, tiba-tiba terlihat bayangan hitam keluar dari pintu rumah tetanggaku, bayangan itu terlihat sedang memegang tongkat kayu di kedua tangannya. 

Pasir-pasir kecil terlempar dari dalam rumah, debu terlihat jelas terpantul cahaya matahari. Sepasang kaki putih mulus tanpa bulu berbalut kutek di kuku kakinya melangkah keluar dari pintu rumah. 

Aku terkejut dan semakin mengarahkan pandangan ku ke rumah itu, karena tetanggaku tidak ada yang memiliki kaki semulus itu. 

“Yakali petani yang tiap hari menginjakkan dan merendam kakinya selama berjam-jam ke dalam lumpur punya waktu untuk memakaikan kutek di kuku kedua kakinya.”

Anak gadis berkulit putih, rambut terurai dengan daster sambil memegang gagang sapu keluar dari rumah. Perempuan itu baru pertama kali aku lihat, kopi hangat dan rokok yang selalu menemaniku setiap pagi dengan pemandangan desa tidak seindah biasanya. 

Tiba-tiba gadis cantik itu menoleh ke arahku, sontak aku mengalihkan pandangan ku dari dia, karena aku akan merasa malu jika tertangkap basah memandangnya dengan kekaguman.

Setelah gadis itu kembali ke rumah, aku mulai melamun dan bertanya-tanya dalam angan, siapa gadis cantik itu sebenarnya. Tiba-tiba suara ibu terdengar memanggil dari dapur

“Joy mandi cepat, sudah jam berapa ini, nanti kamu kesiangan berangkat kerja”

“Iya mak…” mak begitu panggilan kami anak-anaknya kepada ibu yang telah melahirkan 3 orang anak, yang salah satunya adalah aku.

Kemudian aku langsung bergegas ke kamar mandi, di dapur aku melihat ibu sedang melaksanakan kewajibannya sebagai ibu dan sebagai seorang istri. 

Rumahku tidak terlalu besar, dapur dan kamar mandi berdampingan, jadi kalau ingin ke kamar mandi berarti harus ke dapur juga. 

Saat ingin melangkah masuk ke kamar mandi, di depan pintu kamar mandi yang gagang nya sudah kupegang itu, muncul niat untuk menanyakan siapa gadis cantik yang kulihat tadi di rumah tetanggaku.

“Mak, perempuan yang dirumah nenek iting itu siapa?” Jadi tetangga ku yang jarak rumahku ke rumahnya hanya satu meter itu adalah sepasang suami istri yang sudah berumur. Kami orang desa memanggilnya nek iting. Sepengetahuan ku, anak-anak mereka sudah pada berkeluarga dan tinggal di luar kota semua.

“Memang tadi kamu sudah melihat viola ya?”

“Iya tadi aku melihatnya menyapu rumah” sambil dalam hati berkata, nama gadis cantik itu ternyata viola.

“Dia itu cucu dari anak pertama nek iting, setahu ibu dia baru sampai kemarin sore dari jakarta, katanya sih lagi liburan.”

Aku langsung masuk kekamar mandi, setelah itu berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Jadi saya bekerja di salah satu perusahaan kertas yang berada di kabupatenku, sekitar 30 menit menggunakan sepeda motor dari rumah tempat saya tinggal. 

Setelah lulus dari SMA, saya memutuskan untuk langsung mencari pekerjaan, dan puji Tuhan langsung diterima di salah satu PT yang bergerak mengolah bubur kertas. Tempat saya bekerja ini merupakan perusahaan terbesar di kabupaten kami.

Sekitar jam 5 sore saya meninggalkan rutinitas membosankan itu, mengendarai sepeda motor yang aku beli dengan uang sendiri. 

Menikmati senja di sepanjang ujung bentang sawah yang saya lewati setiap sore, sambil melihat para petani masih dengan semangat mengayunkan cangkulnya ke tanah dibawah sinar matahari yang mulai redup.

Sampailah di rumah, setelah mematikan mesin motor, saya membuka helm. Entah kenapa pandangan saya langsung tertuju ke rumah nenek Iting.

Ternyata gadis cantik yang saya lihat tadi pagi ketika menyambut matahari, terlihat kembali ketika menghantarkan matahari ke ujung barat, masih dengan kegiatan yang sama. 

Gagang sapu di kedua tangan nya, namun tidak menggunakan daster lagi. mata kami bertemu di titik yang sama, dia melemparkan senyuman yang begitu indah, dan aku membalasnya dengan senyuman sembari menganggukkan kepala. Senang sekali rasanya, aku bisa melihat senyum indah diwajah cantik nya itu, meskipun tidak terlalu lama.

Seperti biasa, sesampainya dirumah saya langsung mandi dan buru-buru mengatur penampilan. Lalu duduk-duduk diteras rumah, sambil berharap gadis cantik itu keluar lagi dari rumah. hampir 1 jam duduk diluar, gadis itu tak kunjung terlihat. 

Aku masuk lagi ke rumah untuk mengambil buku dan pulpen yang biasa aku gunakan untuk menulis puisi. Aku memang gemar menulis puisi, sejak duduk di bangku SMA sudah banyak puisi yang telah kutulis.

Namun tidak pernah aku perlihatkan kepada orang lain. Karena memang puisi yang ku tulis, semua tentang keluh kesah yang ku alami. Menurutku puisi hanya media untuk mencurahkan isi hati dan tak perlu di perlihatkan kepada semua orang lain.

Kutulis puisi tentang gadis cantik yang kulihat pagi itu, ku rangkai kata yang menggambarkan nya didalam hatiku. 

Aku memang bukan orang yang punya keberanian untuk mengajaknya mengobrol atau sekedar berkenalan. Oleh karena itu, gadis cantik yang membuatku kagum karena parasnya yang begitu cantik hanya mampu ku ceritakan dalam puisi.

Suasana desa sudah mulai sunyi, pertanda malam telah berjaga. Gadis cantik itu tak kunjung terlihat keluar dari rumah, bahkan sampai puisi tentang dirinya selesai ku tuliskan. 

Aku masuk ke kamar, menyimpan puisi yang kuberi judul viola di meja dengan tumpukan puisi di atasnya. Kemudian aku berbaring untuk mengistirahatkan badan yang telah bekerja satu harian. 

Dari celah-celah daun jendela kamar yang terbuat dari kayu, cahaya rembulan memaksa masuk dan terhenti tepat di wajahku. Cahayanya memberikan keberanian dalam angan untuk mengajak gadis cantik bernama viola itu berkenalan. “besok pagi ketika aku melihatnya keluar dari rumah, aku akan menyapa dan mengajaknya sekedar berkenalan.”

Ayam berkokok dan alarm yang biasa membangunkan tidur berbunyi tepat disamping telinga. Aku bangkit dari tidur dan seperti biasa menyiapkan kopi dan nongkrong di teras rumah sambil menikmati suasana pagi. Berharap keberanian yang telah dikumpulkan tadi malam tidak hanya sekedar angan yang terhembus oleh angin pagi.

Cuaca cukup cerah pagi itu, matahari bersinar dengan sempurna. Bayangan hitam dengan gagang sapu terlihat didepan pintu tetanggaku. Pasir-pasir kecil terlempar dari dalam rumah, debu terlihat jelas terpantul cahaya matahari. 

Aku bersiap untuk menyapanya. Sepasang kaki yang keriput dan tidak semulus kaki yang kulihat pagi kemarin melangkah keluar dari pintu, ternyata nenek Iting yang keluar. Aku terkejut, untung tidak langsung aku ajak berkenalan kataku dalam hati.

Sontak aku bertanya pada nenek Iting.

“Nek, viola di mana, kenapa nenek yang menyapu rumah?”

“Dia sedang membereskan barang-barangnya, karena dia akan pulang ke jakarta, ada kegiatan mendadak katanya, jadi pagi ini harus berangkat.”

“Oh begitu ya nek.” Dengan nada menyesal

Anganku langsung hilang, aku belum sempat mengajaknya berkenalan ternyata dia harus pulang. Tapi tidak apa-apa, walaupun dia belum mengetahui namaku, paling tidak senyumnya sudah kutuliskan dalam bentuk puisi. 

Memang gadis cantik itu hanya bisa kuceritakan lewat puisi, dan aku mensyukuri itu. Walaupun dia hanya bisa kumiliki lewat imajinasi.

Aku kembali melakukan aktivitas seperti biasa, sambil sesekali meminta kepada Tuhan supaya dia bisa datang kembali ke rumah neneknya, dan aku bisa bercerita banyak dalam puisi tentang Viola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun