Saat itu aku berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Sudah cukup umur untuk mengetahui banyak hal. Seperti hal pertama yang kusadari dan membuat aku ingin mati saja adalah betapa aku berbeda dengan ketiga kakak perempuanku dan begitu  banyaknya perhatian yang mereka dapat dari ibu bapak, bahkan semua orang yang mengenal kakakku -- memuja  mereka.
Bermain-main di halaman saat terang bulan adalah surgaku. Hanya ada aku dan  malam yang mengalah untuk kemuliaan bulan. Hanya aku sendiri karena ketiga kakakku duduk di teras tetangga sebelah menikmati puja puji yang diberikan ibu-ibu bermulut lancip.
Aku pernah penasaran dengan obrolan mereka. Kutinggalkan mainanku dan bergabung dengan mereka hanya untuk mengetahui bahwa aku begitu jelek untuk menjadi adik mereka. Dan dengan begitu pongahnya Si Nomor 1, yang paling cantik mengatakan aku hanyalah anak sisa.
Sejak saat itu aku membenci ketiga kakakku. Aku membenci kulit putih bersih mereka. Aku membenci rambut panjang halus mereka. Aku membenci mata indah cemerlang mereka. Dan, aku juga membenci kedua orangtuaku karena membuat aku lahir ke dunia ini hanya untuk menjadi Si Buruk Rupa.
Di suatu malam, di masa-masa kegeramanku dengan ketiga kakak perempuanku, aku berdoa agar Tuhan berbaik hati mengambil nyawaku saat aku tidur. Maka dari itu, aku pun mempersiapkan kematianku dengan cukup baik. Aku memakai baju kesukaanku. Aku tidur dengan posisi selayaknya orang mati. Dan berdebar-debar menunggu kantuk datang, terlelap, dan aku pun mati.
Tapi tidak segampang itu. Di kamar sebelah ketiga kakakku tertawa cekikan, aku tidak tahu mereka menertawakan apa. Tapi aku yakin mereka menertawakanku. Aku semakin membenci mereka dan semakin mantap untuk segera mati.
Tapi, aku tidak mati, tidak semudah itu.
-
Aku melewati para tetangga yang datang ke rumah untuk memberikan selamat kepada Si Nomor 1 atas diterimanya di perguruan tinggi negeri di ibukota. Sudah cantik, pintar lagi. Begitu yang aku dengar. Ayah Ibu tersenyum dan mengangguk atas semua pujian itu, terlebih kakak keduaku matanya semakin cerah.
Setelah  orang-orang kembali ke rumah masing-masing, aku keluar dari kamar dan melihat bapak memainkan rokok kreteknya -- bapak sedang memutuskan sesuatu. Ibu sepertinya lepas tangan, dia memilih untuk menyibukkan diri di dapur karena senja telah berganti malam.
"Rum, apakah tidak sebaiknya mengambil perguruan tinggi x saja, lebih dekat..."
"Aku sudah mantap, Pak... Aku bisa jaga diri kok."
Aku yang sedari tadi berdiri dan bersandar di kusen pintu kamar, mengganti posisi. Aku duduk bersila dan menyaksikan betapa kerasnya Si Nomor 1. Dia tak akan mau masuk perguruan tinggi x, mau ditaruh di mana mukanya yang sudah gembar-gembor mengumumkan bahwa dia akan segera menjadi anak ibukota.
Aku tahu, sebenarnya bukan masalah jauh dekat tapi soal duit juga. Bapak memang punya sawah yang luas. Tapi tetap saja mengeluarkan duit segitu  untuk menguliahkan satu orang terbilang cukup besar. Aku optimis bapak akan menawar keputusan Arum. Masih banyak kebutuhan lain, masih ada tiga orang kepala lagi yang masih harus disekolahkan. Tapi aku salah. Bapak tersenyum, berdiri dan menghampiri Arum. Menatap anak pertamanya itu dan mengusap kepalanya. Selesai.
Arum menang.
Di meja makan, ketiga kakakku cekikikan. Aku diam menatap mereka bergantian menatap ibu dan bapak. Â Kemenangan Arum adalah tiket untuk kedua kakakku. Aku yakin itu.
-
Tahun demi tahun berganti yang tersisa hanyalah rumah tempat aku dilahirkan dan besar. Semuanya habis demi menyekolahkan ketiga saudariku. Bapak sebelumnya hanya duduk menghitung kebutuhan pupuk, hasil panen, gaji pekerja, dan penjualan padi kini memanggul cangkul untuk mendapatkan uang demi kebutuhan sehari-hari.
Ibu sudah tak sekuat dulu lagi, kini aku yang menggantikan ibu mengurus rumah. Terkadang  aku tak lagi mengenal Ibu dan Bapak. Wajah letih mereka, tatapan kosong matanya, hasil keringat mereka, semua habis tak bersisa.
Tidak ada yang tersisa untukku.
-
Bapak pulang. Aku mendengar bunyi peralatannya  di depan. Ini masih siang. Bukan jamnya bapak pulang. Aku menyelesaikan cucian piring dan menyambut bapak.
"Pak, sudah pulang?"
"Panggil Ibumu, dek."
Pasti telah terjadi sesuatu dengan mereka. Tak ada yang bisa membuat bapak pulang ke rumah saat matahari masih tinggi selain mereka. Aku mengetuk pelan pintu kamar dan tanpa menunggu dipersilakan, kubuka pintu dan kulihat ibu sedang memilah-milah perhiasannya. Aku menunduk tak ingin melihat itu.
"Bapak sudah pulang, pengen ngobrol sama ibu..."
Ibu meraup semua perhiasan itu dan memasukkan ke suatu tempat. Aku mendongak saat ibu menarik daguku, membelai rambutku, dan menggandengku menuju ruang depan.
Tak lama setelah kami bertiga duduk dalam diam. Bapak memecah kehengingan itu dengan kabar yang aku, dan mungkin kedua orangtuaku tidak tahu apakah harus berbahagia atau bersedih.
"Arum telepon, dia sedang perjalanan pulang dengan calon suaminya. Dia akan menikah."
Ibu tertunduk lesu, meremas jari-jarinya, "bukankah dia baru lulus dan sedang mencari pekerjaan, pak?"
Bapak tidak menjawab. Tanpa aba-aba kami beranjak menyalakan api dan menyiapkan segala sesuatunya. Aku menangis saat bapak menangkap dua ekor ayam betina gemuk untuk digulai sesuai kesukaan Arum dan ibu yang memilih perhiasan terbaik miliknya untuk dikenakan anak pertamanya di hari pernihakannnya.
Aku juga ingin hidup. Sisakan untukku. Jangan kalian ambil semua!
-
Aku mampir ke warung, membeli gandasturi kesukaan ibu dan bapak. Ketiga kakakku sudah bahagia dengan keluarganya masing-masing. Kini giliranku untuk bahagia dengan kesederhanaan yang memang sudah menjadi bagianku. Aku sudah bekerja, punya penghasilan sendiri, bisa membantu dan menemani kedua orangtuaku menjalani masa-masa tua mereka.
Terkadang momen dimana aku ingin mati, melompat begitu saja  di pelupuk mataku, aku tertawa sendiri dan bersyukur Tuhan tidak terlalu ambil pusing dengan keinginanku saat itu.
Begitu aku memasuki gang rumah, ibu melambaikan tangannya dengan riuh -- tidak seperti biasanya. Aku mempercepat langkah. Aku sedikit berlari dan tiba-tiba berhenti melihat dia -- yang cukup kukenal berdiri di antara ibu dan bapakku.
"Aris?"
Laki-laki itu tersipu malu sedang wajah ibu dan bapak penuh bahagia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI