Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Dua Perempuan

15 Juni 2016   15:44 Diperbarui: 15 Juni 2016   23:41 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.planetperplex.com

Aku melompat dari angkot dan hampir saja terjatuh.  Kumaki diriku dan mengamati perempatan itu. Aku beberapa kali melewati perempatan ini dan gang yang pernah ditunjukkannya padaku tidak jauh dari sini. Dulu. Aku hanya perlu mengingat-ingat seperti apa gang itu dan menyusurinya hingga menemukan rumah yang sesuai dengan deskripsi yang pernah disebutnya.

Aku ke kanan, emosiku masih stabil saat melihat ruko-ruko yang berjejer memperdagangkan beraneka macam barang dan makanan. Perhatianku teralihkan. Aku selalu menikmati saat-saat berada di tempat baru tanpa seorang pun mengenalku. Aku bisa leluasa mengamati mereka dan aku tidak perlu peduli apa yang mereka pikirkan tentang aku. Toh mereka tidak akan bertemu denganku lagi.

Jantungku berdegup keras dan aku tak sanggup melangkah. Gang yang pernah dia tunjukkan, tepat di hadapanku. Aku benar-benar tak sanggup melangkah. Aku hanya berdiri dan kembali memikirkan apa tujuan dari semua ini. Setelah dua tahun kekosongan yang kurasa, aku ingin kembali padanya. Dua tahun toh waktu yang cukup lama untuk membuktikan tak ada yang mampu memikatku selain dia. Dua tahun cukup bagi kedua orangtuaku untuk mengikhlaskan aku dengannya. Sudah sedekat ini dan aku takut.

Tenggorokanku kering padahal matahari sudah melunak. Aku mengambil botol minum dan menenggak isinya tandas. Sudah sedekat ini. Aku tidak boleh kembali dengan tangan kosong. Aku harus menemuinya dan melupakan ketakutanku. Dari ujung gang aku mendengar derap kaki dan tawa berderai anak-anak yang berkejar-kejaran semakin dekat dan terlihatlah wajah-wajah polos itu dengan senyum penuh kebahagiaan.

Aku melangkah sambil memeluk tas di dadaku. Aku perlu meredam detak yang menggila itu. Kembali aku mengingat saat dia mengatakan rumah ke berapa dan cat warna apa. Aku menghitung dan mengamati setiap rumah yang berdiri rapat satu sama lain. Aku belum menemukannya. Aku terus berjalan dan di sanalah rumah itu.

Rumah itu seakan berkata, aku beda tapi aku bagian dari  lingkungan ini. Tidak ada pagar. Tembok marmer hitam dengan motif unik dan kusen yang kaya akan ukiran khas Jawa. Beberapa pot bunga kamboja yang  tidak berbunga dibariskan di bawah jendela.  Itu rumahnya. Tak diragukan lagi.

Kakiku bergetar dan lemah. Aku tidak kuat melangkah tapi aku harus. Ibu-ibu yang bergosip tak jauh dariku berdiri mulai memandangku dengan penuh tanya. Sudah sedekat ini aku harus berani. Kulangkahkan kakiku yang lemah dan serasa tak berdaya mengikuti keinginan hatiku.

Aku mengetuk pintu tiga kali tanpa mengucapkan salam. Tidak ada jawaban atau suara langkah kaki dari dalam. Kuketuk lagi kali ini lebih keras dan aku mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh. Anak kunci diputar dua kali, klik klik. Pintu terbuka.

Aku bisa merasakan kedua pipiku memerah melihat perempuan itu, ibunya atau yang seharusnya jadi ibu mertuaku.  Perempuan itu mengerjap, menatapku dari ujung rambut hingga kaki. Kupastikan dia sudah lupa. Aku pernah bertemu dengan perempuan itu sekali dan hanya sebentar saat aku memaksa untuk ikut ke rumah sakit melihat ayahnya yang sakit. Aku ingat menggenggam erat tangan perempuan itu. Menatap keteduhan wajahnya yang tidak mampu menyembunyikan rasa penasaran terhadap aku, aku siapanya anaknya.

Akubelum mengucapkan sepatah katapun saat perempuan itu menyebut namaku.

“Irma?”

“Iya Bu…” aku tak bisa melanjutkan apa-apa kata-kata menghilang menghilang begitu saja.  Raut wajah perempuan itu melunak, pintu dibukakan lebar dan mempersilakanku untuk masuk.

Semuanya masih sama, seperti yang difoto yang pernah dikirimkan saudara sepupunya untukku diam-diam tanpa sepengetahuannya. Sofa coklat dengan meja kayu. Wallpaper dinding pohon dengan burung-burung yang bertengger di pucuknya.

“Ayo duduk.” Perempuan itu kembali mempersilakan aku dan beringsut ke dapur.

Lidahku kelu. Aku tidak bisa mencegah apapun yang akan terjadi saat ini dan setelah semuanya ini. Pundakku pegal aku melepaskan tas dan menaruhnya di lantai persis dekat kakiku yang seperti akan membeku, begitu juga tanganku.

Perempuan itu kembali membawa satu gelas teh di nampan berwarna hijau, aku menatapnya dalam dan mengucapkan terima kasih. Perempuan itu duduk di depanku, mengamatiku menyesap teh yang masih panas, seharusnya lidahku terbakar, tapi aku merasa baik-baik saja. Kuletakkan gelas di meja dan pandangan kami bertemu. Diam yang canggung. Aku bingung memulai dari mana. Aku bukanlah orang yang diharapkan untuk berkunjung.

“Ibu masih ingat saya?” aku bertanya dan langsung memaki diri sendiri. Pertanyaan tolol. Perempuan itu tahu namaku. Dia ingat.

Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. “Kita semua menunggu setelah pertemuan pertama, kapan Irma akan ke rumah.”

Aku tercekat dan kurasakan mataku berair. Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk itu pernyataan itu. “Abang di mana, Bu?” saat aku menanyakan itu airmataku pun tumpah. Perempuan itu tidak bergeser dari tempat duduknya, dia tidak menyentuhku untuk menenangkanku, tapi tatapannya yang hangat kurasakan memeluk hatiku. Sejujurnya aku ingin bertanya apa yang terjadi setelah keluargaku memaksa untuk tak lagi menemuinya.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia memasuki kamar dan kembali dengan membawa album foto. Dia menyerahkan album itu kepadaku tanpa satu katapun. Aku menatap album itu dan air mataku jatuh membasahi  keterangan yang terdapat pada  pada album itu. Kuletakkan di meja, aku tidak mampu membukanya.

“Bukalah, untuk kebaikanmu…”

Kutatap mata perempuan itu meminta keyakinan. Dia mengangguk. Kuraih album itu, kubuka, dan tak pernah kurasakan perasaan selega ini setelah dua tahun lamanya. Aku bisa merasakan sudut-sudut bibirku tertarik. Aku tersenyum, aku menangis, dan aku lega. Mataku melahap setiap momen yang diabadikan oleh kamera. Menikmati setiap senyumannya. Jemari tanganku menyusuri wajahnya. Aku berbahagia untuknya.

“Dia tinggal di Jogja.”

Aku tersenyum, “Iya, abang selalu mencintai Jogja.”

“Mampirlah kalau ada waktu, dia akan senang melihatmu…”

Pundakku jatuh, ternyata aku begitu tegang dari tadi. Aku menatap perempuan itu memastikan kebenaran dari perkataannya.

“Sungguh, dia akan senang melihatmu Irma.”

“Iya, Bu. Suatu saat nanti.” Aku menutup album itu sekaligus menutup topik tentang Jogja.

Kutelusuri bibir gelas dengan telunjukku sambil menata perasaanku. Aku tahu perempuan di depanku  tak sekalipun melepaskan pandangannya dariku. Tentang semua ini aku lega sekaligus merasa kosong. Beberapa menit yang lalu aku masih memiliki harapan walau hanya secuil, itu cukup untuk menguatkan langkahku hingga berada di depan perempuan ini. Sekarang, bahkan untuk menopang kakiku saja, aku merasa tidak mampu. Kekosongan seakan melahapku dengan ganas.

Aku menimbang-nimbang untuk pamit atau membiarkan diriku menikmati beberapa menit diam yang tak lagi canggung dengan perempuan di depanku. Aku memutuskan untuk pamit. Aku harus pergi dari sini. Aku merasa capek sekali dengan hidupku, aku butuh tidur.

Aku pamit. Perempuan itu menatapku dalam, aku tahu dia khawatir. Biarlah.

Saat aku memakai sepatu, perempuan itu menanyakanku pertanyaan yang tidak ingin kudengar dan akupun menjawabnya tanpa dia harus menyelesaikan pertanyaannya.

“Irma, kamu sudah…”

“Aku baik-baik saja, Bu. Irma pamit.” Kucium punggung tangan peremuan itu dan beberapa langkah kemudian aku berbalik dan memeluknya hangat. Aku tidak ingin memberati hati perempuan itu dengan mengatakan yang sebenarnya, bahwa sampai saat ini aku hanya menginginkan anaknya. Namun pupus sudah.

Aku baik-baik saja, Bu. Aku akan baik-baik saja…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun