“Dia tinggal di Jogja.”
Aku tersenyum, “Iya, abang selalu mencintai Jogja.”
“Mampirlah kalau ada waktu, dia akan senang melihatmu…”
Pundakku jatuh, ternyata aku begitu tegang dari tadi. Aku menatap perempuan itu memastikan kebenaran dari perkataannya.
“Sungguh, dia akan senang melihatmu Irma.”
“Iya, Bu. Suatu saat nanti.” Aku menutup album itu sekaligus menutup topik tentang Jogja.
Kutelusuri bibir gelas dengan telunjukku sambil menata perasaanku. Aku tahu perempuan di depanku tak sekalipun melepaskan pandangannya dariku. Tentang semua ini aku lega sekaligus merasa kosong. Beberapa menit yang lalu aku masih memiliki harapan walau hanya secuil, itu cukup untuk menguatkan langkahku hingga berada di depan perempuan ini. Sekarang, bahkan untuk menopang kakiku saja, aku merasa tidak mampu. Kekosongan seakan melahapku dengan ganas.
Aku menimbang-nimbang untuk pamit atau membiarkan diriku menikmati beberapa menit diam yang tak lagi canggung dengan perempuan di depanku. Aku memutuskan untuk pamit. Aku harus pergi dari sini. Aku merasa capek sekali dengan hidupku, aku butuh tidur.
Aku pamit. Perempuan itu menatapku dalam, aku tahu dia khawatir. Biarlah.
Saat aku memakai sepatu, perempuan itu menanyakanku pertanyaan yang tidak ingin kudengar dan akupun menjawabnya tanpa dia harus menyelesaikan pertanyaannya.
“Irma, kamu sudah…”