[caption caption="Sumber gambar: http://wvs.topleftpixel.com/10/11/22/"][/caption]Pohon-pohon berlari mundur sementara kita melesat membelah malam. Kamu tahu apa yang paling berharga dalam kebersamaan kita? Aku suka diam yang melayang-layang di antara kita. Aku suka diam yang membuatku bebas menatap dan meneliti setiap inchi wajahmu. Aku suka diam yang membuatku semakin tergila-gila ingin tahu apa yang ada dipikiranmu. Apakah kamu memikirkan aku, jalanan yang basah oleh hujan, mesin-mesin yang tak kunjung selesai dirakit, atau tempat tidurmu yang nyaman di rumah. Lalu aku juga suka diam saat Bonjovi menyuarakan lagu-lagu ratapan cintanya, aku suka menebak-nebak lagu manakah yang akan menjadi lagu kita berdua, lagu yang akan aku dengarkan saat aku kangen kamu.
Cuma, adakah nanti kamu akan merindukanku?
“Jangan bengong,” katamu pelan.
Aku menoleh cepat dan mendapati kedua matamu menatap cemas kepadaku. “Aku ga bengong, aku hanya berpikir...” ucapanku terhenti saat menyadari apa yang akan aku ucapkan selanjutnya akan menimbulkan masalah. Jadi aku menyimpan perkataan itu jauh di kotak hatiku. Seperti biasa, kamu hanya mengerucutkan bibirmu dan kembali menatap jalanan.
Kadang aku berpikir, pernahkah terbersit dipikiranmu tentang apa yang ada di kepalaku saat bersamamu? Atau kenapa aku menatap matamu begitu dalam? Kenapa aku menarik ujung bajumu saat menyeberang jalanan? Kenapa aku selalu mengekorimu? Kenapa aku betah berjam-jam berkirim pesan atau meneleponmu? Kenapa ujung mataku selalu mencari sosokmu di kerumunan? Kenapa aku seperti curut yang terbirit bersembunyi jika bertemu denganmu? Kenapa aku selalu terdiam di awal percakapan-percakapan? Ya ampun, ini memalukan sekali untuk kuakui. Aku sangat menyukai suaramu dan semuanya yang ada pada dirimu.
Cuma, adakah kamu menyukaiku barang sedikit pun?
Kita memasuki komplek perumahaan tempat aku menyewa satu kamar untuk pulang setiap hari setelah delapan atau sepuluh jam di kubikel dengan tumpukan dokumen yang mesti kuselesaikan. Kamu masih diam. Aku juga diam. Hahhhh. Diam...
Kita berhenti tepat di depan rumah berlantai empat. Kamu mematikan musik. Meraih barang-barangku dari kursi belakang, memasukkan ke dalam tas dan menyerahkan kepadaku, sedang jaket kamu letakkan di pangkuanku.
“Ayo pulang, “ ajakmu sambil membukakan pintu.
Aku bergeming menatap lurus pada jalanan. Aku enggak ingin pulang. Aku ingin bergulung seperti ulat dan menangis memohon untuk bisa tetap ikut bersamamu. Tapi aku memang harus pulang, karena aku bukan apa-apa...
“Ayo, “ajakmu sekali lagi.
Mau tak mau aku bangkit, menyampirkan tas dan memeluk jaket di dadaku. Aku bersandar di pintu mobil kesayanganmu, menatap kembali ke matamu. Tahukah kamu pada saat itu aku ingin meminta seperti ini, “bolehkah aku pulang bersamamu?” Tapi tatapan tetaplah hanya sebuah tatapan, kamu bukan ahli sihir yang mampu membaca pikiranku. Aku menunduk. Aku ingin sebuah pelukan. Pelukan yang erat sampai aku bisa merasakan detak jantungmu di dadaku, lalu kalau boleh detak itu kusimpan, kupeluk, dan kubawa pulang. Atau bolehkah aku memaksa untuk itu? Karena aku tak tahu, akankah esok kamu ada untukku.
“Aku balik, kamu baik-baik ya.” Kamu memutar untuk kembali duduk di balik kemudi. Menurunkan kaca, tersenyum, dan perlahan menghilang dari pandanganku.
Aku meringis untuk sebuah rasa yang mengiris hatiku. Aku berbalik dan berjalan pulang. Genangan di mataku pun tumpah ruah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H