Mau tak mau aku bangkit, menyampirkan tas dan memeluk jaket di dadaku. Aku bersandar di pintu mobil kesayanganmu, menatap kembali ke matamu. Tahukah kamu pada saat itu aku ingin meminta seperti ini, “bolehkah aku pulang bersamamu?” Tapi tatapan tetaplah hanya sebuah tatapan, kamu bukan ahli sihir yang mampu membaca pikiranku. Aku menunduk. Aku ingin sebuah pelukan. Pelukan yang erat sampai aku bisa merasakan detak jantungmu di dadaku, lalu kalau boleh detak itu kusimpan, kupeluk, dan kubawa pulang. Atau bolehkah aku memaksa untuk itu? Karena aku tak tahu, akankah esok kamu ada untukku.
“Aku balik, kamu baik-baik ya.” Kamu memutar untuk kembali duduk di balik kemudi. Menurunkan kaca, tersenyum, dan perlahan menghilang dari pandanganku.
Aku meringis untuk sebuah rasa yang mengiris hatiku. Aku berbalik dan berjalan pulang. Genangan di mataku pun tumpah ruah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H