Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Remember Me

12 Oktober 2015   10:01 Diperbarui: 12 Oktober 2015   23:00 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah sebelumnya : Sekotak Coklat dan Kahlil Gibran
Suster bertubuh gemuk itu memandangku dengan sayang, merapikan kancing piyama yang baru dibelikan Papa untukku, juga menambahkan polesan bedak di pipiku yang kurus dan pucat. Aku memeluk lengannya dan mengucapkan terima kasih entah yang keberapa kalinya sejak aku kembali jadi penghuni rumah sakit ini.

“Aku pengen ngaca,” pintaku halus.

Suster Merlin melebarkan matanya dan kemudian tatapannya melembut saat Papa memasuki ruangan – dia meminta persetujuan Papa. Aku mengangkat bahuku dan perlahan kembali ke tempat tidur. Papa masih ngobrol dengan Suster Merlin saat aku meraih ponselku dan mencoba menemukan sesuatu yang menarik di sana.

Laki-laki di taman itu, aku tidak tahu namanya. Aku dan dia bahkan tidak saling bertukar kontak, mengapa aku mencari-cari tentang dia di ponselku. Kuhela nafasku panjang dan tatapanku berbentur dengan mata Papa yang hitam legam.

Papa menghampiriku, menangkupkan kedua telapak tangannya yang hangat di pipiku sambil berkata, “Rumi cantik. Sangat cantik. Luar biasa cantik.”

“Pah, aku pengen ngaca, sekali saja, sebentar saja…” aku memohon. Permintaanku ini sebenarnya bodoh sekali. Karena aku tahu efeknya saat aku melihat sebentuk wajah yang tidak kukenal di cermin aku akan kembali murung. Aku akan kembali mempertanyakan dimanakah fungsi jarum-jarum suntik yang menembus kulitku, puluhan pil yang kutelan setiap harinya. Kenapa tubuhku tak juga kunjung membaik.

Papa diam, aku juga diam. Aku mengalah. Lupakan soal bercermin.

Entah hari yang keberapa. Mungkin sudah sebulan penuh aku di kamar putih ini. Dan aku semakin tak bisa membedakan mana mimpi mana kenyataan. Semua samar. Warna-warna tak lagi terlihat berwarna. Segala rasa tak lagi berasa. Aku seperti akan mati tapi tak kunjung mati.

Aku bahkan membenci kakiku yang tak lagi mampu menopang tubuh kurusku. Aku membenci diriku sendiri, yang karenanya Papa seperti tak lagi berjiwa. Papa mengorbankan segalanya untukku. Segalanya…

Kusentuh tangan Papa. Dadaku sesak. Aku menangis dan semuanya kembali gelap.

Aku terbangun oleh suara yang pernah kukenal, sekali di taman bermain. Dia yang memberikanku sekotak  cokelat dan sebuah puisi.  

Dan saat aku membuka mata, matanya menatap mataku. Kuteliti wajahnya. Semua masih sama dengan wajah yang kutemui di taman itu.

“Hai,” sapanya dengan senyumnya yang menenangkan. Aku mencoba untuk duduk, tapi punggungku tak bisa diajak kompromi. Papa membantuku dengan menambahkan tumpukan bantal. Mataku tak lepas memandangnya.

Dan entah mengapa semua warna kembali berwarna dan semua rasa kembali berasa.

Tanpa dia bertanya, kuperkenalkan diriku, “namaku Rumi…” dan dengan senyum yang muncul begitu saja aku menyalaminya.  Dia menyambut sambil menyebut namanya.

“Namaku Cuplis.” Jawabnya pendek dengan tatapan matanya yang iseng.

Aku ingin terbahak tapi yang muncul di wajahku adalah sebuah senyum yang sangat lebar. Aku melihat Papa keluar ruangan. Papa mengerti aku butuh privasi untuk hal yang satu ini.

“Kamu bercanda,” kataku masih dengan senyum yang tak pudar dari wajahku. Bahkan aku bisa merasakan kedua mataku bersinar.

“Ga percaya,” dia terkekeh.

Aku menggelengkan kepala. Dia tersenyum dan masih belum menjawab. Setelah diam yang cukup panjang, dia pun menyebutkan namanya.

“Namaku, Andrea…”

Aku tersenyum puas.

Hari-hariku kembali bermakna.

Aku bahagia. Papa bahagia. Dan entah kenapa aku merasa, jika aku harus meninggalkan dunia ini semua akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja. Tapi tidak dengan Andrea… Dia akan meledak bersamaku karena aku adalah bom waktu.

Andreaku. Kekasihku. Cintaku. Terima kasih.

Aku ingin ke taman bermain itu lagi. Aku ingin duduk di kursi besi itu lagi. Aku ingin ke pantai. Aku ingin ke gunung. Aku ingin pulang.

“Pah, Rumi pengen di rumah aja.” pintaku saat sinar matahari pagi menembus gorden berwarna gading di ruanganku. “Rumi pengen pulang, Pah…” tambahku.

Papa duduk di sisi tempat tidur. Meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. Papa hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Papa menangis sambil menciumi punggung tanganku. Sedang aku tak bisa berkata apa-apa. Aku ingin menangis. Tapi tak satu butirpun airmata jatuh di pipiku.

“Kalau Rumi mengkhawatirkan soal biaya… Papa masih punya. Papa masih kerja, tabungan juga masih banyak,” Papa melihat ke arahku. Aku memandang dalam ke matanya yang hitam legam. Hanya ada aku di sana. “Rumi masih mau berjuangkan sama papa?” pertanyaan itu lirih menelusup telingaku lalu menyayat-nyayat hatiku dengan sempurna.

Mataku basah. Aku menangis bersama Papa.

Hari ini aku tidak melihat matahari pagi. Aku membuka mata jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aku panik. Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri? Andreaku mana? Mataku menangkap tubuh yang tergolek di sofa. Andrea...

Aku menangis...

Aku masih ingin bersama Papa, bersama Andrea...

Aku terbangun oleh Iridescent-nya Linkin Park.  Aku belum menyadari apa yang terjadi di kamar putih ini, aku terhanyut oleh nada dan lirik yang dinyanyikan sempurna oleh Chester Bennington, “You build up hope, but failure’s all you’ve known. Remember all the sadness and frustration. And let it go. Let it go...”

“Darling,” panggil Andrea. Dia menggenggam tanganku hangat. Kulihat matanya yang bersinar bersemangat, “kita pulang...” teriaknya tertahan.

Aku melihat Papa yang memang sedang memperhatikanku. “Pah? Ciyus? Pulang?” tanyaku kekanak-kanakan. Papa mengangguk. Aku ingin berteriak aku ingin melompat-lompat. Andrea memelukku erat. Aku menangis bahagia.

Aku duduk menikmati dua laki-laki terbaik dihidupku sibuk mengemasi barang-barangku. Andrea bercerita banyak di mobil. Banyak sekali. Tentang mobilnya yang lagi dimodif untuk kesekian kali. Tentang pekerjaannya. Tentang karyawan baru dikantornya yang menyebalkan tapi lucu. Tentang lagu-lagu rock kesukaannya yang sengaja di burn untukku, biar semangat, katanya . Papa terbahak di balik kemudi.

Begitu banyak cerita dan kisah selama perjalanan pulang. Kita begitu bahagia, sebagaimana semestinya.

Saat Papa dan Andrea menyiapkan makan malam di dapur, aku menikmati berada di kamarku setelah sekian lama. Satu persatu barangku kuteliti, kusentuh, dan kupeluk. Aku menyerap segala kenangan, aroma, dan wajah-wajah yang mengisi hari-hariku.

Bubur bayam yang kubenci, malam ini terasa lezat. Andrea menyuapiku dengan sabar. Papa duduk di meja belajar mengamatiku. Dan setelah makan malam terbaik itu selama aku sakit, Papa mengangkut keyboard dari ruang kerjanya. Dan memainkan Through The Years-nya Kenny Rogers. Lagu kebangsaan aku dan Papa.

Andrea menarik kursi di samping tempat tidurku. Dia menggenggam erat tanganku. Kupandang wajah kekasihku, kusentuh puncak hidungnya, matanya, bibirnya, rambutnya.  “Terima kasih,” kataku seraya membelai pipinya.

Papah, cinta pertamaku, terima kasih...

***

Sumber Ilustrasi


Dedicated to: Yosa Amelia ( 22 Februari 1989 – 09 September 2015)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun