Hari-hariku kembali bermakna.
Aku bahagia. Papa bahagia. Dan entah kenapa aku merasa, jika aku harus meninggalkan dunia ini semua akan baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja. Tapi tidak dengan Andrea… Dia akan meledak bersamaku karena aku adalah bom waktu.
Andreaku. Kekasihku. Cintaku. Terima kasih.
Aku ingin ke taman bermain itu lagi. Aku ingin duduk di kursi besi itu lagi. Aku ingin ke pantai. Aku ingin ke gunung. Aku ingin pulang.
“Pah, Rumi pengen di rumah aja.” pintaku saat sinar matahari pagi menembus gorden berwarna gading di ruanganku. “Rumi pengen pulang, Pah…” tambahku.
Papa duduk di sisi tempat tidur. Meraih tanganku dan menggenggamnya lembut. Papa hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Papa menangis sambil menciumi punggung tanganku. Sedang aku tak bisa berkata apa-apa. Aku ingin menangis. Tapi tak satu butirpun airmata jatuh di pipiku.
“Kalau Rumi mengkhawatirkan soal biaya… Papa masih punya. Papa masih kerja, tabungan juga masih banyak,” Papa melihat ke arahku. Aku memandang dalam ke matanya yang hitam legam. Hanya ada aku di sana. “Rumi masih mau berjuangkan sama papa?” pertanyaan itu lirih menelusup telingaku lalu menyayat-nyayat hatiku dengan sempurna.
Mataku basah. Aku menangis bersama Papa.
Hari ini aku tidak melihat matahari pagi. Aku membuka mata jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aku panik. Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri? Andreaku mana? Mataku menangkap tubuh yang tergolek di sofa. Andrea...
Aku menangis...
Aku masih ingin bersama Papa, bersama Andrea...