Mohon tunggu...
Conni Aruan
Conni Aruan Mohon Tunggu... Administrasi - Apa ya?

Zombie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf Ibu, Aku Mencintai Sahabatmu

29 November 2012   01:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:30 16924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="static.republika.co.id"][/caption]

Tante Lia datang lagi hari ini. Seperti kemarin, dia datang dengan celana pendek hingga pangkal paha, seperti memakai kolor. Aku tersenyum tersipu melihat penampilannya. Usianya sama kayak Ibu, 35. Bedanya Ibu dimana-mana sudah mulai berkerut, sedangkan Tante Lia masih kencang dan mulus. Rajin perawatan sepertinya.

"Ibumu sudah selesai belum Mar" tanya dia.

"Masih pakai baju Tante, tunggu sebentar ya, silahkan duduk dulu" kataku sambil membuka lebar pintu. Wangi parfumnya sangat lembut, tak sadar aku memejamkan mata untuk menikmati wanginya. Tante Lia meletakkan pantatnya pelan pada kursi kayu, matanya tak lepas memandangku, entah kenapa. Aku jadi merasa aneh, setiap kali pandangan kami bertemu, aku merasakan panas di pipiku. Gila. Aku kembali mengerjakan PR. Ternyata Ibu membutuhkan waktu yang sangat banyak untuk menutupi keriput yang mulai terlihat di wajahnya.

"Marni kelas berapa sekarang?" tanya Tante Lia mengejutkanku.

"Kelas 3 SMA Tante"

"Marni sudah besar dan dewasa ya..."

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.

"Pasti sudah punya pacar..."

"Belum Tante, gak punya pacar" aku menepiskan bayangan Sabar, laki-laki pengecut yang hanya berani berkirim surat. Tak pernah menegurku sekali pun. Setiap kali berpapasan di kantin, dia seperti keong, bersembunyi di balik pundak temannya. Aku kan mau seperti Mawar dan Paijo. Mereka makan siang bersama di kantin, jalan-jalan ke taman, atau sekedar minum es cendol berdua di pinggir jalan. Bukan hanya berkirim surat dengan "Nb: peluk dan cium, i love you" di sudut kiri bawah surat.

Tante Lia tidak menanggapi jawabanku tadi, tapi dia masih melihatku, aku merasa ditelanjangi. Aku rasa wajahku sudah seperti tomat.

"Ibu lama sekali ya, Marni lihat dulu ya Tante..."

Itu cuma alasan karena aku tak kuat dipandangi seperti itu. Jantungku juga berdetak tak karuan. Aku masuk ke kamar dan mendapati Ibu sedang memoles bibirnya yang menghitam dengan lipstik merah menyala.

"Ibu sudah ditunggu sama Tante Lia, kasihan... Udah dari tadi"

"Temani ngobrol dulu sana, sebentar lagi kok..."

Aku kembali ke depan, dan mendapati Tante Lia sedang memegang buku catatanku. Aku kikuk sekali.

"Sebentar lagi Tante, tinggal riasan wajah"

"Tulisan kamu cantik Marni"

Deg! Aku kembali dag dig dug, aku menghampiri Tante Lia sambil meremas jari jemariku. Aku mengambil kembali bukuku dari tangannya.

"Sini duduk di samping Tante saja Mar..." pintanya, aku menolak, aku tak mau kelihatan bodoh di sampingnya. Untung Ibu sudah selasai berdandan. "Langsung jalan aja yuk ..." ajak Ibuku. Tante Lia bangun dari duduknya.

"Sus, kok gak pernah cerita punya anak gadis yang sangat cantik" kata Tante Lia sambil menghampiriku cepat dan "Cup!" Tante Lia mengecup pipi kananku.

Seketika pandanganku berkunang-kunang, tak lagi aku mendengar Ibu mengomeli Tante Lia. Bahkan Ibu pamit pergi saja, tak lagi aku dengar. Tangan kananku meraba pelan pipi kananku. Panas!

-

Dua minggu ini, Ibu berangkat dan pulang sendirian. Dua minggu ini pula aku mandi lebih awal dari biasanya,jam enam sore. Aku menyemprotkan parfum murahan yang kubeli dari toko di ujung gang. Aku menyisir rambutku pelan dan menatanya hingga menurutku tepat. Terkadang aku mengoles tipis lipstick punya Ibu pada bibirku yang penuh. Setelahnya aku duduk manis di ruang depan dan membariskan buku-buku pelajaranku, menunggunya datang. Setiap sore seperti itu. Sepertinya aku memang sudah gila.

Perhatian Sabar yang berbentuk selembar kertas tak lagi menarik hatiku, aku mau perhatian dan kasih sayang dari dia. Tapi sudah dua minggu dia tak datang.

Aku rindu!

Tak sadar tanganku mengelus lembut pipi kananku lagi dan lagi. Tak kuat lagi aku menahan rasa ini, aku beranikan bertanya pada Ibu sore ini sambil mengamati Ibu berdandan.

"Ibu, Tante Lia kok gak pernah datang lagi, biasanya kan jemput Ibu" tanyaku sambil memutar-mutar syal Ibu.

"Ada kerjaan di luar kota, besok juga sudah pulang"

Fiuuuh, lega rasanya mengetahui kabarnya. Besok dia pulang, dan akan kembali menjemput Ibu. Akhirnya...

"Oh, Marni kirain sakit..."

"Nggak sakit, ambilkan cukur Ibu di kamar mandi, ini alis sudah berantakan lagi..."

Aku melompat, mengambilkan cukur Ibu dari kamar mandi.

-

Aku cantik hari ini, dengan tank top putih dan celana pendek di atas lutut, aku duduk di ruang tamu, buku pelajaranku berbaris rapi di atas meja, sekali-kali aku menggigit ujung pulpenku. Mencium lenganku, wangi bengkoang. Mencium rambutku, wangi melon. Mencium aroma tank topku, wangi stroberi. Aku menarik nafasku dalam-dalam, dan menghembuskan perlahan. Titik-titik air mulai terlihat di telapak tanganku, Dia lama sekali datangnya. Aku melihat ibu sudah selesai berdandan, dan siap untuk berangkat. Tapi dia belum datang...?? Kenapa lagi dia, apa dia tidak tahu aku menunggu sudah seperti orang gila. Aku meletakkan wajahku pada meja kayu. Gelisah.

"Ibu berangkat ya Mar.." pamit Ibu.

Hah!! Kok... Dia tak datang lagi kah..??

"Oh, iya Ibu hati-hati ya"

-

Bodoh, bodoh, bodoh!!!

Buat apa aku menunggunya, dia siapa??

Uggghhhhh.... Dadaku sakit sekali, nyeri. Aku menggigit ujung bantalku, aku ingin teriak. Aku sinting.

-

Marni...

Marni...

Marni...

Hah! Aku melompat dari tempat tidurku, cepat aku membukakan pintu untuk suara yang aku nantikan dua minggu belakangan ini. Ceklek! Aku melihat dia dengan gaun biru tipis hingga lutut, cantik. Aku tersipu malu. Lututku lemas sekali.

"Tante... "

"Marni..."

"Ibu sudah berangkat Tante... jam tujuh tadi seperti biasa"

"Iya, Tante tahu kok" katanya sambil mengambil sejumput rambut yang menutupi wajahku kemudian menyelipkan di belakang telingaku. Serrr. Berdesir merdu darahku, bulu-bulu halus di sekujur tubuhku berdiri tegak.

-

Aku tak ingat lagi siapa yang memulai, kami saling menyentuh satu sama lain. Di atas sofa lapuk kesukaan Ibu. Nafasku tertahan saat dia mendekatkan wajahnya, kemudian mencium kening, kedua pipi, dagu, hidung, sudut bibir, dan... mencium bibirku, pelan dan lembut. Aku tak tahu ini rasa apa, tapi sungguh sangat manis. Ini yang pertama.

Aku biarkan dia berlaku sesuka hati terhadap bibirku, hingga aku siap. Aku pun membalasnya. Pelan, lembut, dan lebih manis.

-

Jam istirahat di sekolah, aku hanya duduk diam di kelas, menyentuh pelan bibirku, dan mengingat kisah semalam. Aku mendapati bibirku bengkak, oleh ciuman panjang. Dia pamit pulang, sebelum Ibu tiba dirumah.

-

Kami melakukannya, setiap hari saat malam tiba, saat Ibu sudah tak lagi di rumah, setiap ciuman dan sentuhan terasa begitu nikmat. Aku suka, dia lebih lagi. Mungkin rasa ini tak sekedar suka. Api cemburu itu membakar  amarahku, kala melihatnya memeluk pinggang suaminya saat berboncengan. Aku merajuk. Tak ingin disentuh atau pun dicium.  Hingga  dia membawakanku boneka panda berwarna merah jambu,  aku meleleh, dan semua kembali seperti semula, penuh ciuman, sentuhan, dan canda mesra.

-

Di suatu sore, Ibu pamit dan mengatakan akan pulang pagi, halnya banyak urusan. Hatiku berteriak kegirangan. Dan tak kusangka, hari itu bencana bagiku. Ibu pulang lebih awal, dan mendapati aku dan dia saling bergumul tanpa dibalut sehelai benang pun berbagi desah, nikmat, dan keringat di ranjang Ibu. Ibu gelap mata, menarik dia dari ranjang dan membenturkan kepalanya hingga darah mengalir deras, tubuh wanita itu seperti seonggok daging tanpa tulang, merosot ke lantai, tak lagi bergerak. Mungkin pingsan. Aku beringsut ke sudut ranjang, merapatkan tubuhku yang ditutupi selimut ke dinding yang dingin, aku tak lagi merasakan pipiku dibanjiri air mata. Ibu mendekatiku, menatapku tajam dan menusuk. Aku semakin terisak, tak mampu berkata-kata. Ibu persis di depanku, tatapannya melemah, berkaca-kaca, dan cairan bening itu mengalir deras di kedua pipinya.

"Apa yang sudah kau lakukan Nak... Kenapa begini?" tanya Ibu pelan sakali sambil membelai lembut pipiku.

Tak mampu aku menjawabnya, hanya diam berurai airmata. Ibu duduk di sampingku,menutup wajahnya.

"Apa perhatian dan kasih sayang Ibu tak cukup untukmu Marni?"

"Maafkan Marni Bu, Marni mencintai Tante Lia" Aku beranjak dari ranjang, menghampiri tubuh yang tergolek tak sadarkan diri itu.

Aku tak lagi memperdulikan Ibu yang melolong memanggil Tuhan-nya, sambil membenturkan kepalanya ke dinding.

"Sayang, sadar sayang..." aku menepuk-nepuk pipinya, memanggil lembut di telinganya.

"Lia sayang, bangun..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun