Jam istirahat di sekolah, aku hanya duduk diam di kelas, menyentuh pelan bibirku, dan mengingat kisah semalam. Aku mendapati bibirku bengkak, oleh ciuman panjang. Dia pamit pulang, sebelum Ibu tiba dirumah.
-
Kami melakukannya, setiap hari saat malam tiba, saat Ibu sudah tak lagi di rumah, setiap ciuman dan sentuhan terasa begitu nikmat. Aku suka, dia lebih lagi. Mungkin rasa ini tak sekedar suka. Api cemburu itu membakar amarahku, kala melihatnya memeluk pinggang suaminya saat berboncengan. Aku merajuk. Tak ingin disentuh atau pun dicium. Hingga dia membawakanku boneka panda berwarna merah jambu, aku meleleh, dan semua kembali seperti semula, penuh ciuman, sentuhan, dan canda mesra.
-
Di suatu sore, Ibu pamit dan mengatakan akan pulang pagi, halnya banyak urusan. Hatiku berteriak kegirangan. Dan tak kusangka, hari itu bencana bagiku. Ibu pulang lebih awal, dan mendapati aku dan dia saling bergumul tanpa dibalut sehelai benang pun berbagi desah, nikmat, dan keringat di ranjang Ibu. Ibu gelap mata, menarik dia dari ranjang dan membenturkan kepalanya hingga darah mengalir deras, tubuh wanita itu seperti seonggok daging tanpa tulang, merosot ke lantai, tak lagi bergerak. Mungkin pingsan. Aku beringsut ke sudut ranjang, merapatkan tubuhku yang ditutupi selimut ke dinding yang dingin, aku tak lagi merasakan pipiku dibanjiri air mata. Ibu mendekatiku, menatapku tajam dan menusuk. Aku semakin terisak, tak mampu berkata-kata. Ibu persis di depanku, tatapannya melemah, berkaca-kaca, dan cairan bening itu mengalir deras di kedua pipinya.
"Apa yang sudah kau lakukan Nak... Kenapa begini?" tanya Ibu pelan sakali sambil membelai lembut pipiku.
Tak mampu aku menjawabnya, hanya diam berurai airmata. Ibu duduk di sampingku,menutup wajahnya.
"Apa perhatian dan kasih sayang Ibu tak cukup untukmu Marni?"
"Maafkan Marni Bu, Marni mencintai Tante Lia" Aku beranjak dari ranjang, menghampiri tubuh yang tergolek tak sadarkan diri itu.
Aku tak lagi memperdulikan Ibu yang melolong memanggil Tuhan-nya, sambil membenturkan kepalanya ke dinding.
"Sayang, sadar sayang..." aku menepuk-nepuk pipinya, memanggil lembut di telinganya.