Mohon tunggu...
Okia Prawasti
Okia Prawasti Mohon Tunggu... Content Writer -

Interested in movies, lifestyle, fashion, popular news and complicated relationship.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Takkan Terganti (Final Episode)

25 September 2018   19:39 Diperbarui: 25 September 2018   19:47 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source: Unsplash.com

Aku mengangguk walaupun sempat terdiam sebentar. "Yeah, has he ever?"

"Selama lima tahun ini? No," ucapnya sambil menggeleng pasti. "nggak pernah ada wanita lain bang."

(Sebelumnya: Takkan Terganti (Eps 5))

Aku pernah membaca suatu kutipan, if you want to be strong, learn to enjoy being alone. Aku udah mencoba menyendiri, pergi jauh sampai ke sudut Groningen, tapi aku tidak bisa sekuat dan setegar Diffin. 

Nyatanya, aku sama sekali tidak menikmati masa-masaku hidup sendirian di asrama. Sementara Diffin, di balik sikapnya yang baik-baik saja, aku tidak pernah tau apa saja cerita dan rasa yang dia pendam demi melewati proses pembelajaran, hanya untuk bisa menikmati moment-moment kesendiriannya. Namun, bagaimanapun juga Diffin mampu, dan aku tidak, I need someone to make me stronger.

Obrolanku dengan Diffin siang itu terhenti ketika teman-teman terdekatnya datang menjenguknya. Aku tidak heran kalau teman-teman dekatnya saja berhasil membuatku menunggu di lobi karna mereka datang terlalu ramai dan memadati ruang inap Diffin. Diffin punya banyak teman karna sifatnya yang cenderung extrovert, extra-extrovert malah, beda banget denganku yang (mungkin) introvert-melankolis.

Malam harinya Alina datang bersama ibunya. Ayahku juga datang membawakan makan malam untuk kami semua. Dan malam itu kulihat Diffin kembali menjadi Diffin yang kukenal, dia sudah sanggup tertawa-tawa saat dokter yang memeriksanya sesekali mencoba bercanda, dan Diffin dengan pedenya berkata ke dokter yg memeriksanya itu kalau dia merasa sudah sembuh, aku tahu dia berkata begitu supaya dia diberikan  izin pulang karena memang Diffin tidak pernah betah berada di rumah sakit lama-lama. Aku juga bahagia dengan moment ini, entah kapan terakhir kali kami bisa makan bersama bertiga begini, dan ditambah Alina yang dengan manisnya duduk di sampingku, I guess someone is very happy now.

"Bang, lo mau balik sekarang juga nih?" Diffin-yang senang banget akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah pagi itu-tiba-tiba masuk ke kamarku saat pintunya terbuka lebar. Lalu di atas meja ia menemukan tiket pesawat dengan nama lengkapku 'Defrazi Pranasatya', tertulis jelas di atasnya.

"Ya nggak sekarang juga, kan dua jam lagi flightnya" jawabku sambil melanjutkan aktivitas packing. "gue udah terlanjur beli tiket balik, kalo enggak gue bakal stay deh sampe lo bener-bener sembuh."

 Diffin tersenyum datar, lalu duduk di tempat tidurku.

"Terus kapan lo balik ke sini lagi?" tanyanya yang langsung membuatku berhenti melakukan aktivitas packingku hanya untuk memikirkan jawabannya. "lo masih butuh alasan buat balik ke sini bang?"

Aku menoleh menatapnya, "Gue selalu punya alasannya Fin, I come back home because I need to."

Dan memang alasannya sesederhana itu kan dari dulu? kita pulang kerumah karena memang harus. Karena memang kita yang butuh tempat itu sebagai tujuan kita pulang, dan yang lebih penting lagi, kita butuh mereka, orang-orang yang dengan tulus selalu menunggu kepulangan kita.

 Mungkin setelah tadi malam, aku bisa menambah alasanku pulang, mungkin nanti aku akan pulang karena aku rindu dengan senyuman Alina. Tadi malam, saat kami  duduk dan ngobrol berdua di lobi rumah sakit, saat senyum Alina terlihat lebih indah dari biasanya, saat dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya dan aku ingin mencium pipinya, aku merasa dia penting bagiku, akan seperti apa hidupku kalau tidak ada Alina? Aku sudah mengenalnya lebih dari separuh hidupku dan entah mengapa malam itu aku ingin terus bersamanya.

Kusentuh dan kugenggam tangan Alina, "gue sayang elo Al."

 Alina menoleh ke arahku, ia mengernyitkan dahinya, ekspresi wajahnya sedikit kaget setelah mendengar perkataanku, dan aku menatap matanya dalam-dalam, mencoba meyakinkannya bahwa seharusnya kuungkapkan semua ini sejak dulu, sejak pertama kali aku naksir dengannya.

 "Gue besok balik ke Groningen, tunggu gue pulang ya Al."

 Alina lalu kembali tersenyum, "dari dulu gue juga nungguin lo pulang ke sini Def" kemudian dia balas menggenggam tanganku.

Jawaban Alina yang sederhana itu, yang walaupun aku tidak benar-benar paham apa makna sebenarnya, sudah cukup untuk membuatku senyum-senyum sendiri sampai sekarang, because, the most  important part in loving somebody is not how the way you say it but, it's how the way you prove it.  

"Lo ke bandaranya gimana bang?"

Pertanyaan Diffin menghentikan lamunanku tentang tadi malam.

"Dianterin Papa?" tanyanya lagi

"Papa lagi tidur kan? Nggak usah deh, kasian kan dia tiap hari udah jadi supir, masa lagi day off gini pun mesti jadi supir gue. Ntar gue naik taksi aja. Lagian gue udah bilang ke dia kok tadi pagi kalo gue mau balik siang ini."

Diffin tertawa kecil. "Apes banget Papa dikatain supir."

     "Kan bener, cuma aja dia nyupir pesawat haha.."

     "Eh, naik Grabcar aja mau nggak lo bang? Gue order sekarang buat lo ya." tawarnya.

     Dia pun bangkit dan keluar dari kamar gue setelah gue mengangguk setuju.

     Di perjalananku menuju bandara, setelah beberapa kilometer aku meninggalkan rumah, I miss them already, these three days fly so fast. But, after five fucking years being 'lost', I found my self in these three days. 

     "Mas, mau dengar radio?" tanya driver Grab saat itu.

Kulihat ke luar jendela, dan jalanan agak macet siang itu.

"Boleh deh pak." Jawabku sambil tersenyum melihatnya melalui kaca spion di dalam mobil.

Aku kembali merenung, kapan aku punya waktu untuk kembali lagi ke sini?

     "Hati-hati ya bang" ucap Diffin tadi, sebelum aku berangkat.

     Aku memeluknya, lalu berkata pelan di dekat telinganya "telpon gue ya."

     Lalu Diffin tertawa "bukannya elo ya yang mesti telpon gue?"

     Aku ikut tertawa "enggak ahh.. gue maunya elo yang nelpon. Mau nggak lo? Ntar nggak gue kirimin postcard lho."

     Diffin hanya tertawa dan mengangguk-ngangguk. Aku senang melihatnya begitu, mengingat tawanya tadi, masih dengan luka di kepalanya yang belum mengering yang masih dibalut perban, membuatku tersenyum tak percaya sampai sekarang ini. Hebat banget dia.

     Dan kemudian sebuah lagu yang diputar di radio membuatku berhenti mengingat tingkah Diffin tadi, dari alunan liriknya aku ingat pernah mendengar ayahku menyenandungkan lagu itu ketika ia membuat kopi pagi-pagi di dapur, kali ini kudengar lagunya dengan serius, dan kusimak liriknya kata demi kata.

     Aku langsung mengambil smartphoneku dari tas ransel, mencoba menghubungi Papa, dan aku lega saat telponku langsung terjawab.

     "Pa, it's mom, right?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.

     "What?" tanyanya balik, tak mengerti.

     "Papa tetap buktiin kalau Papa sayang sama dia, bahkan saat dia udah nggak ada. She is mom, right?"

     Ayahku tidak langsung menjawabnya, hanya desah napasnya yang kudengar.

     "Pa, how much do you love her?"

     "A lot Def, I love her a lot. She's irreplaceable."

     I want to fall in love like them, just like my parents. Aku baru sadar kalau apa yang kami lakukan; aku, Diffin dan ayahku, selama lima tahun setelah dia pergi ini adalah pembuktian cinta. Ayahku yang masih tetap memilih hidup menduda, Diffin yang berusaha menepati janjinya ke ibuku, dan aku, aku ingat alasanku untuk kuliah kedokteran, itu karna aku marah sewaktu dokter menyatakan ibuku meninggal, aku tidak percaya kalau dokter sudah berusaha semampunya untuk menyembuhkan penyakit ibuku, dan saat itulah aku sendiri yang ingin jadi dokter. Maka akan kutuntaskan niatku itu, akan kuselesaikan studiku, semoga nanti bisa kubuktikan ke ibuku, sebagai pembuktian cintaku untuknya, aku bisa jadi dokter yang baik.

     "Kamu udah sampai bandara?"

     "Bentar lagi sampai pa."

     "I wish you a safe flight."

     "Haha... I'm not sure if you're not the pilot, dad." candaku. Kudengar ayahku pun tertawa di ujung sana.

     "Pa," panggilku menghentikan tawanya. "I love you"

     Lalu dia kembali terdiam di ujung sana, dan aku tetap tak ingin mengakhiri sambungan telponnya.

     "You know that I do too, right?" jawabnya.

     Aku tersenyum bahagia saat itu. Lalu kujawab ia, "I know dad, I know you always do."

     "Telpon Papa kalau udah sampai belanda." Pintanya, lalu dia yang mengakhiri sambungan telpon.

Kemudian hanya ada sisa-sisa lirik lagu Takkan Terganti-nya Marcell yang masih mengalun, aku tersenyum mendengar liriknya yang romantis, lagu dari ayahku buat ibu. Dia memang irreplaceable pa.

(Baca Juga:  Pengagum Bayangan)

Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan, semua takkan mampu mengubahku.

Hanyalah kau yang ada di relungku.

Hanyalah dirimu, mampu membuatku jatuh dan mencinta, kau bukan hanya sekedar indah..

Kau tak akan terganti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun