Mohon tunggu...
Okia Prawasti
Okia Prawasti Mohon Tunggu... Content Writer -

Interested in movies, lifestyle, fashion, popular news and complicated relationship.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takkan Terganti (Eps.2)

19 September 2018   15:00 Diperbarui: 19 September 2018   15:17 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source: Adult Pleasure

"The flower that she liked......, it was...Chrysanths."

Alina cuma tersenyum sebentar setelah aku menyebutkan nama bunganya. "Ya, I know Def, I remember, there's nothing about you I want to forget"

(Sebelumnya: Takkan Terganti (Eps. 1))

I must admit that I am flattered for her words. Aku juga ingat semua tentang kamu Al.

Aku pernah naksir Alina sewaktu masih SMP. Iya SMP, cinta monyet banget kan? Sampai-sampai aku udah ngebayangin kalau di masa SMA Alina bakal jadi pacarku but, it never happens. My high school life was suck. Aku mulai nggak perhatian sama Alina, terkadang aku menjauh, terkadang aku malah tidak peduli dengannya, aku hanya fokus memikirkan perempuan lain, perempuan yang kurindukan saat ini. Tapi sikap Alina kepadaku tidak pernah berubah, tidak sedikit pun.

Alina berjalan pelan-pelan di antara makam mengikuti langkahku, lalu dia langsung duduk di samping makam perempuan yang kurindukan, menempatkan buket bunga krisan di dekat batu nisan, lalu berdoa. Aku masih berdiri saja di situ, menahan rindu.

Aku memanggilnya 'Ibu'. Aku ingin memanggilnya dengan sebutan 'Ibu' sejak aku mendengar teman satu sekolahku sewaktu SD memanggil Ibunya dengan sebutan 'Ibu'. Romantis banget. Pikirku saat itu.

"Jadi menurut Defra itu romantis?" tanya ibuku dengan wajah bingung saat aku yang kala itu masih kelas tiga SD memberitahunya kalau aku ingin memanggilnya dengan sebutan 'Ibu', bukan 'mama', 'mami', 'bunda', atau sebutan-sebutan lainnya yang tidak kutahu.

Aku hanya mengangguk dan Ibuku tertawa.

Sebenarnya waktu itu aku juga belum mengerti arti kata 'romantis'. Sampai-sampai aku harus membuka KBBI untuk mencari artinya. Dan yang benar aja, artinya membuatku bingung. Jadi di KBBI, kata 'romantis' memiliki arti; bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan); bersifat mesra; mengasyikkan. Aku saat itu mikir keras supaya bisa menjelaskan kenapa panggilan 'ibu' itu romantis.

"Ibu tau nggak kenapa namanya Hari Ibu, Ibu Kota, Ibu Jari, Ibu Pertiwi, Ibu Rumah Tangga?"

Ibuku tergelak mendengar pertanyaanku, "karna memang sudah begitu sebutannya dari dulu."

"Bukan bu, karena memang kata-kata itu tadi, butuhnya kata 'ibu' bukan kata yang lain untuk melengkapinya. Kan aneh kalo jadinya Hari Mami, Bunda Kota, Mama Jari, hahahaha... aneh kan bu?"

Ibuku hanya menggeleng sambil tersenyum. "jadi itu yang bikin sebutan atau panggilan 'ibu' itu romantis?"

Aku diam sebentar, masih bingung sih sebenarnya, tapi aku mencoba untuk menghubungkan arti kata 'romantis' yang tertera di KBBI dengan kata 'ibu'.

"Kurang lebih begitulah bu, seperti di dalam cerita roman aja, kalo seorang tokoh udah suka sama satu objek, dia pasti nggak mau sama objek yang lain, sama kayak Defra yang udah terlanjur suka sama kata 'ibu'. Terus Defra mau setiap Defra manggil Ibu dengan sebutan 'Ibu' ada unsur-unsur mesra dan mengasyikkan yang punya arti mendalam bu."

Ibuku mengernyitkan keningnya, tak mengerti dengan penjelasan anehku. Aku juga ngerasa, ngomong apa sih aku barusan? Otakku capek banget abis mikir keras. Maklum saja masih otak anak SD.

"Okay, but still, it was pretty complicated to understand. What's the point? Kenapa mesti dibuat romantis Def?"

Kujawab dia, "Because, Bu, you're always doing romantic things, so you deserve a romantic call as well."

Setuju kan kalau aku bilang, nothing is the most romantic than what the mothers do for their children.

Kehilangan Ibu seperti tersesat di hutan, sendirian dan semua perlengkapan kita juga hilang. Haus, lapar, bingung, takut, buta arah, mungkin masih bisa berusaha mencari jalan pulang, but I bet it will be extremely hard. 

Bu, Defra pulang, anakmu kini pulang karena rindu. Alina membawakan bunga Krisan warna-warni untuk ibu, Alina-gadis kecil yang manis, begitu kan dulu julukan ibu untuk dia?

Kakiku lemas, aku langsung terduduk bersimpuh di samping makamnya. Alina menyentuh dan mengusap-usap bahuku dengan lembut. Lalu dia berkata pelan, "Def, gue nunggu di parkiran ya"

Entah itu rindu atau air mataku yang sejak tadi kutahan, mungkin keduanya. Aku mulai berdoa untuk ibuku, namun air mataku jatuh juga. Kupandangi bunga Krisan yang tadi dibeli Alina, dan saat itu ingatanku dipenuhi tentang ibuku. Di antara banyaknya alasan kenapa ibuku menyukai bunga Krisan, aku ingat satu alasan yang pernah dikatakannya padaku. Menurut ilmu Feng Shui, bunga Krisan dipercaya sebagai bunga yang mampu menebarkan banyak kebahagiaan dan gelak tawa dalam rumah. You know Bu, obviously, you are my Chrysanths, since you're not around there is no happiness and laughter in me. 

Kuhapus sisa-sia air mataku sambil berjalan menuju parkiran. Kulihat Alina memandangku dari jauh, lalu ia tersenyum saat aku sudah berada di depannya.

"Udah?"

 Apanya yang udah Al? udah terbayar rinduku padanya? Jawabannya, udah pasti belum Al.

Aku menjawabnya hanya dengan mengangguk. "gue aja yang nyetir Al, gantian aja."

Alina memandangku seolah-olah memastikan kalau aku baik-baik aja. Lalu ia pun mengangguk setuju.

"Oke" jawabnya.

Aku mengendarai mobil pelan-pelan, sesuai perintah Alina. Mungkin tadi maksudnya Alina hati-hati nyetirnya, tapi dia bilang 'pelan-pelan', atau memang dia ingin berlama-lama denganku? Karna aku pun juga ingin begitu. Aku selalu merasa nyaman berada di dekatnya, sejak dari dulu.

Aku menoleh ke arahnya, rambut Alina diikat sekenanya, tapi tetap aja enak diliat. Memandangi Alina dari samping begini, tampak jelas hidungnya yang mancung banget itu. Alina memang manis sekali, benar yang ibuku bilang saat Alina masih kecil dulu. Merasa diperhatikan, Alina pun balas menoleh ke arahku yang membuatku mengalihkan pandangan ke depan.

Aku merasa Alina tersenyum kecil, "lo apa kabarnya sih Def?" tanyanya pelan memulai pembicaraan setelah sudah hampir lima menit kami saling diam.

"Kan tadi lo udah nanya itu pas di rumah, I'm fine Al"

"Kita udah dua tahun lho nggak ketemu, I deserve more than just 'fine'"

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Iya Al, you even deserve more than 'this' setelah apa yang udah lo lakuin buat gue selama ini.

Selama satu tahun setelah ibuku meninggal, nggak ada satu hari pun yang gue lewatin tanpa Alina. Walaupun tidak selalu menghabiskan sepanjang hari bersama, sepulang sekolah Alina pasti datang ke rumahku, terkadang dia mengantar makanan yang dimasak ibunya, mengajakku mengerjakan PR bersama, nonton DVD film kesukaannya dia, ngajakin pergi bimbel bareng, dan masih banyak lagi alasan-alasan Alina datang ke rumahku waktu itu hanya untuk memastikan kalau aku nggak sendirian dan kesepian.

"Emangnya jadi mahasiswa university of Groningen sesibuk itu ya? sampe ngebalas email gue doang lo nggak ada waktu? Eh, pede banget ya gue ngarepin balesan, jangan-jangan dibaca juga enggak, tega banget sih lo Def..ihh.." Alina memalingkan wajahnya ke jendela mobil, sebel-sebel manja gitu ke aku.

Al..bahkan gaya dan cara lo sebel ke gue juga nggak berubah?

Aku tahu kalau sekarang ini Alina memang nggak seriusan marah ke aku. Pernah sekali Alina marahnya beneran, dia ngomel-ngomel ke aku, bahkan saking kesalnya dia sampai nangis. Waktu itu, setelah lulus SMA aku memutuskan untuk menerima ajakan Opa yang bekerja di KBRI Den Haag untuk ikut beliau ke Belanda dan melanjutkan pendidikan di sana.

Alina marah banget saat dia tau berita itu dari adikku, dia marah kenapa aku nggak bilang ke dia, nggak pernah cerita, atau sekedar meminta pendapatnya. Ajaibnya, Alina nggak membenciku. Tiga bulan setelah aku kuliah di Belanda, Alina mulai mengirimkan email minimal satu bulan sekali. Melalui email itu Alina cerita semuanya ke aku, tentang kuliah kedokteran gigi, tentang masa-masa dia naksir seniornya di kampus, tentang kabar adik dan ayahku, sampai emailnya yang terakhir sebelum aku pulang ke sini, Alina cerita tentang her ko-as thing. Dari semua email Alina yang masuk ke inbox-ku, memang hanya email pertama yang kubalas, aku minta maaf ke dia atas kejadian yang membuatnya marah sebelum aku berangkat ke Belanda.

(Baca Juga: Rahasia Kecil Untuk Sebuah Alasan)

"Al.." aku memanggilnya namun Alina tetap menghadap ke jendela. "Alina.." panggilku sambil menyentuh bahunya, lalu dia menatapku.

"Maaf ya Al.. gue baca kok semua email dari lo, tapi gue nggak tau, gue ga ngerti harus balas apa"

Aku menatapnya dalam-dalam kemudian kualihkan pandangan kembali ke jalanan di depan.

"Sia-sia bokap lo nyekolahin lo jauh-jauh sampe Groningen, balas email doang lo nggak tau caranya." candanya sambil tergelak.

"Sial" ujarku ikut sedikit tertawa. "bukan gitu Al, cerita hidup gue di sana, nggak semenarik cerita lo."

Alina terdiam, lalu aku mendengar desah napasnya saat dia kembali menatapku. Aku bisa merasakan kalau saat ini Alina memberiku tatapan-tatapan kasihan. Yes, Al, I deserve that look. I am truly fucking pathetic Al. 

Akhirnya Alina menjawab, dengan serius, "tulis aja Def, gimana pun nggak menariknya cerita lo, gue tetap mau bacanya, tetap gue tunggu-tunggu balesan email dari lo."

And it just warms my heart, kata-kata Alina barusan yang langsung gue artikan dengan "I don't care about your story Def, All I care is you. Gue cuma mau tau kalau kabar lo baik-baik aja". semoga aku nggak kepedean.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun