Setiap tanggal 13 Desember bangsa Indonesia memperingati Hari Nusantara. Di hari itu, 13 Desember 1957, Perdana Menteri Indonesia, Djuanda Kartawidjaja, mendeklarasikan bahwa laut Indonesia termasuk perairan di sekitarnya, baik diantara maupun dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsep yang mengilhami Hukum Laut internasional (UNCLOS) yang disahkan PBB tahun 1982. Â
Semenjak deklarasi ini Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai Negara Kepulauan. Sayangnya dalam perjalannya mengalami pasanng surut dan jalan di tempat.Â
Empat puluh dua tahun kemudian, tepatnya 1999, masa Presiden Gus Dur cita-cita Djuanda dicanangkan dalam pembangunan ekonomi Indonesia dengan membentuk Eksplorasi Laut dan Perikanan lalu menjadi  Kementerian Kelautan dan Perikanan.Â
Tahun 2014, Presiden Jokowi mempertajamnya dengan visi Poros Maritim Dunia (PMD) hingga membentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman. Â Ini menunjukkan keseriusan beliau hingga menetapkan lima agenda prioritas mewujudkannya yaitu (i) revitalisasi budaya maritim Indonesia; (ii) menjaga sumber daya laut dan kedaulatan pangan laut yang memosisikan nelayan sebagai pilar utamanya (iii) pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim lewat tol laut, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim; (iv) diplomasi maritim terkait penanganan pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dan (v) pembangunan kekuatan maritim untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran.Â
Hingga akhir jabatannya 2019, semua agenda prioritas itu belum tercapai optimal. Diantaranya soal budaya maritim, eksistensi nelayan, Â pencemaran laut hingga logistik maritim.Â
Sejatinya, di era kepresidenan Jokowi dalam periode keduanya 2019-2024, visi PMD jangan sampai mati suri. Pasalnya, ada kesan PMD jalan di tempat dan tak lagi jadi prioritas. Kini yang menonjol di ruang publik, pemerintah menitikberatkan pembangunan  sumber daya manusia (SDM). Itu sah saja, tapi agenda PMD mesti tetap diprioritaskan apalagi Indonesia hendak Negara maritim.
Pilar
Mewujudakan impian jadi Negara maritim tak semudah membalikan telapak tangan. Sekaliber Prof. Hasyim Jalal pun berpandangan bahwa Indonesia hingga kini belum jadi Negara Maritim. U
ntuk itu, membutuhkan sederetan pilar-pilar pembangunan untuk menopangnya. Pertama, pilar sumber daya alam maritim (SDAM) sebagai basis kekuatan ekonomi maritim. Sebagai Negara kepulauan terbesar Indonesia memiliki SDAM yang melimpah.Â
Terutama perikanan (tangkap dan budidaya), ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove, padang lamun), pertambangan lepas pantai, pulau-pulau kecil dan obyek wisata alam bawah laut dan pantai.Â
Pilar SDAM mesti membutuhkan pengelolaan berkelanjutan dan bertanggungjawab. Pasalnya, ancaman terbesar yang menghantui SDAM Indonesia ialah perampasan ruang laut dan sumber dayanya (ocean grabbing). Diantaranya aktivitas ekstraktif seumpama  pembabatan mangrove di pesisir, illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF), perampasan lahan pesisir dan pulau kecil buat reklamasi serta wisata  bahari oleh korporasi hingga privatisasi wilayah pesisir.Â
Jika perampasan laut dan sumber dayanya dibiarkan terus-menerus, berpotensi menimbulkan tragedy of common yang masif. Organisasi PBB pun lewat Sustainable Development Goals telah menetapkan target 14 yaitu menjaga ekosistem laut. Dua program prioritasnya yaitu (i) konservasi ekosistem dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, dan (ii) pengelolaan pelabuhan.
Kedua, infarstruktur maritim. Kini pemerintah amat giat membangun infrastruktur termasuk bidang  kemaritiman berupa kapal tol laut, pelabuhan, dan tatakelolanya.Â
Tujuannya, memperlancar dan  meningkatkan konektivitas antar wilayah di Indonesia yang sebagian besar  disatukan oleh lautan. Infrastruktur maritim utamanya kapal pengangkut barang/jasa dan manusia memang amat dibutuhkan di Indonesia terutama di wilayah timurnya yang sebagian teritorialnya lautan dan pulau-pulau kecil. Pemerintah memang semenjak tahun 2014 sudah membangun sarana/prasarana transportasi laut lewat kapal tol laut, akan tetapi belum sepenuhnya optimal.Â
Utamanya pengangkutan barang dan jasa yang disinyalir masih relatif mahal, kasus di Maluku. Meski demikian, program ini patut diancungin jempol karena setidaknya telah memperbaiki problem konektivitas dan distribusi barang/jasa yang jadi keluhan masyarakat selama ini. Dengan katalain kesenjangan antar wilayah dapat teratasi.Â
Sayangnya, pemerintah masih abai soal membangun bioinfrastruktur pesisir dan pulau kecil. Pemerintah mestinya merehabilitasi ekosistem pesisir yang rusak dan mereklamasi pasca tambang di pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Riau.
Ketiga, sumber daya manusia maritim (SDMM). Selama kurun waktu 2014-2019, SDMM jadi problem krusial dalam PMD. Kita berambisi jadi PMD, akan tetapi SDMM dan infrastrukturnya masih jauh panggang dari api memadai. Pemerintah pun minim mengembangkan infrastruktur pengembangan SDMM dari level PAUD hingga perguruan tinggi.Â
Di level pendidikan tinggi dalam lima tahun terakhir, pemerintah tak membangun universitas  berbasis kemaritiman. Pemerintah masih mengandalkan perguruan tinggi yang telah memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan maupun teknik kelautan. Di level pendidkan menengah atas, Sekolah Menengah Kejuruan Maritim masih relatif minim. Ditambah lagi, kurikulum kemaritiman belum masuk dalam sistem pendidikan nasional semenjak PAUD hingga pendidikan tinggi.Â
Kurikulum kemaritiman bukan sekedar bicara soal teknologi dan manajemen perikanan dalam kelautan. Melainkan juga budaya maritim, sejarah maritim dan kepemimpinan maritim. Cukupkah wajah SDMM kita demikian lalu bermimpi jadi PMD? Mestinya lebih dari itu.
Keempat, kelembagaan. Kelembagaan kemaritiman Indonesia masih semrawut.  Padahal  Indonesia telah memiliki peraturan-perundangan yang memadai yaitu Undang-Undang (UU) No 45/2009 tentang Perikanan, UU N0 27/2007 dan revisinya UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), UU No 32/2014 tentang Kelautan,  UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.Â
Sayangnya masih beraroma sektoral dan lemah koordinasi meskipun sudah ada Kementerian Koordinator Kemaritiman sejak 2014. Indonesia juga telah mempunyai dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) yang dikukuhkan lewat Peraturan Presiden No 16/2017).Â
Secara organisasi ada Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Koodinator Maritim. Artinya secara aransemen kelembagaan dan tatakelolanya sudah relatif cukup. Lantas  mengapa PMD terkesan jalan di tempat?
Kelima, teknologi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mau tidak mau  memengaruhi dinamika pembangunan maritim di Indonesia dan komunitas dunia lainnya.Â
Dalam bidang perikanan budidaya negara-negara yang kuat dalam bidang perikanan dan kelautan telah mengembangkan teknologi tinggi yang efisien. Diantaranya teknologi yang efisien dalam penggunaan pakan dan tanpa limbah, pemanfaatan digitalisasi dalam sistem monitoring (suhu, salinitas, kandungan oksigen, dan kesadahan) hingga pemanenan. Dampaknya produktivitasnya tinggi dan berdaya saing. Teknologi bioflok jadi solusi  mengatasi infesiensi pakan dalam budidayakan udang dan ikan air tawar. T
eknologi Grow fish Anywhere (GFA) Â temuan Israel amat efisien dalam membudidayakan ikan laut tanpa mengganti airnya, bebas bahan kimia hingga mampu diterapkan dalam lingkungan manapun. Sama halnya juga dengan teknologi recirculating aquaculture system (RAS) ala Norwegia yang hemat air (daur ulang), rendah biaya produksi dan mampu mengatasi dampak perubahan iklim global. Di Indonesia sudah berhasil dipraktikan dalam pembenihan dan pembudidayan ikan Bubara/Kue (Caranx inobilis) di Teluk Ambon dan Sea Farming di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.
Pasca 47 tahun Deklarasi Djuanda yaitu Hari Nusantara 13 Desember 2019 mestinya bangsa Indonesia menjadikannya sebagai momentum untuk memperkuat komitmennya dalam   mewujudkan PMD dan cita-cita Negara Maritim. Visi PMD jangan sampai berhenti di tengah jalan dan mengabaikan agenda prioritasnya terutama mengangkat derajat masyarakat pesisir yang selama ini termarjinalkan. Lewat lima pilar pembangunan kemaritiman di atas, Indonesia bakal jadi negara maritim dan pusat gravitasi ekonomi maritim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H