Siang itu waktu kembali mempertemukan aku dengan gadis yang selama ini telah merenggut berjuta-juta kedamaian pikiran dan ketenangan jiwaku. Entah mengapa sosok gadis itu selalu hadir dan setiap saat selalu mengitari rongga kesadaranku. Sudah berapa kali aku mencoba untuk menghapus bayangnya dari ruang batinku, namun ia seperti sedimen yang mengkristal di dinding-dinding syarafku. Ia begitu sulit untuk dienyakan. Dan pertemuanku kali ini, seperti biasa, aku hanya bisa menjadi patung dungu dengan endapan rasa yang aku sendiri tak mampu untuk mengapresiasinya. Kami hanya berpandangan sekilas tanpa reaksi, namun anehnya aku selalu merasakan kenikmatan dan kedamaian ketika aku berada disekitarnya meski hanya sekedar berpandangan. Ini memang aneh. Situasi yang selalu menghanyutkan diriku ke dalam fatamorgana pikiranku.
Sungguh besar keinginan untuk menyapa dirinya, namun bibir ini seakan terkunci. Apakah cinta telah memainkan perannya ? Perasaan kehilangan yang kerap membuatku tersiksa apakah ini juga bagian dari skenario yang bernama cinta ? Mungkinkah aku telah benar-benar jatuh cinta kepadanya? Pertanyaan samar yang seringkali muncul. Aku memang terlalu bego untuk standar seorang pejantan, tapi mestikah seperti ini ?
Kembali aku dilumat oleh perasaanku sendiri, perasaan yang terbelenggu hasrat. Mengapa aku menjadi lumpuh, dimana keberanianku, dimana argumen-argumenku, dimana retorika-retorikaku, dimana. Aku benar-benar dibuatnya tak berdaya.
Terkadang aku meragukan diriku dalam hal menaklukkan hati seorang perempuan, dan apapun alasannya itu bukanlah sebuah aksioma yang bisa diterima oleh rasioku sendiri untuk membiarkan diriku terlihat dungu dihadapan seorang perempuan.
Gadis itu, sepertinya telah menyihir aku menjadi seorang feminim lugu. Ini sungguh aneh. Ah, aku hanya bisa menekuri diriku sendiri, menekuri segala kebodohanku. Aku mendesah, redup cahaya mataku hanya mampu bertengger pasrah diatas tanganku yang menelusupi cangkir kopi.
Setahun waktu telah berlalu, dan pena sejarah telah mengukirkan berbagai macam kisah, tapi aku malah merasakan waktu tidak pernah berputar, dan pena sejarah tidak menorehkan penanya di catatan sejarahku. Aku kepayahan dengan pikiranku sendiri, pikiran yang tidak bisa aku kendalikan dari memikirkan Dokter Muda itu. Tiap kali aku melihat mahasiswa kedokteran dengan jas putih kasnya, sontak simpul-simpul syarafku merespon dan menggiring pikiranku untuk segera mengidentifikasi sebuah bayangan, dan dialah Dokter Muda Rezky. Rambutnya yang hitam sebatas bahu senantiasa ia kuncir ala ekor kuda, dan itu sepertinya telah menjadi cirinya. Hidung yang mancung, sorot mata yang sendu dengan pancaran kelembutan, sungguh telah meluluhkan aku dalam pesona keindahannya.
Situasi peran dalam koridor sebuah pertemuan yang selalu berakhir tanpa eksekusi. Ironis memang ketika keraguan dengan terpaksa mesti mematikan karakter. Aku terlalu pesimis untuk diriku sendiri, penyakit kronis yang telah menemani siklus hidupku. Ia memang terlalu setia untuk sebuah penyakit.
Duhai perempuan yang telah membuat aku semakin tak berdaya. Sungguh pesonamu telah merusak tatanan hidupku. Ada apa dengan dirimu, dan apa yang telah terjadi dengan diriku. Apa yang telah engkau lakukan dan apa yang mesti aku perbuat. Pertanyaan yang selalu teronggok pasrah disudut kehampaan.
Rasa penasaran yang setia menggoda nalarku menggelitik logika kelelakianku dan seperti biasanya ia hanya mampu mengganggu kenikmatan tidurku. Aku selalu berharap untuk menjadi lebih baik, namun kesempatan itu kapan lagi datangnya, ya... mungkin hanya waktu yang akan menjawab segalanya.
Dalam kepasrahan sebuah penantian, aku hanya mampu membiarkan diriku digilas oleh roda waktu yang seakan-akan meninggalkan aku semakin jauh. Aku kehilangan jejaknya, namun pikiranku terasa semakin dekat. Rindu yang terus menggedor-gedor terlalu setia untuk terus menggiring aku memikirkannya. Lalu sampai kapan aku harus menekuni sebuah aktifitas yang semakin lama semakin tidak jelas, rasioku berontak. Tidak, aku tidak boleh menyerah, ini hanyalah persoalan waktu, nuraniku menasehati. Sungguh ini menjadi sesuatu yang tidak biasa. Ditengah konflik antara akal dan nuraniku, tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh suara perempuan, " Permisi, boleh saya duduk disini ?"
" Silahkan !" kataku tanpa berpaling, hanya sekilas aku melihatnya, lalu kembali mataku bertengger diatas cangkir kopi.
" Maaf, saya tidak bermaksud sok tahu, tapi kayaknya anda sedang memikirkan sesuatu dan itu sangat mengganggu anda !" katanya menyelidik.
Aku diam saja, pandanganku masih bertengger diatas bibir cangkir. " Maaf kalau saya terlalu lancang, saya tidak bermaksud mengusik anda, skali lagi maaf ya !" kembali dia mengomentariku lalu diam. Dengan rasa sedikit penasara, aku mengangkat wajahku perlahan mencari tahu seperti apa wujud gerangan wanita yang tengah berbicara denganku, dan... ASTAGA ?!!!,.... Seketika jantungku berdetak kencang, darahku yang awalnya hanya mengalir pelan tiba-tiba aku rasakan seperti aliran air Situ Gintung yang menghanyutkan puluhan rumah. " Rezky !" tanpa sadar nama itu seketika terucap.
Wanita itu memandangku, dengan pandangan sedikit heran, " anda tahu nama saya ?"
Aku benar-benar grogi, cepat-cepat aku menyulut sebatang rokok untuk mengimbangi rasa kikuk yang tengah menyerangku. Dalam kemelut waktu yang begitu cepat, aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja berusaha menutupi dahsyatnya gempa bathin yang tengah bergolak. Perlahan gejolak bathinku perlahan reda, sehingga aku sudah bisa merasakan segalanya menjadi normal kembali.
" Anda sudah lupa dengan saya ?" sekarang giliran dia yang seperti orang kebingungan.
" Apakah, kita pernah ketemu sebelumnya, maaf saya betul-betul lupa ?" Tanyanya heran. Terus terang aku sedikit dongkol, berarti selama ini aku hanya sibuk sendiri memikirkan dirinya, sementara dia sedikitpun tidak pernah memikirkan diriku, bushet, tapi tidak apalah, pikirku. Mungkin saja, ia terlalu sibuk lagi pula pertemuan kami selama ini hanya sekilas, mungkin baginya pertemuan itu tidak ada yang istimewa, beda dengan diriku.
Tanpa basa-basi, kuceritakan segalanya mulai dari awal pertemuan kami di lab. Forensik, hingga perasaan-perasaanku selama ini terhadapnya tanpa ada yang saya tutup-tutupi.
" Seperti itukah ?" ujarnya agak serius. Aku hanya mengangguk.
" Mengapa saat itu anda tidak pernah berterus terang ?" tanyanya kembali.
" Itu dia..., sesuatu yang sampai saat ini belum saya temukan jawabannya !" candaku. Dia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sudah sekian lama aku rindukan. " Sekarang, semua-muanya sudah saya jelaskan, lalu kamu sendiri bagaimana?"
" Menurut kamu, seharusnya saya bagaimana ?" kembali ia bertanya sembari tersenyum.
Saya diam, sembari memandangi dirinya yang diam seperti boneka. Dari balik bola matanya yang teduh ada sinar kerinduan dan kebahagiaan yang terpancar, dan bagiku itu adalah sebuah penegasan yang tak perlu lagi dipertegas dengan seuntai kalimat penegasan. Mata kami beradu sekian lamanya, dan getar-getar kerinduan penuh harapan telah menjawab segala-galanya. Kuraih tangannya yang lembut, dan genggaman tangan kami telah mengisyaratkan penyatuan dua jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI