" Maaf, saya tidak bermaksud sok tahu, tapi kayaknya anda sedang memikirkan sesuatu dan itu sangat mengganggu anda !" katanya menyelidik.
Aku diam saja, pandanganku masih bertengger diatas bibir cangkir. " Maaf kalau saya terlalu lancang, saya tidak bermaksud mengusik anda, skali lagi maaf ya !" kembali dia mengomentariku lalu diam. Dengan rasa sedikit penasara, aku mengangkat wajahku perlahan mencari tahu seperti apa wujud gerangan wanita yang tengah berbicara denganku, dan... ASTAGA ?!!!,.... Seketika jantungku berdetak kencang, darahku yang awalnya hanya mengalir pelan tiba-tiba aku rasakan seperti aliran air Situ Gintung yang menghanyutkan puluhan rumah. " Rezky !" tanpa sadar nama itu seketika terucap.
Wanita itu memandangku, dengan pandangan sedikit heran, " anda tahu nama saya ?"
Aku benar-benar grogi, cepat-cepat aku menyulut sebatang rokok untuk mengimbangi rasa kikuk yang tengah menyerangku. Dalam kemelut waktu yang begitu cepat, aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja berusaha menutupi dahsyatnya gempa bathin yang tengah bergolak. Perlahan gejolak bathinku perlahan reda, sehingga aku sudah bisa merasakan segalanya menjadi normal kembali.
" Anda sudah lupa dengan saya ?" sekarang giliran dia yang seperti orang kebingungan.
" Apakah, kita pernah ketemu sebelumnya, maaf saya betul-betul lupa ?" Tanyanya heran. Terus terang aku sedikit dongkol, berarti selama ini aku hanya sibuk sendiri memikirkan dirinya, sementara dia sedikitpun tidak pernah memikirkan diriku, bushet, tapi tidak apalah, pikirku. Mungkin saja, ia terlalu sibuk lagi pula pertemuan kami selama ini hanya sekilas, mungkin baginya pertemuan itu tidak ada yang istimewa, beda dengan diriku.
Tanpa basa-basi, kuceritakan segalanya mulai dari awal pertemuan kami di lab. Forensik, hingga perasaan-perasaanku selama ini terhadapnya tanpa ada yang saya tutup-tutupi.
" Seperti itukah ?" ujarnya agak serius. Aku hanya mengangguk.
" Mengapa saat itu anda tidak pernah berterus terang ?" tanyanya kembali.
" Itu dia..., sesuatu yang sampai saat ini belum saya temukan jawabannya !" candaku. Dia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sudah sekian lama aku rindukan. " Sekarang, semua-muanya sudah saya jelaskan, lalu kamu sendiri bagaimana?"
" Menurut kamu, seharusnya saya bagaimana ?" kembali ia bertanya sembari tersenyum.