Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sandiwara Radio Bermuatan Konten Lokal sebagai Media Sosialisasi Siaga Bencana

17 September 2016   17:53 Diperbarui: 17 September 2016   20:12 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pembicara berfoto bersama pemeran utama sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana

Kedua, sasaran target pendengar radio. Kalau sasaran targetnya adalah usia 40 tahun ke atas, cerita kolosal  masih cocok. Mereka memiliki kerinduan tersendiri dengan sandiwara radio. Bagaimana  dengan remaja dan anak muda? Apakah mereka mau mendengarkan sandiwara radio? Biasanya anak muda mendengarkan musik dari  radio. Itu perlu dipikirkan. Ke depan mungkin bisa dibuat sandiwara radio yang bertemakan kekinian, misalnya tema keluarga  yang diselipkan dengan materi edukasi. Hal tersebut  perlu dipikirkan  karena pendengar radio itu heterogen dari segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sampai taraf ekonomi.

Konten Lokal

Tahun 1980-an sampai  1990-an radio di daerah menyiarkan  sandiwara radio dengan konten lokal yang  diproduksi sendiri. Hal tersebut sangat  membantu penerimaan sandiwara radio di  masyarakat. Pemilihan stasiun radio ini penting. Harus diperhatikan sejauh mana radio itu  bisa menjangkau pendengarnya di pelosok. Namun terkadang kondisi alam menghambat frekuensi masuk sampai ke  pelosok. Radio komunitas memegang peranan. Achamd menyarankan BPNB ke depannya  membantu radio komunitas di daerah lain supaya bisa berkembang.

Selain itu perlu dilihat apakah radio memiliki basis pendengar yang cukup baik. Biasanya radio  punya data perihal penetrasi siaran, jumlah pendengar, usia pendengar, sampai waktu mendengarkan. Data tersebut bisa menjadi pertimbangan dalam  pemilihan jam siar. Perlu diperhatikan pula kualitas daya siar. Semakin kecil power dalam memancarkan siaran radio, frekuensinya semakin jelek. Maka harus dicek kekuatannya. Selain itu promosi program, sejauh mana radio yang ditunjuk ini bisa melakukan promosi program sandiwara radio  kepada pendengar dengan menarik. “Misalnya membuat ads clip dengan kutipan sandiwara radio itu, memasang spanduk, atau menempatkan informasi di website atau social media,” ujar Achmad, seorang coach&trainer.

Para pembicara berfoto bersama pemeran utama sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana
Para pembicara berfoto bersama pemeran utama sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana
Pemilihan jam siar  harus diperhatikan.  Masyarakat di desa rata-rata bekerja sebagai petani. Sesampainya di rumah setelah bekerja, mereka beristirahat sambil mendengarkan dangdut yang disiarkan di radio. Selain itu kumpul keluarga disemarakkan dengan radio. Radio itu bersifat personal. Achmad mengusulkan BNPB menyiarkan sandiwara radio ini pada siang dan malam hari. Mengantisipasi mereka yang bekerja pada siang hari atau sebaliknya. Masing-masing radio memiliki karakteristik yang berbeda dengan  pendengar yang berbeda pula. Fungsi radio mencakup hiburan, informasi, dan edukasi.

Achmad memberi masukan untuk menyelenggarakan acara off air, semacam temu kangen. BNPB bisa memanfaatkan  kesempatan untuk melakukan presentasi. Acara off air sangat penting bagi pendengar. Sebab  mereka merasa lebih dekat dan  bisa bicara secara langsung. Tak hanya itu, diselenggarakan kuis berhadiah untuk  membangun kesetiaan mendengarkan sandiwara radio. Sutradara sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana Haryoko yang memiliki pengalaman panjang, menyampaikan saat ini jauh lebih mudah memproduksi karena kelengkapan yang berbeda dengan jaman dulu. Kekuatan sandiwara radio pada masa lalu adalah jalan ceritanya. Sebab musik dan sound effect sangat terbatas. “Secara teknis sudah terjaga. Hal ini membuat imajinasi pendengar lebih mudah dimainkan karena musik yang kuat dan dramatisasi,” kata Haryoko.

Pada jaman dahulu persaingan tidak seketat jaman sekarang. Saat ini kompetitor radio sangat banyak. Namun bergantung kepada promosi dan sosialisasi sandiwara radio. Sekarang eranya  digital. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi tonggak sejarah sandiwara  radio kembali lagi walaupun dengan media yang berbeda, seperti  streaming. Tokoh yang berjaya pada masa lalu kini tidak  muda lagi, salah satunya  Ivone Rose. Oleh karena itu Haryoko melakukan penyesuaian karakter. Karakter suara Ivone  tidak lagi  anak muda  yang masih emosional, lebih cocok memerankan  lurah. “Kesulitannya adalah tidak ada regenerasi pemain drama radio. Sulit mencari  peran muda,” kata Haryoko.  

Haryoko menceritakan saat acara off air beberapa tahun lalu, banyak sekali penggemar drama radio yang  sangat fanatik. Bahkan seorang tunanetra dari  Bali hapal semua dialog ketika diperkenalkan dengan tokoh idolanya. Sulit memaksakan anak muda  mendengar drama radio. Sebab banyak sekali pilihan jaman sekarang. Pendekatannya, bagaimana drama radio  bisa masuk ke media mereka, misalnya melalui Twitter.

Di akhir diskusi, Sutopo berharap rekan-rekan blogger  menulis artikel pencegahan bencana dan kampanye kegiatan prabencana,  bukan hanya saat bencana terjadi. Tema itu sudah diliput semua media. Bagaimana dengan tulisan  prabencana, risiko bencana yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan itu disebarluaskan. Ingat, penanganan risiko bencana adalah investasi  dalam pembangunan. Di Amerika, ada dana yang diinvestasikan untuk penelitian serta kegiatan pengurangan risiko bencana, entah itu sosialisasi, latihan, atau pendidikan. Ternyata cara tersebut mampu mengurangi kerugian bencana. “Di Indonesia  belum ada penelitian soal itu,” kata Sutopo.

Sutopo mencontohkan, di Imogiri Kabupaten Bantul saat musim kemarau pohon-pohon selalu merangas, sumur kering, dan banjir. Solusinya adalah membangun bendungan mini dengan biaya Rp 80 juta. Warga gotong royong membiayai sekitar Rp 13 juta. Tiga tahun kemudian BNPB datang lagi,  sudah terjadi perubahan total. Terlihat hutan. Seorang warga menyampaikan, warga kerja bakti meninggikan tanggul agar air hujan  tidak menggenangi sawah. Kegiatan terebut harus menjadi gerakan sosial. “Semua informasi kebencanaan bisa diperoleh di www.bnpb.go.id. Ada juga BNPB TV, berisi  film-film dokumenter,” kata Sutopo.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun