Kedua, sasaran target pendengar radio. Kalau sasaran targetnya adalah usia 40 tahun ke atas, cerita kolosal masih cocok. Mereka memiliki kerinduan tersendiri dengan sandiwara radio. Bagaimana dengan remaja dan anak muda? Apakah mereka mau mendengarkan sandiwara radio? Biasanya anak muda mendengarkan musik dari radio. Itu perlu dipikirkan. Ke depan mungkin bisa dibuat sandiwara radio yang bertemakan kekinian, misalnya tema keluarga yang diselipkan dengan materi edukasi. Hal tersebut perlu dipikirkan karena pendengar radio itu heterogen dari segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, sampai taraf ekonomi.
Konten Lokal
Tahun 1980-an sampai 1990-an radio di daerah menyiarkan sandiwara radio dengan konten lokal yang diproduksi sendiri. Hal tersebut sangat membantu penerimaan sandiwara radio di masyarakat. Pemilihan stasiun radio ini penting. Harus diperhatikan sejauh mana radio itu bisa menjangkau pendengarnya di pelosok. Namun terkadang kondisi alam menghambat frekuensi masuk sampai ke pelosok. Radio komunitas memegang peranan. Achamd menyarankan BPNB ke depannya membantu radio komunitas di daerah lain supaya bisa berkembang.
Selain itu perlu dilihat apakah radio memiliki basis pendengar yang cukup baik. Biasanya radio punya data perihal penetrasi siaran, jumlah pendengar, usia pendengar, sampai waktu mendengarkan. Data tersebut bisa menjadi pertimbangan dalam pemilihan jam siar. Perlu diperhatikan pula kualitas daya siar. Semakin kecil power dalam memancarkan siaran radio, frekuensinya semakin jelek. Maka harus dicek kekuatannya. Selain itu promosi program, sejauh mana radio yang ditunjuk ini bisa melakukan promosi program sandiwara radio kepada pendengar dengan menarik. “Misalnya membuat ads clip dengan kutipan sandiwara radio itu, memasang spanduk, atau menempatkan informasi di website atau social media,” ujar Achmad, seorang coach&trainer.
Achmad memberi masukan untuk menyelenggarakan acara off air, semacam temu kangen. BNPB bisa memanfaatkan kesempatan untuk melakukan presentasi. Acara off air sangat penting bagi pendengar. Sebab mereka merasa lebih dekat dan bisa bicara secara langsung. Tak hanya itu, diselenggarakan kuis berhadiah untuk membangun kesetiaan mendengarkan sandiwara radio. Sutradara sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana Haryoko yang memiliki pengalaman panjang, menyampaikan saat ini jauh lebih mudah memproduksi karena kelengkapan yang berbeda dengan jaman dulu. Kekuatan sandiwara radio pada masa lalu adalah jalan ceritanya. Sebab musik dan sound effect sangat terbatas. “Secara teknis sudah terjaga. Hal ini membuat imajinasi pendengar lebih mudah dimainkan karena musik yang kuat dan dramatisasi,” kata Haryoko.
Pada jaman dahulu persaingan tidak seketat jaman sekarang. Saat ini kompetitor radio sangat banyak. Namun bergantung kepada promosi dan sosialisasi sandiwara radio. Sekarang eranya digital. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi tonggak sejarah sandiwara radio kembali lagi walaupun dengan media yang berbeda, seperti streaming. Tokoh yang berjaya pada masa lalu kini tidak muda lagi, salah satunya Ivone Rose. Oleh karena itu Haryoko melakukan penyesuaian karakter. Karakter suara Ivone tidak lagi anak muda yang masih emosional, lebih cocok memerankan lurah. “Kesulitannya adalah tidak ada regenerasi pemain drama radio. Sulit mencari peran muda,” kata Haryoko.
Haryoko menceritakan saat acara off air beberapa tahun lalu, banyak sekali penggemar drama radio yang sangat fanatik. Bahkan seorang tunanetra dari Bali hapal semua dialog ketika diperkenalkan dengan tokoh idolanya. Sulit memaksakan anak muda mendengar drama radio. Sebab banyak sekali pilihan jaman sekarang. Pendekatannya, bagaimana drama radio bisa masuk ke media mereka, misalnya melalui Twitter.
Di akhir diskusi, Sutopo berharap rekan-rekan blogger menulis artikel pencegahan bencana dan kampanye kegiatan prabencana, bukan hanya saat bencana terjadi. Tema itu sudah diliput semua media. Bagaimana dengan tulisan prabencana, risiko bencana yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan itu disebarluaskan. Ingat, penanganan risiko bencana adalah investasi dalam pembangunan. Di Amerika, ada dana yang diinvestasikan untuk penelitian serta kegiatan pengurangan risiko bencana, entah itu sosialisasi, latihan, atau pendidikan. Ternyata cara tersebut mampu mengurangi kerugian bencana. “Di Indonesia belum ada penelitian soal itu,” kata Sutopo.
Sutopo mencontohkan, di Imogiri Kabupaten Bantul saat musim kemarau pohon-pohon selalu merangas, sumur kering, dan banjir. Solusinya adalah membangun bendungan mini dengan biaya Rp 80 juta. Warga gotong royong membiayai sekitar Rp 13 juta. Tiga tahun kemudian BNPB datang lagi, sudah terjadi perubahan total. Terlihat hutan. Seorang warga menyampaikan, warga kerja bakti meninggikan tanggul agar air hujan tidak menggenangi sawah. Kegiatan terebut harus menjadi gerakan sosial. “Semua informasi kebencanaan bisa diperoleh di www.bnpb.go.id. Ada juga BNPB TV, berisi film-film dokumenter,” kata Sutopo.