Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sandiwara Radio Bermuatan Konten Lokal sebagai Media Sosialisasi Siaga Bencana

17 September 2016   17:53 Diperbarui: 17 September 2016   20:12 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pembicara (dari kiri ke kanan), sutradara Haryoko, penulis naskah S. Tidjab, Kapusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho, praktisi radio Achmad Zaini, dan moderator

Pengetahuan masyarakat Indonesia terkait bencana belum menjadi sikap,  perilaku, bahkan  budaya. Merupakan tantangan untuk mengkomunikasikan dan mensosialisasikan siaga bencana, salah satunya melalui siaran radio.

Mengapa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memilih sandiwara radio untuk sosialisasi bencana?  BNPB ingin mencari sesuatu yang berbeda dengan kementerian atau lembaga lain. Berdasarkan banyak penelitian dan pengalaman, sosialisasi kepada masyarakat akan lebih mudah dipahami dan  diterima  melalui jalur-jalur informal, terlebih  jalur kebudayaan dan kesenian yang disukai masyarakat, salah satunya sandiwara radio. Demikian Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BNPB Sutopo Purwo Nugroho membuka nangkring “Siaga Bencana melalui Media Sandiwara Radio” pada 18 Agustus lalu. Acara tersebut terselenggara berkat kerja sama BNPB dan Kompasiana.

Masih terekam jelas dalam ingatan Sutopo pada  1986 saat duduk di bangku  SMP di Boyolali, ia tak sabar menanti  sandiwara radio Tutur Tinular atau Saur Sepuh. Termasuk  suara Ivone Rose yang lekat dengan perempuan penggoda. Menurut Sutopo, cara tersebut membuat informasi lebih mudah  diterima dan diingat seterusnya. Oleh karena itu BNPB menginisiasi sandiwara radio, roman sejarah Asmara di Tengah Bencana karya S. Tidjab. Kisah tersebut mengandung unsur heroisme atau kepahlawanan,  romantisme, dan disisipi dengan hal-hal yang terkait  masalah bencana. “Ini adalah program BNPB untuk mensosialisasikan siaga bencana melalui siaran radio,” kata Sutopo.

Sutopo melanjutkan, pertimbangan anggaran menyebabkan sandiwara radio tersebut dibuat dalam 50 episode, satu episode berdurasi 30 menit. Sandiwara radio tersebut  disiarkan di 20 radio, terdiri dari 18 radio lokal dan dua  radio komunitas di seluruh Pulau Jawa mulai 18 Agustus. Pada erupsi Merapi tahun 2010 dan erupsi Kelud tahun 2014, masyarakat  berhasil dalam  penanganan maupun pascabencana. Mereka cepat sekali bangkit berkat  media komunikasi yang sangat efektif, yakni radio komunitas. Itulah yang akan digunakan BNPB sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. “Ingat, media menjadi sesuatu yang penting dalam penanganan bencana,” tutur Sutopo, lulusan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

Para pembicara (dari kiri ke kanan), sutradara Haryoko, penulis naskah S. Tidjab, Kapusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho, praktisi radio Achmad Zaini, dan moderator
Para pembicara (dari kiri ke kanan), sutradara Haryoko, penulis naskah S. Tidjab, Kapusdatin BNPB Sutopo Purwo Nugroho, praktisi radio Achmad Zaini, dan moderator
Banyak kajian dan penelitian menunjukkan, media penting dalam penanganan bencana karena media mampu mempengaruhi keputusan politik (media dapat menangkap isu-isu menjadi keputusan politik), media mampu mempengaruhi dan mengubah sikap dan perilaku masyarakat, serta media mampu menyelamatkan nyawa manusia.

Faktor-faktor tersebut yang selalu dipegang sehingga media menjadi prioritas  dalam penanganan bencana. Bagi BNPB media adalah mitra yang strategis. Banyak jalur yang digunakan, baik itu media cetak, televisi, radio, online, dan sebagainya. Kerja sama dengan blogger khususnya Kompasianer pertama kalinya diadakan. “Maka kami ingin saran dan masukan, ide-ide yang menurut rekan-rekan baik untuk kami tampung,” kata Sutopo yang merampungkan S2 dan S3 di bidang hidrologi di Institut Pertanian Bogor.

Mungkin perlu dibentuk komunitas blogger peduli bencana, sebagaimana diusulkan Sutopo, seperti komunitas wartawan peduli bencana (Wapena). Mereka membentuk forum komunikasi di wilayahnya masing-masing, seperti Bali dan Kalimantan Timur. Wartawan dari berbagai media dilatih di provinsi sebanyak dua sampai tiga kali dalam setahun.

Menurut mereka ternyata tidak mudah menangani bencana, seperti mendirikan tenda atau operasi SAR. Tujuan pelatihan tersebut adalah wartawan memiliki pemahaman yang komprehensif baik teori maupun praktik. Tentu saat penulisan akan berbeda sekali ketika memiliki pengetahuan baru. “Saya mohon dukungannya. Program sandiwara radio ini baru pertama kali diadakan. Belum ada kementerian atau lembaga yang membuat semacam ini,” ujar Sutopo.

Apakah masyarakat Indonesia siap menghadapi bencana? Belum. Sutopo memaparkan, pengetahuan bencana meningkat setelah tsunami Aceh. Namun pengetahuan itu  belum menjadi sikap,  perilaku, bahkan  budaya. Masih sangat jauh. Berbeda dengan Jepang yang  sudah siap menghadapi bencana. Sebab pengetahuan warganya  sudah menjadi sikap, perilaku, bahkan budaya. Ini menjadi tantangan yang besar.

Penelitian  menunjukkan kesiapsiagaan masyarakat Indonesia  masih rendah. Sebagai contoh,  kebakaran hutan yang setiap tahun terjadi. Atau longsor tahun 2014, 2015, dan 2016,  bencana yang paling mematikan. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Karena masyarakat tinggal di wilayah yang rawan longsor. “Mungkin mereka tidak tahu atau  tahu tapi tidak ada pilihan lain. Hal tersebut terkait lemahnya penegakan hukum,” kata Sutopo.

Sutopo juga mencontohkan gempa. Jalur sesat hanya terlihat di peta. Kemudian berkembang menjadi permukiman. Ketika terjadi bencana semua ribut. Misalnya, masjid yang dibangun di jalur sesat dengan  patahan. Di Jepang semua wilayah yang terendam tsunami tidak boleh dijadikan permukiman. Berbeda dengan Indonesia. Tsunami  suatu saat pasti akan terjadi lagi. Pasalnya tsunami adalah  bencana biologi dengan  siklus 200-300 tahun sekali. Masyarakat Indonesia belum menganggap penting tsunami. Banyak alat peringatan dini yang hilang. Bahkan seismograf di puncak gunung hilang. Tak hanya itu, semua kota di Jepang  punya museum bencana. Berbeda dengan  Indonesia,  sehingga pengetahuan kebencanaan  sulit disalurkan.  “Ini tantangan dan tugas kita bersama, bagaimana mengkomunikasikan dan mensosialisasikan kepada masyarakat,” kata Sutopo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun