[caption caption="(kiri ke kanan) moderator dari Forum Berbagi Info, peneliti dari Akar Rumput Strategic Consulting Airlangga Pribadi, Sekretaris Jenderal DPP PAN Eddy Soeparno, dan budayawan Betawi Ridwan Saidi"][/caption]Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan Ahok kini menjadi sorotan di berbagai media. Sosoknya kontroversial, tegas, dan berani menuai kritik dari berbagai program yang dijalankan. Terutama saat namanya terseret di berbagai kasus, diantaranya reklamasi Teluk Jakarta dan RS Sumber Waras. Ahok dinilai terlalu keras terhadap warga. Hal itu ditentang oleh berbagai pihak.
Berkaitan dengan hal tersebut Forum Berbagi Info dan MB Communication sebagai koordinator netizen menyelenggarakan diskusi dengan tema Ekspresi Warga terhadap Kepemimpinan Ahok pada 15 April 2016 di Restoran Omah Sendok. Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, budayawan Betawi Ridwan Saidi, dan peneliti dari Akar Rumput Strategic Consulting Airlangga Pribadi.
Eddy menyampaikan sebelum melangkah ke pembahasan, segala hal yang disampaikan bukan berasal dari partai politik. Hal yang didiskusikan tidak serta-merta menjadi pandangan politik sebab kita bicara dalam forum kritis. Eddy menegaskan tidak akan menjadi pembicara yang sifatnya menyudutkan atau justru ikut dalam gerbong yang boleh dikatakan menghujat Ahok. Sebab saat ini begitu banyaknya serangan bertubi-tubi terhadap Ahok terkait dengan permasalahan hukum, sosial, hingga pilkada. “Kita bicara beberapa hal yang sifatnya aktual terkait kepemimpinan Ahok, termasuk apa yang menjadi titik penting bagi Jakarta sebagai ibukota negara,” ujar Eddy.
Pilkada DKI merupakan topik yang sangat penting di samping topik pilkada lainnya yang akan dilaksanakan pada Februari 2017. Pilkada DKI menjadi sangat menarik karena etalase nasional dengan segala kompleksitasnya. Bertambah menarik karena incumbentnya adalah Ahok yang beberapa tahun lalu sama sekali tidak diperhitungkan untuk menjadi pemimpin di Jakarta. Menggantikan pendahulunya Jokowi bukan tanpa rintangan dan kendala pada saat itu. Eddy melihat proses pilkada yang dilaksanakan cenderung mengedepankan sosok. Selain Ahok, ada Yusril Ihza Mahendra atau Sandiaga Uno. “Gambaran yang ditampilkan di masyarakat adalah individu yang saling menyindir,” tutur Eddy.
Menurut Eddy, hal yang wajib dikedepankan adalah substansi dari pertarungan Pilkada DKI yaitu pertarungan gagasan, program, dan konsep. Selama ini kita hanya mendengar sosok. Kita tidak pernah mendengar misalnya konsep pembangunan ekonomi Jakarta, pengembangan pasar tradisional, atau Jakarta sebagai green city. Masyarakat layak mengetahui hal itu dari masing-masing pasangan calon. Memang saat kampanye mereka diberi kesempatan mengajukan gagasannya. Namun tidak ada salahnya di awal masyarakat diberi pemahaman mengenai siapa saja yang memiliki gagasan mewakili aspirasi masyarakat. Sebab warga DKI adalah kaum terdidik, cerdas, dan urban sehingga apa yang ‘dijual’ kepada mereka harus sebuah konsep, gagasan, serta program. “Warga jangan memilih berdasarkan profil, melainkan gagasan,” kata Eddy.
Secara institusi PAN melihat penggusuran yang terjadi berlangsung secara represif. Seharusnya hal itu bisa dihindari. Kita tahu realita di lapangan bahwa tidak ada penggusuran tanpa dinamika, tanpa air mata. Jangan sampai terbentuk gambaran terjadi proses pemaksaan. Apalagi seorang kepala daerah yang seyogyanya mengetahui dan menjalankan fungsinya dengan menyerap aspirasi masyarakat serta melakukan komunikasi dan pendataan secara sosial kultural. Dengan demikian dialog bisa dilakukan dengan baik serta sosialisasi tanpa kekerasan dan pertumpahan darah.
Eddy memandang apa yang dilakukan Ahok itu efektif. Beliau melakukan reformasi birokrasi dan berhasil. Selain itu menerapkan egovernment dari pendahulunya Jokowi, tegas, berani melakukan terobosan. Hal itu yang diapresiasi sebagai keunggulan yang dimiliki Ahok meskipun ada kekurangannya. Pemimpin di mana pun adalah teladan tetapi terkadang Ahok itu kurang mampu mengontrol ucapan. Hal itu yang mengusik masyarakat Indonesia yang masih ketimuran yang mengedepankan sopan santun dan tata krama. “Bagaimanapun pula ada dua sisi, positif dan negatif, keunggulan dan kekurangan,” kata Eddy.
[caption caption="Seorang pemimpin memiliki dua sisi, positif dan negatif, keunggulan dan kekurangan "]
Airlangga melihat diskusi ini bukan persoalan pro dan kontra Ahok. Bagaimana kita melakukan penilaian dan evaluasi serta mengontrol kebijakan publik yang dilahirkan pemerintah kota Jakarta, kepada siapa kebijakan-kebijakan tersebut diperuntukkan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, siapa yang mengambil manfaat dan diuntungkan dari sebuah kebijakan ketika diproduksi dan direalisasikan. Siapa yang diakomodasi dalam kebijakan yang diambil pemerintah. Kedua, siapa yang dipinggirkan, siapa yang tidak dilibatkan, siapa yang dimarginalisasikan dalam kebijakan yang diambil. Peruntukan itu menjadi penting dan mendasar ketika kita menilai sebuah pemerintahan yang demokratis.
Ketiga, mengapa sebuah kebijakan itu menguntungkan sekelompok pihak, menguntungkan kepentingan kelompok tertentu, dan mengapa merugikan kelompok sosial tertentu. Terkait hal itu, kita bicara tentang corak kekuasaan, siapa yang dirangkul. Aliansi ekonomi politik seperti apa yang menjadi gambaran sebuah pemerintahan terbangun. Di dalamnya kita melihat bagaimana hubungan timbal balik antara mereka yang berkuasa, antara kekuatan elite politik dengan kepentingan kelompok yang diuntungkan dalam kebijakan itu. Bagaimana legitimasi sebuah kebijakan itu diambil? Meskipun kebijakan itu merugikan kepentingan orang banyak, legitimasi pengetahuan itu ditanamkan. Dengan demikian kelompok-kelompok sosial yang sebenarnya dirugikan oleh kebijakan tersebut merasa diuntungkan atau ikut membela kebijakan. “Walaupun dalam kepentingan konkritnya mereka dirugikan oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah,” kata Airlangga.
Ketimbang berbicara mengenai figur, lebih bermanfaat untuk kepentingan warga Jakarta adalah berbicara tiga hal di atas. Terkait reklamasi Teluk Jakarta, bukankah setiap kebijakan butuh partisipasi. Harga properti paling murah di sana adalah Rp 3,77 miliar. Berapa banyak orang Jakarta yang bisa mendapatkan akses untuk menikmati harga tanah di wilayah reklamasi selain dari kepentingan kelompok-kelompok pengembang. Kita juga melihat problem ekologis dari reklamasi Teluk Jakarta. Data menunjukkan ketika reklamasi dilakukan justru mendorong pada problem banjir, pencemaran lingkungan, dan kerusakan ekologis dari daerah-daerah pengurukan pasir.
Sebetulnya kita melihat tidak ada keseimbangan antara kepentingan bisnis dalam aspek reklamasi dengan kerusakan lingkungan. Tidak adanya akses terhadap orang-orang miskin yaitu berkurangnya kampung nelayan. Ada problem-problem yang mendasar, kelompok sosial mana yang diuntungkan dan dirugikan dari kebijakan tersebut. Terkait dengan corak kekuasaan, sebuah kebijakan diambil untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Indikasi corak kekuasaan di Jakarta itu sangat mudah memperlihatkan praktik korupsi, kolusi, dan terbangunnya sistem oligarki. Kepentingan kelompok yang kuat itu diakomodasi dengan praktik kolusi dan korupsi yang justru merugikan kepentingan bersama. “Ketika kita fokus pada figur, kita mengabaikan hal lain yang lebih penting, ke mana konsep Jakarta ini diarahkan, ke mana warga Jakarta mendapat manfaat dari praktik-praktik pembangunan,” ujar Airlangga.
Kita sering mempersepsikan persoalan-persoalan kota Jakarta akan selesai ketika menggantungkan hajat hidup, kepentingan, dan aspirasi kita kepada figur politik tertentu. Airlangga menilai hal itu bertentangan dengan aspek penting dalam berdemokrasi, partisipasi warga dalam mengevaluasi dan mendorong pemerintah kota Jakarta bekerja untuk kepentingan masyarakat. Hal yang penting adalah pengetahuan yang saat ini ditanamkan dan diinternalisasi kepada masyarakat. Meskipun sebagian besar warga Jakarta merasa dirugikan, sebetulnya dalam kepentingan kelompok yang dirugikan banyak yang membela. Pengetahuan ini berangkat dari pemahaman ketika kita bicara tentang kepentingan bisnis. Selain itu kepentingan partai yang dengan sendirinya mengarah kepada kebahagiaan hidup dan kesejahteraan tanpa memperhitungkan kepentingan publik sebagai pembatas pagar, dan prinsip yang harus dipahami.
Kebanyakan kalangan intelektual sering mengabaikan persoalan yang seharusnya disodorkan sebagai kepentingan warga Jakarta sekarang secara keseluruhan. Bahkan ada indikasi banyak kalangan intelektual di menara gading meledek kalangan yang berusaha kritis terhadap tendensi kebijakan yang tidak pro orang miskin. Airlangga memandang komitmen atau perhatian kalangan terdidik terhadap persoalan kota Jakarta adalah bentuk solidaritas. “Jakarta membutuhkan solidaritas warga termasuk kaum terdidiknya,” tutur Airlangga.
Edukasi
Ahli sejarah dan mantan anggota DPR tahun 1977-1987 Ridwan menyampaikan pemilikan tanah terbagi secara hukum dan histori. Jakarta harus menjadi sebuah kota peradaban. Dengan demikian mampu mendatangkan turis. Ridwan setuju dengan penataan Kota Tua. Turis asing saja rela mengeluarkan ongkos menggunakan ojek sepeda menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Tentunya akan ada keuntungan berganda dari pariwisata. Tujuan Jakarta menjadi kota peradaban adalah konflik tidak terjadi terus-menerus. Indonesia adalah negeri pesisir, bahari. Ada lagu, nenek moyangku orang pelaut. Ini yang harus dikembalikan. Sekarang nelayan tinggal di rusunawa, bagaimana mereka menjemur ikan, bagaimana mengeringkan jala. Tidak bisa dibayangkan perencanaan pembangunan kota tanpa nelayan. “Indonesia harus dibangun dengan kekuatan peradaban,” kata Ridwan.
Harus diingat di belakang 17 pulau reklamasi itu ada Pulau Seribu. Di sana ada anak yang harus sekolah. Reklamasi Teluk Jakarta bukan proyek bisnis, melainkan ancaman terhadap keamanan nasional. Ridwan memandang ada ancaman yang mengganggu keamanan nasional dalam kasus Teluk Jakarta, yakni tempat pembuatan obat terlarang di tanah kosong. Tidak menutup kemungkinan adanya konsentrasi kekuatan militer. “Ancaman terhadap Indonesia dimulai dari bibir Jakarta,” tutur Ridwan yang banyak menulis buku mengenai masyarakat Betawi.
Eddy memaparkan PAN adalah rumah besar bagi seluruh anak bangsa yang memiliki potensi. Mereka harus diberikan kesempatan untuk berkompetisi dalam berbagai hal, khususnya pertarungan Pilkada DKI tahun 2017. Semua pihak yang berpotensi dan kompeten akan dijadikan pertimbangan diajukan dalam Pilkada 2017, tidak terkecuali Ahok. Masing-masing calon memiliki catatan yang akan dievaluasi. Nantinya akan dibuat urutan berdasarkan pengalaman dan evaluasi internal dari PAN. Eddy melihat, jika reklamasi dilakukan dalam konteks perbaikan itu baik. Namun sebagian besar reklamasi pasti berdampak terhadap lingkungan dan ekosistem.
PAN melakukan evaluasi atas sejumlah nama yang maju atau berpotensi maju dalam Pilkada, tidak hanya Ahok. Dalam evaluasi itu dilihat apakah mereka mampu merangkul masyarakat heterogen di DKI. Selain itu apakah mereka pemimpin yang tegas, memiliki leadership dengan visi jangka panjang, dan mampu mengikuti perkembangan jaman. Jakarta tidak boleh sekadar membangun. Harus ada kemampuan dari pemimpin Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat yang mampu dihuni oleh masyarakat Indonesia secara umum. PAN merasa perlu mengedukasi dan meluruskan. Dalam Pilkada DKI bukan pertarungan sosok, melainkan gagasan dan program. Apa yang dilakukan pemimpin DKI akan dinikmati generasi mendatang. Menjadi penting adalah DKI dipimpin oleh seseorang yang bisa memakmurkan dan menyejahterakan. Pasalnya begitu kompleks masalah di DKI saat ini yang perlu diurai satu per satu dan membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya. “Itu kriteria yang kami kedepankan untuk mengevaluasi pemimpin Jakarta yang akan datang,” kata Eddy.
Pada closing statementnya, Eddy menyampaikan meskipun beliau berbicara atas nama PAN, forum ini bukan merupakan ajang kampanye untuk mengarahkan dukungan partai politik dalam rangka Pilkada DKI. Lebih baik bicara hal yang lebih makro untuk kepentingan warga DKI. Apakah pemimpin Jakarta nantinya mampu membangun secara berkesinambungan dan untuk jangka yang lebih panjang bagi generasi berikutnya. Sementara itu Airlangga menjelaskan, saatnya kita melampaui persoalan memilih berdasarkan agama atau ras. Banyak hal yang tidak berdasarkan substansi persoalan, yaitu kepentingan warga Jakarta yang diperjuangkan oleh pemimpinnya. Perlu dipikirkan mengenai mekanisme yang dilakukan partai untuk memilih gubernurnya. Apakah sekadar menimbang konstelasi politik atau lebih dari itu. “Ada mekanisme penjaringan tertentu yang patut dipertimbangkan,” tutur Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H