Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada DKI 2017: Pertarungan Gagasan, Bukan Sosok

21 April 2016   11:33 Diperbarui: 22 April 2016   18:42 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(kiri ke kanan) moderator dari Forum Berbagi Info, peneliti dari Akar Rumput Strategic Consulting Airlangga Pribadi, Sekretaris Jenderal DPP PAN Eddy Soeparno, dan budayawan Betawi Ridwan Saidi"][/caption]Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang lebih dikenal dengan Ahok kini menjadi sorotan di berbagai media. Sosoknya kontroversial, tegas, dan berani menuai kritik dari berbagai program yang dijalankan. Terutama saat namanya terseret di berbagai kasus, diantaranya  reklamasi Teluk Jakarta dan RS Sumber Waras. Ahok dinilai terlalu keras terhadap warga. Hal itu ditentang  oleh berbagai pihak.

Berkaitan dengan hal tersebut Forum Berbagi Info dan MB Communication sebagai koordinator netizen menyelenggarakan diskusi dengan tema Ekspresi Warga terhadap Kepemimpinan Ahok pada 15 April 2016 di Restoran Omah Sendok. Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, budayawan  Betawi Ridwan Saidi, dan peneliti dari Akar Rumput Strategic Consulting Airlangga Pribadi.

Eddy menyampaikan sebelum melangkah ke pembahasan, segala hal yang disampaikan bukan berasal dari partai politik. Hal yang didiskusikan  tidak serta-merta menjadi pandangan politik sebab kita bicara dalam forum kritis. Eddy menegaskan tidak akan menjadi pembicara yang sifatnya menyudutkan atau justru ikut dalam gerbong yang boleh dikatakan menghujat Ahok. Sebab saat ini  begitu banyaknya serangan bertubi-tubi terhadap Ahok terkait dengan  permasalahan hukum, sosial, hingga  pilkada. “Kita bicara beberapa hal yang sifatnya aktual terkait kepemimpinan Ahok, termasuk apa yang menjadi titik penting bagi  Jakarta sebagai ibukota negara,” ujar Eddy.

Pilkada DKI merupakan  topik yang sangat penting di samping topik pilkada lainnya yang akan dilaksanakan pada Februari 2017. Pilkada DKI  menjadi sangat menarik karena   etalase nasional dengan  segala kompleksitasnya. Bertambah menarik karena  incumbentnya adalah Ahok yang  beberapa tahun  lalu sama sekali tidak diperhitungkan untuk menjadi pemimpin di Jakarta. Menggantikan pendahulunya Jokowi bukan tanpa rintangan dan kendala pada saat itu. Eddy melihat proses pilkada yang dilaksanakan  cenderung mengedepankan sosok. Selain Ahok, ada Yusril Ihza Mahendra atau Sandiaga Uno. “Gambaran yang ditampilkan di masyarakat adalah individu yang saling menyindir,” tutur Eddy.

Menurut Eddy, hal yang wajib dikedepankan adalah substansi dari pertarungan Pilkada DKI yaitu  pertarungan gagasan, program, dan konsep. Selama ini kita hanya mendengar sosok. Kita tidak  pernah  mendengar misalnya konsep pembangunan ekonomi Jakarta, pengembangan pasar tradisional, atau Jakarta sebagai  green city. Masyarakat layak mengetahui hal itu dari masing-masing pasangan calon. Memang saat kampanye mereka  diberi kesempatan mengajukan gagasannya. Namun  tidak ada salahnya  di awal masyarakat diberi pemahaman mengenai siapa saja yang memiliki gagasan mewakili aspirasi masyarakat. Sebab warga DKI adalah kaum  terdidik, cerdas, dan urban sehingga apa yang ‘dijual’ kepada mereka  harus sebuah konsep, gagasan, serta program. “Warga jangan memilih berdasarkan profil, melainkan  gagasan,” kata Eddy.

Secara institusi PAN melihat penggusuran yang terjadi berlangsung secara represif. Seharusnya hal itu  bisa dihindari. Kita tahu realita di lapangan bahwa tidak ada penggusuran tanpa dinamika, tanpa air mata. Jangan sampai terbentuk gambaran terjadi proses pemaksaan. Apalagi seorang kepala daerah yang seyogyanya mengetahui dan menjalankan fungsinya dengan menyerap aspirasi masyarakat serta melakukan komunikasi dan pendataan secara sosial kultural. Dengan demikian dialog bisa dilakukan dengan baik serta sosialisasi tanpa kekerasan dan  pertumpahan darah.

Eddy memandang apa yang dilakukan Ahok itu efektif. Beliau  melakukan reformasi birokrasi dan  berhasil. Selain itu menerapkan egovernment dari pendahulunya Jokowi, tegas,  berani melakukan terobosan.  Hal itu yang  diapresiasi sebagai keunggulan yang dimiliki Ahok meskipun ada kekurangannya. Pemimpin di mana pun adalah teladan tetapi terkadang Ahok  itu kurang mampu mengontrol ucapan. Hal itu yang mengusik  masyarakat Indonesia yang masih ketimuran yang mengedepankan sopan santun dan tata krama. “Bagaimanapun pula ada dua sisi,  positif dan negatif,  keunggulan dan kekurangan,” kata Eddy.

[caption caption="Seorang pemimpin memiliki dua sisi, positif dan negatif, keunggulan dan kekurangan "]

[/caption]Solidaritas

Airlangga melihat diskusi ini bukan persoalan pro dan kontra Ahok. Bagaimana kita melakukan penilaian dan evaluasi serta mengontrol kebijakan publik yang dilahirkan pemerintah kota Jakarta, kepada siapa kebijakan-kebijakan tersebut diperuntukkan. Ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, siapa yang mengambil manfaat dan diuntungkan dari sebuah kebijakan ketika diproduksi dan direalisasikan. Siapa yang  diakomodasi dalam kebijakan yang diambil pemerintah. Kedua,  siapa yang dipinggirkan, siapa yang tidak dilibatkan, siapa yang dimarginalisasikan dalam kebijakan yang diambil. Peruntukan itu menjadi penting dan  mendasar ketika kita menilai sebuah pemerintahan yang demokratis.

Ketiga, mengapa sebuah kebijakan itu menguntungkan sekelompok pihak, menguntungkan kepentingan kelompok tertentu, dan mengapa merugikan kelompok sosial tertentu. Terkait hal itu, kita bicara tentang corak kekuasaan, siapa yang dirangkul. Aliansi ekonomi politik seperti apa yang menjadi gambaran sebuah pemerintahan terbangun. Di dalamnya kita melihat bagaimana hubungan timbal balik antara mereka yang berkuasa, antara kekuatan elite politik dengan kepentingan kelompok yang diuntungkan dalam kebijakan itu. Bagaimana legitimasi sebuah kebijakan itu diambil? Meskipun  kebijakan itu merugikan kepentingan orang banyak,  legitimasi pengetahuan itu ditanamkan. Dengan demikian kelompok-kelompok sosial yang sebenarnya dirugikan oleh kebijakan tersebut merasa diuntungkan atau  ikut membela kebijakan. “Walaupun dalam kepentingan konkritnya mereka dirugikan oleh kebijakan yang diambil oleh pemerintah,” kata Airlangga.

Ketimbang berbicara mengenai figur,  lebih bermanfaat untuk kepentingan warga Jakarta adalah berbicara tiga hal di atas. Terkait reklamasi Teluk Jakarta, bukankah setiap kebijakan butuh partisipasi. Harga properti paling murah di sana adalah Rp 3,77 miliar. Berapa banyak  orang Jakarta yang bisa mendapatkan  akses untuk menikmati harga tanah di wilayah reklamasi selain dari kepentingan kelompok-kelompok pengembang. Kita juga melihat problem ekologis dari reklamasi Teluk  Jakarta. Data menunjukkan ketika reklamasi dilakukan justru mendorong pada problem banjir, pencemaran lingkungan, dan kerusakan ekologis dari daerah-daerah pengurukan pasir.

Sebetulnya kita  melihat tidak ada keseimbangan antara kepentingan bisnis dalam aspek reklamasi dengan kerusakan lingkungan. Tidak adanya akses terhadap orang-orang miskin yaitu berkurangnya kampung nelayan. Ada problem-problem yang mendasar,  kelompok sosial mana yang diuntungkan dan  dirugikan dari kebijakan tersebut. Terkait dengan corak kekuasaan, sebuah kebijakan diambil untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Indikasi corak kekuasaan di Jakarta itu sangat mudah memperlihatkan praktik korupsi, kolusi, dan terbangunnya  sistem oligarki. Kepentingan kelompok yang kuat  itu diakomodasi dengan praktik kolusi dan korupsi yang justru merugikan kepentingan bersama. “Ketika kita fokus pada figur, kita mengabaikan  hal lain yang lebih penting, ke mana  konsep Jakarta ini diarahkan, ke mana warga Jakarta mendapat manfaat dari praktik-praktik pembangunan,” ujar Airlangga.

Kita sering mempersepsikan persoalan-persoalan kota Jakarta akan selesai ketika  menggantungkan hajat hidup, kepentingan, dan aspirasi kita kepada figur politik tertentu. Airlangga menilai hal itu bertentangan dengan aspek penting dalam berdemokrasi, partisipasi warga dalam mengevaluasi dan mendorong pemerintah kota Jakarta bekerja untuk kepentingan masyarakat. Hal yang penting adalah pengetahuan  yang saat ini ditanamkan dan  diinternalisasi kepada masyarakat. Meskipun sebagian besar warga Jakarta merasa dirugikan, sebetulnya dalam kepentingan kelompok yang dirugikan banyak yang membela. Pengetahuan ini berangkat dari pemahaman ketika kita bicara tentang kepentingan bisnis. Selain itu  kepentingan partai yang  dengan sendirinya  mengarah kepada kebahagiaan hidup dan  kesejahteraan tanpa memperhitungkan kepentingan publik sebagai pembatas pagar, dan  prinsip yang harus dipahami.

Kebanyakan kalangan intelektual sering mengabaikan persoalan yang seharusnya disodorkan sebagai kepentingan warga Jakarta sekarang secara keseluruhan. Bahkan ada indikasi banyak kalangan intelektual  di menara gading  meledek kalangan yang berusaha kritis terhadap tendensi kebijakan yang tidak pro orang miskin. Airlangga memandang komitmen atau perhatian kalangan terdidik terhadap persoalan kota Jakarta adalah bentuk solidaritas. “Jakarta  membutuhkan solidaritas warga termasuk kaum terdidiknya,” tutur Airlangga.

 

Edukasi  

Ahli sejarah dan mantan anggota DPR tahun 1977-1987 Ridwan menyampaikan pemilikan tanah terbagi secara hukum dan histori. Jakarta  harus menjadi sebuah kota peradaban. Dengan demikian mampu mendatangkan  turis. Ridwan  setuju dengan penataan Kota Tua. Turis asing saja rela mengeluarkan ongkos menggunakan ojek sepeda menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Tentunya akan ada keuntungan berganda dari pariwisata.  Tujuan Jakarta menjadi  kota peradaban adalah  konflik tidak terjadi  terus-menerus. Indonesia adalah negeri pesisir, bahari. Ada lagu, nenek moyangku orang pelaut. Ini yang harus dikembalikan. Sekarang nelayan  tinggal di rusunawa, bagaimana mereka menjemur ikan, bagaimana mengeringkan jala. Tidak bisa dibayangkan  perencanaan pembangunan kota tanpa nelayan. “Indonesia harus dibangun dengan kekuatan peradaban,” kata Ridwan.

Harus diingat di belakang 17 pulau reklamasi itu ada Pulau Seribu. Di sana ada anak yang harus sekolah. Reklamasi Teluk Jakarta bukan proyek bisnis, melainkan  ancaman terhadap keamanan nasional. Ridwan memandang ada ancaman  yang mengganggu keamanan nasional dalam kasus Teluk Jakarta, yakni tempat pembuatan obat terlarang di tanah kosong. Tidak menutup kemungkinan adanya konsentrasi kekuatan militer. “Ancaman terhadap Indonesia dimulai dari bibir Jakarta,” tutur Ridwan yang banyak menulis buku mengenai masyarakat Betawi.

Eddy memaparkan  PAN adalah rumah besar bagi seluruh anak bangsa yang memiliki potensi. Mereka  harus diberikan kesempatan untuk berkompetisi  dalam berbagai hal, khususnya  pertarungan Pilkada DKI tahun 2017. Semua pihak yang berpotensi dan kompeten akan dijadikan pertimbangan diajukan dalam Pilkada 2017, tidak terkecuali Ahok. Masing-masing calon memiliki catatan yang akan dievaluasi. Nantinya akan dibuat urutan berdasarkan pengalaman dan evaluasi internal dari PAN. Eddy melihat, jika reklamasi  dilakukan dalam konteks perbaikan itu baik. Namun  sebagian besar reklamasi pasti berdampak terhadap lingkungan dan ekosistem. 

PAN melakukan evaluasi atas sejumlah nama yang maju atau berpotensi maju dalam Pilkada, tidak hanya Ahok. Dalam evaluasi itu dilihat apakah mereka mampu merangkul masyarakat heterogen di DKI. Selain itu apakah mereka pemimpin yang tegas, memiliki leadership dengan visi jangka panjang, dan mampu mengikuti perkembangan jaman. Jakarta tidak boleh sekadar membangun. Harus ada kemampuan  dari pemimpin Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat yang mampu dihuni oleh masyarakat Indonesia secara umum. PAN merasa  perlu mengedukasi dan meluruskan. Dalam Pilkada DKI bukan pertarungan sosok, melainkan   gagasan dan program. Apa yang dilakukan pemimpin DKI  akan dinikmati generasi mendatang. Menjadi penting adalah DKI dipimpin oleh seseorang yang bisa memakmurkan dan menyejahterakan. Pasalnya begitu kompleks masalah di DKI saat ini yang perlu diurai satu per satu dan membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya. “Itu kriteria yang kami kedepankan untuk mengevaluasi pemimpin Jakarta yang akan datang,” kata Eddy.

Pada closing statementnya, Eddy menyampaikan meskipun beliau berbicara atas nama PAN,  forum ini bukan merupakan ajang  kampanye untuk mengarahkan dukungan partai politik dalam rangka Pilkada DKI. Lebih baik bicara hal yang  lebih makro untuk kepentingan warga DKI. Apakah pemimpin Jakarta nantinya mampu membangun secara berkesinambungan dan untuk jangka yang lebih panjang bagi  generasi berikutnya.  Sementara itu Airlangga menjelaskan,  saatnya  kita melampaui persoalan memilih berdasarkan agama atau ras. Banyak hal yang  tidak berdasarkan substansi persoalan, yaitu  kepentingan warga Jakarta yang diperjuangkan oleh pemimpinnya. Perlu dipikirkan mengenai mekanisme  yang  dilakukan partai untuk memilih gubernurnya. Apakah sekadar menimbang konstelasi politik atau lebih dari itu. “Ada mekanisme penjaringan tertentu yang patut dipertimbangkan,” tutur Airlangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun