Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada DKI 2017: Pertarungan Gagasan, Bukan Sosok

21 April 2016   11:33 Diperbarui: 22 April 2016   18:42 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebetulnya kita  melihat tidak ada keseimbangan antara kepentingan bisnis dalam aspek reklamasi dengan kerusakan lingkungan. Tidak adanya akses terhadap orang-orang miskin yaitu berkurangnya kampung nelayan. Ada problem-problem yang mendasar,  kelompok sosial mana yang diuntungkan dan  dirugikan dari kebijakan tersebut. Terkait dengan corak kekuasaan, sebuah kebijakan diambil untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Indikasi corak kekuasaan di Jakarta itu sangat mudah memperlihatkan praktik korupsi, kolusi, dan terbangunnya  sistem oligarki. Kepentingan kelompok yang kuat  itu diakomodasi dengan praktik kolusi dan korupsi yang justru merugikan kepentingan bersama. “Ketika kita fokus pada figur, kita mengabaikan  hal lain yang lebih penting, ke mana  konsep Jakarta ini diarahkan, ke mana warga Jakarta mendapat manfaat dari praktik-praktik pembangunan,” ujar Airlangga.

Kita sering mempersepsikan persoalan-persoalan kota Jakarta akan selesai ketika  menggantungkan hajat hidup, kepentingan, dan aspirasi kita kepada figur politik tertentu. Airlangga menilai hal itu bertentangan dengan aspek penting dalam berdemokrasi, partisipasi warga dalam mengevaluasi dan mendorong pemerintah kota Jakarta bekerja untuk kepentingan masyarakat. Hal yang penting adalah pengetahuan  yang saat ini ditanamkan dan  diinternalisasi kepada masyarakat. Meskipun sebagian besar warga Jakarta merasa dirugikan, sebetulnya dalam kepentingan kelompok yang dirugikan banyak yang membela. Pengetahuan ini berangkat dari pemahaman ketika kita bicara tentang kepentingan bisnis. Selain itu  kepentingan partai yang  dengan sendirinya  mengarah kepada kebahagiaan hidup dan  kesejahteraan tanpa memperhitungkan kepentingan publik sebagai pembatas pagar, dan  prinsip yang harus dipahami.

Kebanyakan kalangan intelektual sering mengabaikan persoalan yang seharusnya disodorkan sebagai kepentingan warga Jakarta sekarang secara keseluruhan. Bahkan ada indikasi banyak kalangan intelektual  di menara gading  meledek kalangan yang berusaha kritis terhadap tendensi kebijakan yang tidak pro orang miskin. Airlangga memandang komitmen atau perhatian kalangan terdidik terhadap persoalan kota Jakarta adalah bentuk solidaritas. “Jakarta  membutuhkan solidaritas warga termasuk kaum terdidiknya,” tutur Airlangga.

 

Edukasi  

Ahli sejarah dan mantan anggota DPR tahun 1977-1987 Ridwan menyampaikan pemilikan tanah terbagi secara hukum dan histori. Jakarta  harus menjadi sebuah kota peradaban. Dengan demikian mampu mendatangkan  turis. Ridwan  setuju dengan penataan Kota Tua. Turis asing saja rela mengeluarkan ongkos menggunakan ojek sepeda menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Tentunya akan ada keuntungan berganda dari pariwisata.  Tujuan Jakarta menjadi  kota peradaban adalah  konflik tidak terjadi  terus-menerus. Indonesia adalah negeri pesisir, bahari. Ada lagu, nenek moyangku orang pelaut. Ini yang harus dikembalikan. Sekarang nelayan  tinggal di rusunawa, bagaimana mereka menjemur ikan, bagaimana mengeringkan jala. Tidak bisa dibayangkan  perencanaan pembangunan kota tanpa nelayan. “Indonesia harus dibangun dengan kekuatan peradaban,” kata Ridwan.

Harus diingat di belakang 17 pulau reklamasi itu ada Pulau Seribu. Di sana ada anak yang harus sekolah. Reklamasi Teluk Jakarta bukan proyek bisnis, melainkan  ancaman terhadap keamanan nasional. Ridwan memandang ada ancaman  yang mengganggu keamanan nasional dalam kasus Teluk Jakarta, yakni tempat pembuatan obat terlarang di tanah kosong. Tidak menutup kemungkinan adanya konsentrasi kekuatan militer. “Ancaman terhadap Indonesia dimulai dari bibir Jakarta,” tutur Ridwan yang banyak menulis buku mengenai masyarakat Betawi.

Eddy memaparkan  PAN adalah rumah besar bagi seluruh anak bangsa yang memiliki potensi. Mereka  harus diberikan kesempatan untuk berkompetisi  dalam berbagai hal, khususnya  pertarungan Pilkada DKI tahun 2017. Semua pihak yang berpotensi dan kompeten akan dijadikan pertimbangan diajukan dalam Pilkada 2017, tidak terkecuali Ahok. Masing-masing calon memiliki catatan yang akan dievaluasi. Nantinya akan dibuat urutan berdasarkan pengalaman dan evaluasi internal dari PAN. Eddy melihat, jika reklamasi  dilakukan dalam konteks perbaikan itu baik. Namun  sebagian besar reklamasi pasti berdampak terhadap lingkungan dan ekosistem. 

PAN melakukan evaluasi atas sejumlah nama yang maju atau berpotensi maju dalam Pilkada, tidak hanya Ahok. Dalam evaluasi itu dilihat apakah mereka mampu merangkul masyarakat heterogen di DKI. Selain itu apakah mereka pemimpin yang tegas, memiliki leadership dengan visi jangka panjang, dan mampu mengikuti perkembangan jaman. Jakarta tidak boleh sekadar membangun. Harus ada kemampuan  dari pemimpin Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat yang mampu dihuni oleh masyarakat Indonesia secara umum. PAN merasa  perlu mengedukasi dan meluruskan. Dalam Pilkada DKI bukan pertarungan sosok, melainkan   gagasan dan program. Apa yang dilakukan pemimpin DKI  akan dinikmati generasi mendatang. Menjadi penting adalah DKI dipimpin oleh seseorang yang bisa memakmurkan dan menyejahterakan. Pasalnya begitu kompleks masalah di DKI saat ini yang perlu diurai satu per satu dan membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya. “Itu kriteria yang kami kedepankan untuk mengevaluasi pemimpin Jakarta yang akan datang,” kata Eddy.

Pada closing statementnya, Eddy menyampaikan meskipun beliau berbicara atas nama PAN,  forum ini bukan merupakan ajang  kampanye untuk mengarahkan dukungan partai politik dalam rangka Pilkada DKI. Lebih baik bicara hal yang  lebih makro untuk kepentingan warga DKI. Apakah pemimpin Jakarta nantinya mampu membangun secara berkesinambungan dan untuk jangka yang lebih panjang bagi  generasi berikutnya.  Sementara itu Airlangga menjelaskan,  saatnya  kita melampaui persoalan memilih berdasarkan agama atau ras. Banyak hal yang  tidak berdasarkan substansi persoalan, yaitu  kepentingan warga Jakarta yang diperjuangkan oleh pemimpinnya. Perlu dipikirkan mengenai mekanisme  yang  dilakukan partai untuk memilih gubernurnya. Apakah sekadar menimbang konstelasi politik atau lebih dari itu. “Ada mekanisme penjaringan tertentu yang patut dipertimbangkan,” tutur Airlangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun