Mohon tunggu...
Coach Pramudianto
Coach Pramudianto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Idea Practitioner

Mentransformasi cara berpikir untuk menemukan kebahagiaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Transformasi Sekolah Kristen

31 Oktober 2021   16:05 Diperbarui: 31 Oktober 2021   16:09 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber internet yang didesain ulang secara pribadi

TRANSFORMASI SEKOLAH KRISTEN

Hari ini bertepatan dengan 500 tahun reformasi gereja yang diusung oleh Martin Luther dan kemudian kita mengenal semboyan Ecclesia Reformata Semper Reformanda yang artinya gereja harus selalu tereformasi atau diperbaharui. Gereja yang selalu terbaharui tentu tercermin dalam segala bentuk pelayanannya termasuk pendidikan kristen.

Beberapa tahun terakhir terjadi fenomena bahwa banyak sekolah kristen yang tutup karena kekurangan siswa dan banyak orang melegitimasi tutupnya sekolah kristen karena semakin berkualitasnya sekolah negeri. Menurut Theory of Contraint alasan itu menunjukkan ketidakberdayaan, dan saya tambahkan "ketidakberdayaan gereja" dalam menjalankan misi transformasi pelayanan di bidang pendidikan.

Adanya pandemi covid 19 memperkuat alasan ketidakberdayaan itu untuk terus bisa dipahami oleh warga gereja sebagai dalih merosotnya kuantitas dan kualitas pendidikan kristen yang mulai dikenal dengan istilah Learning Loss.

Hiruk pikuk adanya perubahan teknologi membuat banyak orang terjebak dalam kekeliruan memahami dan menanggapi perubahan, sehingga merespon dengan cara yang tidak tepat dan membuat pelaku pendidikan menjadi rentan untuk putus asa karena tidak memiliki dampak yang signifikan dalam mengubah para tenaga pendidik dan kependidikan yang akhirnya tidak membuat meningkatnya kinerja organisasi.

Dalam situasi yang sulit seperti ini sering muncul pertanyaan mana yang terlebih dahulu direformasi kuantitas dulu baru kualitas atau sebaliknya? Bagaikan pertanyaan yang tak kunjung selesai telor atau ayam dulu? Pertanyaan merupakan buah dari ide, dan ide tanpa langkah tindakan hanyalah ide (iman tanpa perbuatan mati- Yakobus 2:26)

Tanpa kita sadari berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan global memengaruhi perilaku keluarga-keluarga kristen dalam mendidik atau mengasuh anak, dan hal ini sudah dirasakan oleh banyak sekolah saat melakukan tatap muka terbatas. 

Banyak orangtua dan anak telah kehilangan nilai-nilai kepedulian, keramahan, disiplin dan yang lain, ketika bertemu sesamanya di area sekolah. Menjadi semakin berat buat sekolah menanamkan karakter kristen dalam kehidupan anak-anak.

Darimana memulai transformasi Pendidikan Kristen?

Dunia pendidikan sangat berbeda dengan dunia usaha yang lain, di mana ada perubahan dapat dengan cepat direspon dan melakukan langkah tindakan untuk beradaptasi dan mengantisipasi perubahan berikutnya. 

Transformasi pendidikan memiliki siklus satu tahun (bukan satu semester) dan jika tidak mampu melihat momentum (kairos) dalam perjalanan waktu tersebut maka akan tertinggal dan tertinggal, akhirnya tidak disadari rasio siswa semakin hari semakin merosot (banyak orang hanya melihat ketersediaan kursi dan jumlah siswa). 

Sering saya katakan di forum-forum pendidikan kristen bahwa matinya sekolah kristen hari ini, karena 15 tahun yang lalu pengurusnya tidak melakukan apa-apa (artinya tidak memikirkan masa depan sekolah, hanya bertindak rutinitas), demikian juga jika sekolah Anda 15 tahun ke depan tutup atau merosot kuantitas atau kualitasnya, karena pengurus saat ini tidak melakukan hal yang tepat untuk menjalankan misi Kristus dalam pendidikan.

Ditarik lebih dalam lagi fenomena tersebut terjadi, karena gereja tidak melakukan apa-apa terhadap pendidikan kristen, gereja tidak peduli terhadap kinerja pendidikan kristen apalagi melakukan transformasi. Apa yang melatarbelakangi pemikiran ini? 

Sebagian gereja mengutus orang untuk menjadi organ dalam yayasan pendidikan kristen dengan sebuah pilihan: orang tersebut punya waktu banyak, orang tersebut mau meski tidak punya kemampuan dalam bidang tersebut, saat ini berkecimpung di pendidikan, pengusaha, eksekutif, aktif sebagai pengurus di berbagai tempat dan yang lain dan bahkan karena yang diutus memiliki keterkaitan dengan proyek sekolah.

Gereja tidak pernah bertanya dan melakukan analisa atas kebutuhan yayasan pendidikan tersebut, sehingga mampu mengirim orang yang tepat, bukan justru menjadi beban bagi yayasan pendidikan. Tanpa disadari berdampak pada kebijakan dan memengaruhi kinerja tenaga pendidik dan kependidikan.

Alternatif transformasi

Hari ini banyak para pengkhotbah bicara transformasi namun tidak memberitahu umat tentang how to dan action plan-nya. Tidak menyentuh dan membuat orang yang mendengarkan menjadi sadar atas tanggung jawab reformasi. 

Transformasi yang dilakukan Martin Luther berawal dari transformasi cara berpikir, maka ketika mengirim utusan ke yayasan adalah orang yang memiliki kemauan untuk bergeser paradigma dan menurut Carol S Dweck orang yang memiliki tipe Growth Mindset. Kirimkan utusan yang memiliki Education Mindset, apapun latar belakang mereka, sehingga mampu mengatasi tantangan dalam dunia pendidikan.

Stephen Covey dalam 7 habitsnya mengatakan "tentukan tujuan akhir terlebih dahulu" demikian juga dalam teknik coaching, seorang coach selalu bertanya apa tujuan Anda dalam sesi coaching ini? Apa ukuran keberhasilan setelah coaching? Perubahan apa yang Anda harapkan? Kualitas terbaik apa yang ingin Anda persembahkan? Inilah yang menjadi titik tolak sebuah perubahan pendidikan kristen.

Sekolah Kristen harus menentukan tujuan akhir terlebih dahulu, bukan visi dan misi, mas Nadiem memberi arahan saat simposium internasional agar para pimpinan lembaga pendidikan menggunakan kepemimpinan melayani untuk kepentingan end user (siswa).

Operasional Transformasi

Sangat jelas bahwa yang kita layani adalah siswa, maka segala upaya yang dilakukan sekolah harus bertujuan agar siswa memperoleh value added, jadi bukan kepentingan para pejabat sekolah yang kadang tidak realistis untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar.

Belajar dari design thinking-nya Bryan Lawson dan Nigel Cross, maka dibutuhkan sikap empati terhadap apa yang menjadi masalah siswa, barulah kita mendesain pola pembelajaran yang tepat dengan pendidik yang baik. Untuk mendapatkan pendidik yang baik harus tahu tujuan akhir pendidikan dan diformulasikan menjadi Profil Siswa. 

Ketika sudah memiliki profil siswa, maka kita membentuk profil pendidik dan tenaga kependidikan agar bisa menciptakan anak-anak sesuai profil yang diharapkan. Kedua profil ini bertemu, terbangun nilai-nilai yang selaras yang akhirnya dilakukan secara berkelanjutan terbentuklah budaya sekolah. 

Menurut pramudianto dalam buku Check Point, bahwa budaya akan melejitkan kinerja organisasi yang artinya organisasi mampu berselancar di atas perubahan.

Langkah tindakan transformasi

Perubahan tidak akan pernah berhenti dan tidak akan menunggu bagi yang belum siap, oleh karena itu dibutuhkan

  • Education Mindset yang di dalamnya ada orang-orang growth mindset yang tercermin dari gereja-gereja ketika mengutus orang dalam yayasan pendidikan. Pasti banyak alasan yang akan muncul ketika bergumul tentang reshuffle kepengurusan yang tidak efektif dan banyak orang yang membandingkan sekolah besar dan sekolah kecil yang sebenarnya orang tersebut menandakan memiliki fix mindset (perubahan mindset tidak ada kaitannya sekolah besar dan sekolah kecil)
  • Kerelaan pengurus yang tidak berkontribusi bagi lembaganya berani mengundurkan diri sebagai jalan transformasi. Karena banyak pengurus merasa terlalu besar atas kepemilikan lembaga sehingga tidak mau diganti (lembaga merasa menjadi aset pribadi) dampaknya berputar-putar dalam organ yayasan.
  • Bagi sekolah yang sudah minim siswanya, silakan berganti baju dalam proses belajar mengajar. Keberanian anak kedua saya berkata sama orangtuanya bahwa dia tidak mau sekolah di SMA namun memilih SMK sebagai aktualisasi diri, karena banyak mata pelajaran di SMA tidak menjadi minatnya. Jadikan SMA Anda menjadi sekolah profesi, tampung anak-anak yang pandai basket, anak musik dan yang lain, fokus pada satu atau dua profesi dan mata pelajaran lain hanya menjadi pelajaran penunjang yang penting lulus KKM (tidak harus berubah menjadi SMK). Sekolah ini yang akan menjadi trend ke depan.
  • Ukur kompetensi para tenaga pendidik dan kependidikan untuk memenuhi kualifikasi profil tenaga pendidik dan kependidikan, sehingga aktivitas sekolah tidak terdorong oleh arus di luar kebutuhan yang berdampak melelahkan dan menguras biaya.

Hidup ini sebuah pilihan, melayani itu harus profesional dan memiliki integritas kepada Tuhan, itulah tantangan transformasi.

Dr. Pramudianto, ACC

Professional Coach, Konsultan HR dan Pendidikan

(Founder & Chief Visioner Officer Human Idea)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun