Mohon tunggu...
Claudius Evan
Claudius Evan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Kompasiana

Hi

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Habis Perkara, Hati Sengsara - Resensi Novel Merantau ke Deli

1 Oktober 2021   22:20 Diperbarui: 28 Februari 2022   22:31 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Judul buku: Merantau ke Deli

Penulis: Hamka

Penerbit: Gema Insani

Tahun terbit: 1939

ISBN: 978-602-250-387-3

Cetakan: IV, 2021

Tebal buku: 196 halaman

 

'Merantau ke Deli' merupakan salah satu karya sastra Hamka yang diterbitkan pada 1939. Melalui novel ini, Hamka merangkai kisah romansa dengan perbedaan budaya, kultur, dan latar belakang yang mencakup banyak gelombang konflik bergejolak. 

Novel ini berawal dari sebuah cerita bersambung yang terbit dalam majalah 'Pedoman Masyarakat' pada 1939, sebelum diterbitkan dalam buku novel di tahun yang sama. Seperti yang diharapkan dari Hamka, kisah romansa novel yang satu ini tidak kalah spektakuler dari karya sastranya yang lain, seperti 'Tenggelamnya Kapal Van der Wijck' atau 'Di Bawah Lindungan Ka'bah'.

Hamka yang dikenal juga sebagai Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka, lahir di Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Selain dikenal sebagai sastrawan, Hamka juga pernah terjun di dunia politik dan keagamaan. 

Dibesarkan dari keluarga Muslim di Padang Panjang, Hamka mengembangkan nilai religiusitas dengan baik yang kemudian menjadi seorang ulama dan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama. Hamka melanjutkan perjalanan hidupnya ke Jawa dan belajar di negeri Mekah, sebelum aktif berorganisasi dan berkarya di Indonesia lagi.

Dalam dunia politik, Hamka pernah menjabat sebagai pemimpin Muhammadiyah di Padang Panjang dan Purwokerto, serta ikut gerilya melawan Belanda di Medan. Selain novel fiksi, Hamka juga dikenal sebagai penulis banyak karya ilmiah Islam dan cerpen. Hamka kemudian dihormati sebagai Pahlawan Nasional setelah dianugerahi gelar oleh Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Novel 'Merantau ke Deli' bermula dari seorang pedagang asal Minangkabau bernama Leman yang jatuh cinta dengan salah satu pekerja kebun mandor besar bernama Poniem di Deli. 

Meski hanya kenal melalui kegiatan jual-beli di antara mereka, Leman merasakan keistimewaan pada Poniem. Poniem yang awalnya ragu karena merupakan simpanan Mandor Besar dan pernah dikecewakan Warjo, mantan suaminya, luluh juga hatinya oleh perkataan Leman. Bermodal tekad dan nekat, Leman bersungguh-sungguh dalam menikahi Poniem yang merupakan wanita asal Jawa, dengan menghiraukan perbedaan yang ada di antara mereka.

Sebagai pasangan yang berbeda adat, Leman dan Poniem tidak serta-merta merasakan mulusnya aspal baru masa depan mereka. Dengan prinsip yang dibawa Leman dari Minangkabau, Leman sempat menghadapi kesulitan seorang diri. Ia percaya istri tidak perlu membantunya mengurus permasalahan dan kesulitan yang ada dalam pekerjaan dan rumah tangga. 

Sebagai perempuan Jawa yang rendah hati dan berbaik budi, Poniem percaya adatnya bahwa dengan bersama-sama berusaha, maka rumah tangga mereka akan dijauhkan dari kesulitan. 

Hati Leman yang kemudian menjadi lebih terbuka, berhasil mengembangkan perniagaannya yang sempat terpuruk itu berkat inisiatif, perencanaan, dan bantuan Poniem melalui campur tangan dalam usaha dan penjualan harta yang diambilnya dari kebun mandor besar dahulu. Kesejahteraan mereka juga bertambah dengan kehadiran mantan kuli bangunan Jawa yang bernama Suyono, karena kegigihan dan bakatnya dalam bekerja di kedai Leman.

 Kesuksesan Leman, Poniem, dan tangan kanan mereka, Suyono, berhasil membawa bisnis mereka dikenal di kawasan Deli dan para pebisnis di Medan. Meski mereka sudah bergelimang harta, anak kandung yang ditunggu-tunggu Leman dan Poniem masih sulit juga untuk didapatkan. 

Di tengah kekhawatiran Leman dan Poniem yang tidak kunjung melahirkan anak, mereka berencana untuk mengunjungi tanah kelahiran Leman di Sumatra Barat. 

Para kerabat khususnya yang wanita, sangat terpukau dengan keelokan sifat dan pribadi Poniem yang sangat rendah hati dan berperilaku terpuji. Hanya karena perbedaan tanah kelahiran dan budayalah yang menyebabkan Leman harus menerima saran dari perempuan-perempuan kampung dan Sutan Paduko, untuk bisa memikirkan opsi menikah lagi dengan wanita dari ranah Minang, negerinya.

Seperti layaknya ujian, jika kita tidak mencoba maka kita tidak akan tahu di mana 'pahit'nya kesulitan ujian itu atau 'manis'nya nilai ujian yang didapat. Rumah tangga yang baru terbentuk ini rawan akan perpecahan akibat perbedaan budaya yang ada. Hasrat muda dan bisikan kerabat yang senantiasa berdengung di pikiran Leman membuat imannya goyah dan membuat dalih untuk bisa menikah dengan orang sekampungnya, Mariatun. Bukan main, Leman yang selama bertahun-tahun bersisian dengan Poniem, merasakan frustasi hebat akan pilihan muskil yang harus dihadapinya, karena 'pahit-manis' masa depan kehidupannya ditentukan dari pilihan ini.

Leman, setelah mempertimbangkan penuh keadaannya, berani menaruh peruntungannya dengan kembali menikah dengan wanita lain se-tanah kelahiran, Mariatun. Bukan tanpa alasan Leman berani mengambil tanggung jawab besar ini, karena ia berharap agar hartanya dan masa depannya dapat diturunkan pada anaknya kelak. Secara sembunyi, ia mengirimkan sepucuk surat pada kerabat di kampung agar acara pelaksanaan pernikahan dapat dilakukan. Hal ini tentu saja dilakukan tanpa sepengetahuan Poniem. 

Meski begitu, Leman tetap memberi tahu Poniem akan keputusan bulatnya ini menjelang hari pernikahan. Poniem yang malang tak dapat beranjak dari kasur selama berjam-jam, selain membasahi pipinya dengan air mata dan membiarkan wajahnya terbenam di bantal bersama perasaannya.

Pernikahan Leman dan Mariatun berlangsung baik setelah Poniem akhirnya menyetujui dengan perasaan enggan. Lika-liku rumah tangga bermunculan satu-persatu seiring waktu berjalan, memperlihatkan sisi-sisi berbeda dari ketiga tokoh itu. Mariatun kurang berpengalaman dalam mengurus rumah, menjadi bahan ejekan Poniem. Poniem di sisi lain, tidak disukai Mariatun lantaran latar belakangnya yang berbeda dan sudah berumur. Leman sebagai suami dari kedua istri ini, termakan nafsu sehingga perniagaannya menjadi kurang pengawasan dan lebih berkenan pada istri mudanya, Mariatun. Alhasil kesabaran Poniem menjalar hingga ujung tanduk dan bertengkarlah antara Poniem dengan Mariatun, yang kemudian menjadi awal perpecahan hubungan Leman dengan Poniem.

 

Suyono dan Poniem berpisah ketika Leman tak lagi menerima mereka sebagai 'keluarga' lantaran anggapan sinisnya terhadap orang Jawa. Leman dan Mariatun mengawali hidup baru mereka tanpa Poniem dan impian untuk memiliki anak terwujud. 

Meski demikian, tanggungan yang dipikul Leman angatlah berat, sehingga harta kekayaannya tak lagi sebanyak dulu dan di ambang kebangkrutan. 

Sungguh sengsara hati dan pikiran Leman sejak itu. Suyono dan Poniem juga mengawali lembaran baru hidup mereka dengan menikah setelah menyelaraskan cita-cita dan perasaan mereka. Hati yang sengsara setelah berhadapan dengan perkara rumit, akhirnya diselesaikan dengan pertemuan yang membentuk tali silaturahmi bagi mereka semua.

Novel ini menonjolkan nilai budaya Minang dan Jawa yang kental, sehingga Hamka berhasil mengisahkan kisah romansa yang kaya akan perpaduan budaya, adat, dan gejolak asmara ini dengan alur yang jelas dan mendalam. 

Alur pada buku ini adalah alur maju dengan suasana, tempat, dan waktu yang dijelaskan dengan baik. Tempo membaca buku ini juga stabil, dengan kronologis perkenalan dan bagian permasalahan yang diuraikan dalam situasi yang rapi tersusun dan peleraian yang tidak tergesa-gesa juga. 

Setiap tokoh pada novel ini juga dijelaskan penjiwaannya yang selaras dengan wataknya, seperti Leman yang kurang sabaran dan kurang berpikir penuh dahulu dalam membuat keputusan, yang ditandai dengan sikap mudah terpengaruh orang sebagai salah satu kelemahan dirinya.

Buku ini memiliki kelebihan yaitu tulisan yang mudah dibaca dan terdapat penjelasan arti dari bahasa daerah yang digunakan pada beberapa kalimat. Hal ini juga karena secara keseluruhan, bahasa Minang pada novel ini sudah banyak diselaraskan dengan bahasa Indonesia. 

Dengan begitu, pembaca tak perlu khawatir akan bingung dengan alur cerita, tapi justru akan dimanjakan dengan ketegangan situasi, kebahagiaan, pilu, dan berbagai perasaan lainnya sepanjang cerita. Selain itu, buku ini menjelaskan budaya dan tradisi Minang dan Jawa dengan jelas. 

Sebagai contoh ada banyak pedoman masyarakat Minang yang ditanamkan pada diri Leman, seperti 'Laut sakti dan rantau bertuah' yang dibuktikan dengan semangat dan usahanya bertahan di negeri jauh, juga pandangan orang Jawa terhadap pernikahan yang mengutamakan kebersamaan dan mengutarakan afeksinya pada pasangan. Di samping itu, buku fisik 'Merantau ke Deli' ini memiliki kualitas yang bagus, mulai dari cover-nya yang tidak mudah terlipat dan bahan kertas yang berkualitas sehingga tinta dapat tercetak dengan baik.

Penulis tak hanya menemukan kelebihan, namun juga kekurangan. 

Meski buku ini mudah dipahami alurnya, namun bagi sebagian orang, khususnya anak-anak, masih akan sulit mengerti situasi dan pergumulan kehidupan rumah tangga. 

Lalu, novel ini juga tidak disediakan pembatas buku. Buku ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang belum pernah membaca novel atau belum terbiasa dengan novel berat, karena novel ini cukup mudah untuk dipahami dan tidak terlalu tebal. 

Selain itu, buku ini juga lebih direkomendasikan pada remaja dan dewasa karena mengandung topik yang cukup kompleks, yaitu permasalahan hidup. Buku ini juga dapat menarik perhatian mereka yang ingin lebih mendalami budaya Minangkabau yang sangat pekat.

Secara keseluruhan, penulis puas dengan cerita dan konflik yang terdapat pada buku ini. Pemikiran haruslah dipertimbangkan dengan baik agar kemungkinan penyesalan dapat berkurang di kemudian hari, apalagi jika menyangkut orang lain. 

Hal ini termasuk dengan percaya pada pegangan dan prinsip yang tertanam pada diri kita agar kelak, seperti dalam skala yang lebih besar yaitu pernikahan atau hal-hal lain, seseorang dapat memutuskan kebijakan yang bijak dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Tidak hanya pelajaran rumah tangga, buku ini juga mengajarkan tak selamanya apa yang ada di atas atau bawah akan kekal, karena roda kehidupan akan tetap berputar seiring waktu berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun