Mohon tunggu...
ClaudioPutraD
ClaudioPutraD Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penegakan Hukum Terhadap Anak dibawah Umur yang Melakukan Tindak Pidana

28 November 2024   13:26 Diperbarui: 28 November 2024   13:33 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penegakan hukum terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana menjadi salah satu tantangan besar dalam sistem peradilan pidana. Anak sebagai individu yang belum matang secara fisik maupun mental memerlukan pendekatan yang berbeda dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana yang tidak mempertimbangkan aspek perkembangan psikologis anak justru berpotensi memperburuk kondisi anak dan masa depannya. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme yang berorientasi pada perlindungan anak tanpa mengesampingkan prinsip keadilan bagi korban.

Karakteristik Anak dalam Hukum Pidana

Anak di bawah umur, menurut hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada usia ini, anak dianggap belum mampu sepenuhnya memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Karena itu, hukum pidana memberikan perlakuan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana.

Salah satu konsep yang ditekankan dalam UU SPPA adalah prinsip restorative justice (keadilan restoratif). Prinsip ini bertujuan untuk memperbaiki dampak kejahatan bagi korban, pelaku, dan masyarakat, dengan fokus pada pemulihan daripada pembalasan. Pendekatan ini mengakui bahwa anak memerlukan pendidikan dan bimbingan, bukan semata-mata hukuman.

Prosedur Penegakan Hukum terhadap Anak

Dalam penanganan anak yang melakukan tindak pidana, terdapat beberapa tahapan penting sesuai UU SPPA:

1.Diversi sebagai Prioritas Utama
Diversi adalah proses penyelesaian perkara anak di luar pengadilan. Proses ini dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pelaku, korban, keluarga, pembimbing kemasyarakatan, serta masyarakat. Diversi bertujuan untuk menghindarkan anak dari stigma negatif yang dapat melekat akibat proses peradilan pidana.
Diversi hanya dapat dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak memiliki ancaman pidana kurang dari 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

2.Pemeriksaan dengan Pendampingan
Jika diversi tidak dapat dilakukan atau gagal mencapai kesepakatan, maka anak akan menjalani proses hukum formal. Pemeriksaan terhadap anak harus dilakukan dengan memperhatikan hak-hak anak, seperti pendampingan oleh orang tua atau wali, penasihat hukum, serta petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas). Pemeriksaan ini juga harus dilakukan secara ramah anak dan tertutup untuk melindungi privasi anak.

3.Pengadilan Anak
Pengadilan Anak merupakan lembaga khusus yang menangani perkara pidana anak. Hakim yang memimpin persidangan wajib memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perlindungan anak. Selain itu, putusan yang dijatuhkan harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).

4.Sanksi yang Diterapkan
UU SPPA mengatur bahwa sanksi terhadap anak dapat berupa pidana maupun tindakan. Sanksi pidana mencakup pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, hingga penjara sebagai upaya terakhir. Sementara itu, sanksi tindakan meliputi rehabilitasi, perawatan di rumah sakit, atau penyerahan kembali kepada orang tua. Penjara hanya dijadikan alternatif terakhir dan untuk waktu sesingkat mungkin.

Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana

Faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana sangat beragam, antara lain:

1.Lingkungan Keluarga
Kurangnya perhatian atau pola asuh yang tidak memadai sering kali menjadi faktor utama. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang disfungsional lebih rentan melakukan tindakan menyimpang.

2.Pengaruh Lingkungan Sosial
Pergaulan yang salah dan tekanan dari kelompok sebaya dapat mendorong anak untuk melakukan tindak pidana.

3.Faktor Ekonomi dan Pendidikan
Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu cenderung terlibat dalam tindak pidana, seperti pencurian atau kejahatan jalanan, untuk memenuhi kebutuhan hidup.

4.Media dan Teknologi
Eksposur terhadap konten yang tidak sesuai usia, seperti kekerasan atau pornografi, dapat memengaruhi perilaku anak.

Tantangan dalam Penegakan Hukum Anak

Penegakan hukum terhadap anak tidak terlepas dari berbagai kendala, seperti:

1.Kurangnya Pemahaman tentang Pendekatan Restoratif
Banyak aparat penegak hukum yang belum memahami secara mendalam konsep keadilan restoratif, sehingga cenderung menerapkan pendekatan yang bersifat represif.

2.Stigma terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Anak yang pernah terlibat tindak pidana sering kali mengalami stigma negatif dari masyarakat, yang berdampak pada sulitnya reintegrasi sosial.

3.Fasilitas yang Tidak Memadai
Beberapa daerah masih kekurangan fasilitas khusus, seperti Pengadilan Anak, tempat rehabilitasi, atau lembaga pembinaan khusus anak.

4.Kurangnya Pendampingan Psikologis
Anak yang menjalani proses hukum sering kali tidak mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai untuk mendukung pemulihannya.

Solusi dan Rekomendasi.

Untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum terhadap anak, diperlukan langkah-langkah berikut:
1.Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum
Pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, mengenai pendekatan yang ramah anak sangat diperlukan.
2.Penguatan Sistem Diversi
Diversi perlu diperluas cakupannya, tidak hanya untuk tindak pidana ringan tetapi juga tindak pidana tertentu yang melibatkan kerugian minimal.
3.Kolaborasi dengan Lembaga Sosial
Pemerintah harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam memberikan rehabilitasi dan pendampingan kepada anak pelaku tindak pidana.
4.Peningkatan Kesadaran Publik
Edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya memberikan kesempatan kedua bagi anak dapat membantu mengurangi stigma negatif.

Kesimpulan.

Penegakan hukum terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana harus mengedepankan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan. UU SPPA telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak anak, tetapi implementasinya masih memerlukan perbaikan. Dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif, penegakan hukum tidak hanya menjadi instrumen penghukuman, tetapi juga sarana rehabilitasi dan pembangunan karakter anak. Perhatian terhadap anak pelaku tindak pidana bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki rasa empati dan masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun