Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Samba Ria

27 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 27 Juni 2024   06:23 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Dokumen Pribadi Claudia Magany

"Besok pagi, usahakan bangun subuh. Jangan lupa membawa sarung dan pakai sandal jepit, jangan sepatu."

"Kok bawa sarung? Mau ajak sembahyang ke mesjid Pak Haji, ya?" tanyaku.

"Lihat saja besok. Kejutan buat kamu."

***

Dalam gelap, kami mengendap-endap keluar dari pekarangan rumah. Hanya mengandalkan sisa terang dari bulan yang bercahaya keperakan, kami menyusur sepanjang tepi sungai Mandar yang membelah desa Lekopa'dis.

Bulan tampak memantul di atas permukaan sungai. Sesekali berubah bentuk menjadi oval dan kembali bulat atau abstrak karena mengikuti aliran air yang sesekali pecah kena benturan batu atau sampah yang melayang-layang di sungai.

Beberapa rumah penduduk di sekitar tepi sungai, lampunya tampak masih menyala remang-remang. Mungkin penghuninya masih terlelap. Bahkan ayam pun belum ada yang berkokok membangunkan penduduk desa.

Tiba di ujung sungai, aku bisa mencium bau yodium yang menguap dari laut. Juga terdengar jelas suara ombak yang dimainkan angin. Sekitar pantai masih gelap. Sejauh mata memandang, hanya terlihat buih ombak yang bergelombang berupa kumpulan busa berwarna putih.

Ketika mendongakkan kepala ke langit, wow!? Pemandangannya luar biasa indah! Seumur hidup tinggal di Jakarta, hanya sebuah tempat bernama 'planetarium' di Cikini yang bisa melihat ribuan bintang berkelap-kelip. Mungkin waktu kecil dulu, pernah juga melihat taburan bintang bercahaya di langit di atas Rawamangun yang kala itu belum terjamah listrik.

Pernah juga sekali waktu mengajak teman dari Ujung Pandang untuk ikut acara tutup tahun di bandar udara Hasanuddin. Waktu itu aku masih tinggal di Batang Ase, desa yang perbatasan dengan landasan bandara. Di sana ada pintu yang menghubungkan kompleks Perhubungan Udara dengan bandara.

Malam itu temanku sangat takjub melihat langit di atas landasan. Sejauh mata memandang, hanya ada ribuan bintang dari ujung ke ujung. Pemandangan di pantai Mandar pun, sama persis seperti langit di atas landasan beberapa tahun lalu. Maklum, sejak bandara berubah status menjadi internasional, tidak bisa lagi melihat taburan bintang. Sebab lampu-lampu sepanjang landasan, dinyalakan sepanjang malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun