Rakyat yang mendengar berita ini, sangat gembira. Akhirnya ada rakyat yang bisa menaklukan raja mereka yang sangat kejam dan bengis. Maka rakyat meminta Samba untuk kembali ke istana, menggantikan posisi raja. Namun Samba lebih memilih tinggal bersama adiknya di tengah hutan, di rumah panggung warisan orang tuanya. (Cerita Rakyat Mandar)
***
Samba Paria adalah salah satu cerita yang sering dihikayatkan oleh Pak Haji saat mengunjungi kami di rumah Pak Desa. Tak sekali dua kali, tapi beberapa kali beliau menceritakan tentang Samba Paria yang menjadi kebanggaan rakyat Mandar pada umumnya. Kisah kepahlawanan gadis kecil bernama Samba, memang sangat inspiratif dan banyak pesan moral.
Kalau yang bercerita Pak Haji, dengarnya asyik sekali. Beliau giginya hanya sisa di depan. Kadang ada kata yang kurang jelas karena susah dilafalkan, jadi hanya terdengar seperti suara desis. Bawaan Pak Haji juga sangat kocak, banyak sekali guyonannya. Objek apa saja bisa menjadi bahan cerita yang menarik. Walau kadang kurang jelas lafalnya, tetapi kami bisa tertawa sampai terbahak-bahak.
Biasanya kalau makan tumis pare, kami saling berlomba menceritakan ulang kisah Samba Paria. Selain tumis kangkung, toge atau kacang panjang yang menjadi langganan, pare menjadi sayur favorit kami semua.
Entah terinspirasi dari kisah Samba atau memang kebetulan, di halaman rumah Pak Desa juga tumbuh pohon pare. Daunnya sangat lebat. Konon jika rajin dipetik, daunnya akan tumbuh semakin subur.
Kalau sudah minggu-minggu resah kehabisan uang, atas izin pemilik rumah, kami boleh memetik daunnya untuk ditumis. Dari satu pohon yang lumayan tinggi, berhasil dipetik senyiru (setampah) yang menggunung. Tapi begitu daun ini matang, hasilnya cuma semangkok kecil. Jadi cerita tumis daun pare tidak 'nyambung'Â dengan alur cerita Samba Paria. Sebab hanya saling rebut ingin kebagian sayur yang hanya secuil.
Di rumah Pak Desa tidak ada kompor. Juga rumah-rumah warga sekitar, umumnya masih memasak dengan kayu bakar. Memilih kayu, membakar dan meniup tungku, adalah sesuatu yang mengasyikan. Ada teknik tersendiri untuk meniup pakai buluh bambu. Harus pelan, tapi tekanan kuat dan fokus ke titik api. Sering kali asapnya berbalik arah sehingga hidung dan wajah bisa legam diterpa abu arang yang terbang keluar dari tungku.
Tips lainnya kalau masuk dapur, sebaiknya hindari memakai baju berwarna putih. Sebab waktu keluar, warnanya menjadi kelabu. Kalau di dapur, tangan juga jangan sembarangan pegang alat-alat dapur sebab umumnya hitam legam terbakar kayu api.
Karena alergi debu, setiap kali masuk dapur aku selalu bersin-bersin. Acap kali aku juga menggaruk hidung yang gatal atau mengucek mata yang perih kena asap. Padahal tanganku kotor penuh jelaga. Jadi teman-teman sering tertawa geli melihat tampilanku yang cemong sana-sini. Untung masa itu belum ada HP seperti sekarang. Awal tahun '90 untuk motret-motret harus irit dan menunggu momen tepat dan penting.
Untuk menjerang air ada teko dan untuk menanak nasi, ada dandang besar. Sedangkan untuk memasak ikan dan aneka sayuran tumis, pakai wajan atau panci tembikar (periuk) yang dinding permukaannya rendah. Mencuci benda-benda dari tanah liat ini hanya dengan merebus air panas setiap kali selesai memasak. Jadi bagian luarnya tetap berwarna hitam pekat. Jelaganya menebal sebagai sisa bakaran yang menempel di bagian dasar yang kena api. Otomatis, setiap hari benda-benda ini bertambah berat kalau sering dipakai.