Sebagai penutup, penonton disuguhkan proses pembuatan minyak sawit dari panen sampai pengolahan. Ada beberapa tahap penyaringan.Â
Dalam film dokumenter tersebut, ditayangkan pula ampas-ampas sawit yang berwarna coklat kotor kehitaman. Lalu muncul cuplikan-cuplikan iklan makanan seperti coklat, selai dan sebagainya yang konon katanya mengandung minyak sawit.
Lewat tayangan dokumenter ini, masyarakat seperti digugah untuk ramai-ramai memboikot pemakaian minyak sawit. Ditambah edisi wawancara dengan pakar kesehatan soal efek yang ditimbulkan minyak ini. Wah, propagandanya sangat berhasil untuk menjatuhkan nama Indonesia.
Produsen berbagai produk makanan langsung menyertakan label "Senza Olio di Palma" atau label dengan gambar pohon palma dalam lingkaran yang diberi garis silang di atasnya. Cara ini cukup sakti, sebab konsumen umumnya lebih memilih produk berlabel ini.Â
Masalah baru pun bermunculan karena banyak juga produsen nakal yang memberi stempel ini walau dalam komposisi, tetap tertulis kandungan olio di palma dengan ukuran huruf yang sengaja dikecilkan.
TERNYATA MINYAK GORENG IKUT LANGKA
Sekitar dua minggu lalu waktu belanja, saya cukup kaget melihat pengumuman bahwa pembeli dibatasi maksimal 2 botol minyak goreng biji-bijian. Heboh juga karena supermarket depan rumah sempat kehabisan stok dalam beberapa hari. Tapi di supermarket lain, persediaan cukup banyak.Â
Harganya memang naik 20% sebab sebelum pecah perang Rusia-Ukraina, pemerintah sudah memperingati masyarakat bahwa harga bahan baku akan naik semua.
Lembar-lembar peringatan ini hanya terpampang di deret rak minyak goreng dari bijian yang diimpor. Di rak minyak lainnya seperti zaitun, sesamo (wijen), lino (flaks/rami), canapa (ganja) dan zucca (biji labu kuning) tak ada jumlah pembatasan sebab minyak ini diproduksi dalam negeri.