Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Setelah Diboikot, Saatnya Memikirkan Alternatif Minyak Goreng

20 Maret 2022   06:00 Diperbarui: 20 Maret 2022   12:48 2335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Italia juga membatasi konsumen untuk membeli minyak goreng (Foto dokpri) 

Beberapa minggu lalu sering tampil status teman-teman Indonesia di media sosial yang membahas soal kelangkaan minyak goreng. Saking penasaran, saya pun bertanya ke mama di Jakarta dengan situasi ini. 

Mama menjawab santai bahwa fenomena ini tidak berefek buat kesehariannya di rumah. Kalau memang minyak goreng menghilang dari pasaran, artinya tidak perlu memikirkan menu gorengan. 

Maka akhir-akhir ini mama sibuk dengan aneka pepes, tim, kukus, rebus, bakar dan lalapan, termasuk acar atau sambal segar.

Dulu waktu mudik, saya pernah membawakan wajan pemanggang yang terbuat dari besi tuang. Lumayan berat, jadi mama jarang sekali pakai benda ini. Karena harus memikirkan alternatif masakan tanpa minyak, akhirnya wajan ini keluar juga dari lemari. 

Mulai dari daging, ikan, tempe dan tahu sampai sayuran seperti terong, labu dan bawang bombay, semuanya dipanggang. 

Kata mama, beberapa wajan teflon juga menjadi andalan untuk menumis memakai minyak seirit mungkin atau margarin sebagai pengganti minyak. 

Sambil berkelakar, mama bilang kalau kepepet ingin menggoreng kerupuk dan emping, mungkin pakai pasir sebagai media untuk menggoreng seperti zaman baheula.

Saya sendiri di sini jarang memasak yang pakai acara goreng menggoreng. Sesekali  kalau kangen bakwan jagung atau suami minta digorengkan ikan, barulah saya membeli minyak goreng. 

Biasanya sekalian menggoreng kentang untuk temani ikan sarden goreng tepung kesukaan dia. Jadi gorengan babak pertama setengah botol untuk kentang, sisanya barulah untuk ikan atau bakwan.

Seringkali saya memasak kentang di oven, sekalian panggang bersama daging atau ikan ukuran besar seperti orata atau branzino masak al forno con patate (dioven bersama kentang atau Spigola al forno su letto di patate) yang sangat praktis dan hemat bahan bakar.

Mengingat kolesterol saya tak pernah berhasil di bawah angka 200, dokter memberi saran 'kalau betul-betul ingin gorengan' sebaiknya memakai minyak goreng berlabel khusus kolesterol. Harganya lumayan mahal. Dengan kata lain, dokter sebetulnya menyarankan agar saya mengurangi konsumsi goreng-gorengan.

Seiring perkembangan teknologi yang semakin modern, sudah banyak juga kenalan di sini yang memakai friggitrice ad aria (air friyer) yang katanya sangat irit minyak. Maklum kalau menggoreng dengan wajan atau mesin goreng eletrik (electric fryer) biasanya boros. 

Satu botol kemasan isi 1 liter hanya dipakai  untuk sekali atau dua kali menggoreng. Apalagi orang sini tidak menggoreng berulang kali sampai minyak berubah warna menjadi jelantah.

Belakangan saya ikuti beberapa resep kue yang memakai minyak goreng untuk mengganti mentega. Oh ya, minyak goreng di Italia terbuat dari biji-bijian seperti biji jagung, biji kembang matahari, biji buah anggur, kacang tanah, beras (sekam) atau campuran biji-bijian. 

Selama tinggal di Italia, saya belum pernah melihat minyak goreng dari kelapa atau sawit terpampang di supermarket resmi sini. Beberapa toko Asia ada juga yang menjual minyak kelapa tetapi untuk perawatan rambut.

Label boikot minyak sawit (foto dokpri) 
Label boikot minyak sawit (foto dokpri) 

ITALIA MEMBOIKOT MINYAK SAWIT

Sebelum pandemia, media sini sempat ramai membahas tentang minyak sawit. Mereka menampilkan film dokumenter yang diawali dari penebangan hutan. 

Skenarionya berlanjut dengan asap tebal akibat membakar hutan. Terlihat orang utan yang lompat sana lompat sini untuk menyelamatkan diri. 

Biasanya tampil beberapa artis top Hollywood sebagai relawan dalam film dokumenter tersebut.

Setelah itu, panorama kebun sawit yang tertata rapi direkam dari helikopter yang membawa reporter untuk memantau situasi. 

Sebagai penutup, penonton disuguhkan proses pembuatan minyak sawit dari panen sampai pengolahan. Ada beberapa tahap penyaringan. 

Dalam film dokumenter tersebut, ditayangkan pula ampas-ampas sawit yang berwarna coklat kotor kehitaman. Lalu muncul cuplikan-cuplikan iklan makanan seperti coklat, selai dan sebagainya yang konon katanya mengandung minyak sawit.

Lewat tayangan dokumenter ini, masyarakat seperti digugah untuk ramai-ramai memboikot pemakaian minyak sawit. Ditambah edisi wawancara dengan pakar kesehatan soal efek yang ditimbulkan minyak ini. Wah, propagandanya sangat berhasil untuk menjatuhkan nama Indonesia.

Produsen berbagai produk makanan langsung menyertakan label "Senza Olio di Palma" atau label dengan gambar pohon palma dalam lingkaran yang diberi garis silang di atasnya. Cara ini cukup sakti, sebab konsumen umumnya lebih memilih produk berlabel ini. 

Masalah baru pun bermunculan karena banyak juga produsen nakal yang memberi stempel ini walau dalam komposisi, tetap tertulis kandungan olio di palma dengan ukuran huruf yang sengaja dikecilkan.

Minyak goreng biji-bijian impor dibatasi maksimal 2 botol (Foto dokpri) 
Minyak goreng biji-bijian impor dibatasi maksimal 2 botol (Foto dokpri) 

TERNYATA MINYAK GORENG IKUT LANGKA

Sekitar dua minggu lalu waktu belanja, saya cukup kaget melihat pengumuman bahwa pembeli dibatasi maksimal 2 botol minyak goreng biji-bijian. Heboh juga karena supermarket depan rumah sempat kehabisan stok dalam beberapa hari. Tapi di supermarket lain, persediaan cukup banyak. 

Harganya memang naik 20% sebab sebelum pecah perang Rusia-Ukraina, pemerintah sudah memperingati masyarakat bahwa harga bahan baku akan naik semua.

Lembar-lembar peringatan ini hanya terpampang di deret rak minyak goreng dari bijian yang diimpor. Di rak minyak lainnya seperti zaitun, sesamo (wijen), lino (flaks/rami), canapa (ganja) dan zucca (biji labu kuning) tak ada jumlah pembatasan sebab minyak ini diproduksi dalam negeri.

Minyak nabati alternatif (Foto dokpri) 
Minyak nabati alternatif (Foto dokpri) 

BUNGA MATAHARI

Kesan pertama saya tentang indahnya Italia, adalah perjalanan Roma-Venezia pada akhir musim panas. Saat melewati Toscana, hanya kebun-kebun bunga matahari yang terlihat kuning dan hijau terhampar sejauh mata memandang.

Kala itu pikiran saya melayang ke Ikrar, keponakan yang suka sekali dengan bunga ini. Dulu kalau menjemput dia dari sekolah, biasanya minta berhenti sesaat depan rumah tetangga yang menanam pohon ini. Dari atas motor dia bisa melihat jelas bunga-bunga warna kuning yang mendongak mencari posisi matahari dari balik pagar rumah tersebut.

Jadi waktu tiba di Venezia, saya langsung menyurat dan bercerita tentang pemandangan indah yang saya lihat sepanjang jalan. Tentang biji matahari yang diolah menjadi minyak goreng. Bukan cuma kuaci yang kita kenal dan bisa dikonsumsi.

Sebagai Tante, saya menyarankan dia kalau besar nanti pilih fakultas Pertanian. Buka kebun bunga matahari. 

Tanaman ini bisa tumbuh dengan subur di Indonesia yang beriklim tropis. Mataharinya konstan 12 jam sepanjang hari sepanjang tahun. 

Tak hanya menghasilkan kuaci, jajanan kesukaan anak-anak tapi biji matahari bisa diolah menjadi minyak goreng. Selain itu, juga indah menyegarkan mata.

Surat ini saya tulis sekitar 16 tahun yang lalu. Ikrar tertawa kalau ingat nasehat di surat tersebut. Dia sudah bekerja mapan dan berkeluarga. Dia juga sudah lupa tentang bunga matahari yang pernah dia kagumi.

ISU PENGHIJAUAN

Waktu media Italia mengangkat isu minyak sawit, beberapa teman sini ada yang bertanya dan ingin mendengar langsung komentar saya tentang ulasan media mereka yang sangat negatif tentang Indonesia.

Saya hanya bisa menjawab: "Kayu di hutan di Indonesia sudah habis sebab dipakai orang Italia untuk membuat lantai rumah kalian. Kayu-kayu tersebut sudah ada sebelum kami lahir. Secara logika, untuk penghijauan dengan menanam ulang pohon menjadi kayu, harus menunggu tahunan lamanya. Satu generasi lahir, perlu dikasih makan. Kalau menanam sawit, mereka bisa melanjutkan hidup karena tidak menunggu lama untuk bisa dipanen. Hasil sawit yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di Indonesia pada umumnya, adalah minyak goreng. Sawit menjadi pilihan, sebab menunggu kelapa untuk diolah menjadi minyak juga membutuhkan waktu cukup lama"

Saat itu sempat terlintas pemandangan kebun matahari di Toscana dalam benak saya. Dalam hati saya berdoa dan berharap sambil membayangkan kalau-kalau ada orang Indonesia yang mulai mengusahakan kebun bunga matahari untuk dibikin minyak goreng. Atau kacang tanah diolah menjadi minyak goreng. Atau biji labu kuning dan lain-lain. Indonesia kaya sekali dengan keragaman buah yang bijinya bisa diolah menjadi minyak goreng.

Tahun '70an kami pernah menanam pohon coklat di pekarangan rumah di Jakarta. Saya masih SD dan sangat kecewa karena buah coklat isinya hanya deretan biji yang rasanya pahit. Padahal saya membayangkan coklat manis rasa susu seperti yang dijual di warung-warung dengan aneka bentuk. 

Kalau pun dibikin minuman, saya tak sudi meminum air warna coklat keruh yang di permukaan terlihat genangan minyak melayang-layang.

Sekarang kalau membaca komposisi produk pelembab bibir sini yang tertulis mengandung lemak coklat (burro di cacao) saya hanya mesem-mesem membayangkan buah coklat di pekarangan rumah kami.

Kembali ke pertanyaan teman-teman Italia soal boikot memboikot minyak sawit, mereka akhirnya paham. Bahkan mereka sempat tersipu malu sebab rumah-rumah di sini umumnya menggunakan lantai kayu (parquet) yang diimpor dari Indonesia. 

Banyak perumahan modern yang memakai pemanas di bawah lantai kayu karena lebih hangat, praktis dan tidak memakan tempat. Dari segi estetis juga terlihat indah dan berkelas alias bergengsi. 

Kesimpulan, kalau mau boikot yang dikaitkan dengan isu lingkungan, harusnya mereka juga ikut konsisten tidak memakai lantai parket dari kayu Indonesia.

AMBIL HIKMAH POSITIF

Soal isu tentang langkanya minyak goreng di Indonesia, saat ini isunya ikut merembet ke Italia. Bukan disebabkan oleh oknum nakal yang menumpuk minyak sehingga hilang dari pasaran, tapi rupanya Italia mengimpor hampir semua kebutuhan pokok dari negara yang sedang konflik ini. 

Bukan rahasia lagi kalau bahan bakar seperti gas, membeli dari Rusia. Ternyata jagung dan gandum selama ini pun mengimpor dari Ukraina. 

Padahal keduanya merupakan makanan pokok yang diolah menjadi roti, pasta, pizza dan polenta. Olahan makanan ini wajib hadir di meja makan orang Italia setiap harinya.

Beberapa tahun lalu saya masih bisa melihat kebun-kebun jagung, gandum bahkan padi dan barbabietola (bit) untuk dibikin gula di sekitar Regione Veneto. 

Tapi sejak provinsi Treviso dinobatkan sebagai penghasil minuman anggur prosecco nomer 1 di dunia, harga jagung dan gandum langsung anjlok. Petani di wilayah ini termasuk Oderzo, cenderung hanya menanam anggur karena harganya jauh lebih baik.

Selalu ada hikmah dari setiap masalah. Belajar dari konflik Rusia-Ukraina, petani di Veneto merasa bertanggugjawab untuk mengusahakan kembali ladang-ladang mereka menjadi kebun-kebun gandum dan jagung. 

Mereka juga menuntut pemerintah untuk menimbang ulang soal harga gandum dan jagung lokal. Boleh bangga menjadi produsen anggur terbaik di dunia, tapi tidak semua orang Italia mengkonsumsi minuman anggur. Masyarakat masih butuh gandum dan jagung untuk menyambung hidup.

Untuk teman-teman di Indonesia, kelangkaan minyak sawit kiranya menjadi motivasi kita besama untuk mulai memikirkan berbagai alternatif minyak goreng nabati dari aneka biji-bijian yang ada di bumi Indonesia. Negeri kita kaya, sangat kaya. Saatnya memikirkan cara mengolah dengan baik semua sumber daya alam yang telah tersedia. 

Italia jauh lebih kecil dan nyaris tak punya sumber daya alam karena negerinya sangat terbatas oleh iklim. Namun mereka memiliki SDM (sumber daya manusia) yang bisa mengolah sumber daya alam (walau hasil impor) menjadi produk unggul yang mendunia. Sebagai contoh, mereka tak pernah melihat pohon kopi apalagi kebunnya. Tapi olahan biji kopi mereka sangat dikenal dan mendunia.

Sungguh bangga menjadi orang Indonesia!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun