Mohon tunggu...
Claudia Magany
Claudia Magany Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Mantan lifter putri pertama Indonesia, merantau di Italia +15 tahun, pengamat yang suka seni dan kreatif!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sapu Lidi, Obsesi, dan Buku Cerita

23 Mei 2021   17:30 Diperbarui: 25 Mei 2021   13:42 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal-awal merantau, saya harus mengganti seprai 2-3 kali dalam seminggu. Teman satu kos sampai bingung melihat kebiasaan aneh saya. Mungkin pikirnya: 'Hobi amat sih Mbak ini mencuci seprai?'  Wong seprainya masih bersih, baru dicuci.. kok sudah dicuci kembali? Untungnya, dia tak pernah protes walau melihat tali jemuran acap kali penuh terisi bentangan seprai yang cukup memakan tempat.

Sampai suatu hari, ketika saya histeris melihat sapu lidi terpajang di salah satu toko bunga di Venezia, kebiasaan ini sirna seketika dengan damai. Temuan yang sangat luar biasa itu, akhirnya bisa mengatasi masalah saya. Tak perlu lagi mencuci seprai terlalu sering. Artinya, saya bisa menghemat air, sabun dan listrik. Tentunya juga, saya bisa menghemat uang!

Sapu lidi di sini, umumnya dijual sebagai pelengkap dekorasi rumah. Di toko itu mereka sisipkan di antara rangkaian bunga kering. Lidinya berwarna-warni dalam ikatan yang hanya terdiri dari beberapa batang saja. Ujung lidinya, menyatu membentuk gelombang agak keriting seperti rambut gadis zaman dulu yang habis pakai 'roll' penggulung rambut sepanjang malam.

Karena isinya sedikit, jadi saya langsung beli 3 ikat warna hijau untuk dijadikan satu biar gembul dan enak dipakai buat mengibas tempat tidur. Seperti pepatah nenek moyang: "bersatu kita teguh, bercerai..." (silakan isi sendiri, sebab konteksnya bisa berubah sesuai zaman!) 

Maka, ketiga ujung sapu yang telah disatukan itu, saya potong rata. Dan sapu ini menjadi benda paling berharga yang setia berdiri di pojok kamar dekat ranjang saya. Bertahun-tahun mengabdi, sapu ini masih dipakai walau hanya tersisa beberapa batang lidi.

Setiap malam, upacara rutin saya sebelum tidur adalah kibas-kibas permukaan seprai sampai tidak ada satu pun debu yang tertinggal. Waktu baru-baru nikah, suami cukup bingung melihat kebiasaan saya. 

Padahal sepanjang hari tempat tidurnya tertutup rapat oleh bedcover, namun tetap saja saya kibas dari ujung ke ujung. Lama-lama ia pun mulai terbiasa dan tidak pernah bertanya lagi.

PUTRI SEJATI

Jujur saja, selain bersih dan nyaman, ada sensasi yang sulit diungkapkan! Mungkin saya terpengaruh oleh buku bacaan yang dikarang HC Andersen. Atau hanya imajinasi saya yang membayangkan diri sebagai 'putri' yang dikisahkan dalam buku penulis asal Denmark itu. 

Untuk menguji calon permaisurinya, sang pangeran menyelipkan sebiji kacang polong di bawah lapisan 20 kasur bulu. Hanya putri sejati yang punya sensitivitas tinggi (seperti saya!?)

Sensasi ini hanya tersimpan dalam hati dan pikiran saja. Hanya saya yang merasakan. Dan menjadi rahasia saya. Tentunya akan sangat berbahaya kalau suami saya tahu misteri di balik upacara kibas-kibas ranjang ternyata terobsesi dari dongeng Putri dan Kacang Polong. Edisi bahasa Inggrisnya 'The Princess and the Pea'. 

Tapi dalam beberapa edisi terjemahan seperti seri Lima Benua Gramedia yang saya baca kala itu, diberi judul "Putri Sejati". Nah kalau rahasia ini bocor, bisa pecah perang dunia ke-4 karena suami akan berpikir curiga, jangan-jangan saya masih menunggu sang pangeran khayalan.

RINI DICULIK

Sebenarnya banyak juga buku cerita yang masih lekat dan berkesan dalam ingatan saya. Misalnya kisah Rini Diculik. Kalau tak salah pengarangnya Djokolelono dengan penerbit Pustaka Jaya. 

Waktu membaca buku ini, saya sudah kelas 6 SD dan sedang aktif Pramuka mempersiapkan jambore. Maka, buku ini sangat memotivasi saya untuk menghafal kode morse, semafor dan berbagai sandi. Walau sadar tak akan ada yang berminat menculik saya, tapi namanya ilmu, pasti selalu berguna.

Ya, saya yakin tak bakal diculik sekalipun menyerahkan diri kepada penculik, sebab saya bukan siapa-siapa. Kalau bermain seharian di luar, tak seorang pun di rumah yang memikirkan apakah saya sudah makan siang atau belum. Apakah saya masuk sekolah atau bolos. Tak ada seorang pun yang peduli saya ada atau tidak. 

Jadi kalau diculik pun tentu keluarga saya tak ada yang resah. Apalagi kalau sampai minta uang tebusan, mungkin akan dijawab: ambil saja untuk kurangi jatah makan di rumah! Lain hal kalau gagang ulekan yang hilang. 

Benda ini tentunya lebih dicari daripada saya. Serumah bisa geger karena tidak ada sambel tersaji di meja makan. Jaman itu kami belum mengenal sambal matah. Juga belum punya blender sebagai alternatif menghaluskan cabe tomat and the gang. Jadi kalau urusan sambal, pasti berhubungan dengan cobek dan gagang ulekan.

KODE MORSE

Kembali ke cerita Rini Diculik, akhir kisahnya 'berhasil selamat' karena berkomunikasi memakai morse. Ya, kode ini memang sangat penting dipelajari, tepatnya: dihafal luar kepala! Jadi saya mengajak suami untuk menghafal kode morse sebagai aktivitas bersama. 

Tiap kesempatan kumpul dengan keluarga atau teman, kami suka praktekkan untuk berkomunikasi sebagai kode kami berdua. Tidak pakai lampu, tidak pakai suara. Tapi kami pakai gerak leher atau kaki yang digoyangkan agar orang sekitar tidak mencurigai gerak-gerik aneh kami. Hitung-hitung, sambil melatih otak agar tidak lupa. 

Ilmu komunikasi macam kode morse ini, tergolong abadi. Ilmu ini selalu berguna sepanjang masa. Walau sekarang teknologi sudah jauh lebih canggih, tapi kami berdua tetap membekali diri dengan pengetahuan kode morse. Toh secanggih-canggihnya teknologi, kalau giliran listrik mati, semua aktivitas teknologi ikutan mati.

Tentang kode morse, saya jadi ingat kisah tetangga di Makassar yang berhasil selamat dari tenggelamnya kapal Tampomas. Konon katanya saat kapal itu terbakar dan perlahan mulai tenggelam, dia sempat mengirim kode morse: Mayday, mayday... SOS.. SOS..Waktu itu dia bekerja di bandara Hasanuddin dan lulusan akademi penerbangan. 

Semasa taruna, mereka wajib menghafal kode morse dan alfabet internasional. Berkat inisiatifnya mengirim pesan 'mayday' lewat kode morse, akhirnya tim SAR berhasil menemukan lokasi mereka walau kapal sudah ditelan laut. 

Akhirnya, banyak juga penumpang yang selamat termasuk dia dan anaknya. Kisah kepahlawanannya menyadarkan saya bahwa kode morse itu penting dihafal luar kepala.

PENJAHIT BERANI

Sebagai anak penjahit, sering juga saya membanggakan diri kalau bisa menepuk nyamuk dua-tiga ekor dalam satu kali tepukan tangan. Sampai hari ini, saya masih senang pamer bercak darah dan nyamuk yang tampak gepeng di telapak tangan. 

Sementara suami biasanya melihat adegan ini dengan jijik. Maklum dia pencinta hewan, maka membunuh nyamuk baginya dianggap sebagai tindakan kriminal. Padahal sebelum pandemia, banyak orang di Indonesia yang meninggal gara-gara nyamuk seperti demam berdarah dan malaria. 

Nyamuk dan lalat, kedua serangga ini sering menjadi inceran saya setiap musim panas.  Dongeng yang diceritakan the Brothers Grimm, si penjahit membunuh 7 ekor dalam satu pukulan. Maka saya ingin memecahkan rekor si penjahit tersebut. 

Paling tidak, mungkin menyamakan rekornya sudah merupakan prestasi! Untuk itu, senjata paling ampuh dalam aksi ini, tak lain dan tak bukan adalah sapu lidi saya yang multifungsi. Sapu lidi ini ternyata punya peran penting mengaplikasi dua kisah dongeng yang pernah saya baca semasa kanak-kanak.

BARON VON MUNCHAUSEN

Buku lain yang menjadi favorit saya adalah Baron von Munchausen. Petualangan Baron menginspirasi saya untuk berani melanglang buana sampai ke Italia. Kecerdikan Baron memilih tim kerja, juga menjadi acuan saya dalam berorganisasi. Kesimpulan, banyak pelajaran tentang hidup yang saya peroleh justru dari buku cerita anak. 

Kisah Baron yang awalnya sebagai cerita pengalaman, akhirnya berkembang mendapat tambahan sana-sini menjadi kisah fantasia. Bagi saya pribadi, bukunya tetap bacaan yang paling menarik. 

Sebab hidup yang saya jalani mirip-mirip dalam kisah ini. Seolah saya sedang menjalani kehidupan tokoh ini walau latar tempat dan zaman tentunya tidak sama. Namun ada beberapa hal yang universal dan kontekstual dengan kehidupan saya masa kini.

HANYA BUKU PINJAMAN

Saya empat bersaudara. Keluarga kami, hanya papa dan kakak perempuan saya yang hobinya membaca. Mama saya sehari-hari menjahit. Kami berlangganan koran Kompas. Biasanya papa membacakan judul-judul artikel saat kami sarapan bersama. 

Sore hari papa melanjutkan membaca koran lebih rinci dengan suara nyaring untuk temani mama menyelesaikan jahitan. Biasanya acara rutin ini ditemani kopi dan aneka kudapan ringan.

Sebagai anak bungsu yang masih kecil, biasanya saya ikut 'nguping' di kolong mesin jahit sambil mengamati roda besar berputar menggerakan pengungkit naik turun saat mama menggenjot mesin. 

Nanti biasanya mama menegur saya untuk keluar bermain di lapangan, jangan jadi 'tempolong' ikut mendengarkan mereka membahas berita yang dianggap hanya untuk orang dewasa. 

Tempolong adalah tadah untuk membuang sisa ampas ludah yang biasa menemani nenek-nenek zaman baheula menginang sirih. Mungkin fungsi sosial yang dimaksud mama saya, tempolong itu bisa diartikan sebagai 'saksi bisu' kalau kedapatan saya sedang nguping pembicaraan orang dewasa.

Kakak perempuan saya yang nomer dua, biasanya mendapat pinjaman buku dari teman-teman sekolahnya. Sering juga ia menyewa dari tetangga yang berjualan gado-gado merangkap tempat penyewaan novel, komik dan serial Kho Ping Hoo. 

Kalau saya biasa ditegur mama karena jadi tempolong, kakak saya sering ditegur sebab dia suka membaca sambil makan. Atau saat maghrib, dia masih asyik membaca padahal hari mulai gelap. Kemana pun tangannya selalu pegang buku.

Abang saya nomer tiga, tidak pernah membaca buku. Tapi dia suka membeli buku, khususnya seri "Album Cerita Ternama". Betul-betul dia koleksi buku ini dari uang jajan yang dia sisihkan. 

Dia juga berlangganan majalah HAI yang satu persatu akhirnya ikut dijual karena mulai memenuhi isi lemari bukunya. Tapi 2-3 majalah dengan kulit muka UFO dan Exorcist masih disimpan karena dia suka dengan kisah bergenre mistik dan futuristik.

Abang saya yang pertama, tidak suka buku, tidak suka membaca. Kesukaannya hanya mencoret-coret buku. Entah digambar mobil, sketsa wajah atau sekedar aneka tulisan tanpa makna. Tapi coret-coretnya sangat bagus. Banyak dipuji orang yang ingin menyimpan coretan-coretan dia. 

Sayangnya, dia ikut mencoret buku-buku cerita yang saya pinjam dari teman-teman sekitar. Alhasil, tiap kali saya menangis bombay karena tak berdaya. Untuk mengganti dengan buku baru, saya tidak punya uang. 

Untuk kembalikan ke pemiliknya, belum-belum nyali saya sudah ciut duluan membayangkan kalau saya akan dicaci-maki karena bukunya penuh coretan dan seterusnya.

SUDIRMAN

Waktu itu abang saya punya teman yang sering main ke rumah. Saya ingat betul, namanya Sudirman. Hampir tiap pagi datang ke rumah naik motor sebab tinggalnya lumayan jauh di belahan lain kota Jakarta. 

Karena kami tidak punya kendaraan, jadi abang saya memanfaatkan banget kesempatan ini. Dia belajar naik motor setiap kali Sudirman datang. Biasanya kalau sudah mulai putar gas, dia bisa keliling sampai lupa pulang. Giliran saya yang salah tingkah. 

Jam 09 teng terdengar motor berhenti depan pagar. Belum pasang standar dengan sempurna, biasanya abang saya langsung meraih motor tersebut. Sambil berteriak dari atas motor, dia menyuruh saya untuk menyiapkan 2 gelas teh. Satu untuk tamu dan satunya untuk dia. Secara teori, harusnya dia temani Sudirman yang datang khusus dari jauh. 

Jam 10 belum terdengar suara motor berhenti depan pagar. Sesekali kalau ada motor lewat, dia mengangkat leher tinggi-tinggi melewati kusen jendela untuk mengintip ke jalanan. Jam 11 kedua gelas teh akhirnya diminum habis sendirian oleh Sudirman. 

Gelas berikutnya datang menyusul, menggantikan dua gelas kosong sebelumnya. Dan jam 12.30 akhirnya motor yang ditunggu-tunggu tiba juga. Mereka harus masuk sekolah jam 13, jadi biasanya Sudirman pamit dengan tergesa-gesa. Abang saya juga harus ganti baju dengan terburu-buru.

Sekali, dua kali.. tiga kali dan berkali-kali, Sudirman tidak pernah bosan main ke rumah walau hanya duduk bengong sendirian di ruang tamu. Saya masih SD, mereka sudah kelas 2 STM. 

Untuk menemani ngobrol, orangnya sangat pendiam. Jadi kurang asyik sebab hanya menjawab "ya", mengangguk atau tersenyum. Karena itu, saya selalu siapkan majalah untuk temani dia mengisi waktu selama menunggu motornya kembali.

LANGGANAN MAJALAH KARENA BISA DIJUAL

Waktu itu mama berlangganan majalah Femina karena banyak model baju yang bisa ditiru. Papa berlangganan Intisari, kakak saya dilanggani majalah Gadis dan saya dijatah langganan majalah Si Kuntjung dan Kawanku.

Untuk majalah Bobo, saya biasa numpang baca saat temani anak tetangga bermain. Tentang majalah dan Sudirman, tak sampai 2 jam, majalah-majalah tersebut selesai dibacanya. 

Lalu dia terbengong kembali. Mungkin menghitung jumlah eternit yang terhampar di langit-langit ruang tamu. Atau terhipnotis mendengar detak jarum jam dinding yang terdengar jelas karena cukup nyaring suaranya. Kasihan juga dia sendirian bengong di ruang tamu. 

Papa seharian kerja, dua kakak saya nomer dua dan tiga masuk sekolah pagi. Mama sehari-hari bersembunyi di belakang mesin di kamar jahit, tak bisa diganggu. Terpaksa hanya saya yang nganggur dan ladeni Sudirman, tamu yang tak jemu datang walau tahu akan dimanfaatkan.

Akhirnya saya berinisiatif keliling ke rumah teman-teman sekitar untuk pinjam buku bacaan apa saja. Mulai dari dongeng sampai novel tebal biar tamunya asyik membaca, tidak stress menunggu abang saya. Ternyata, buku-buku inilah yang akhirnya ikut menginspirasi kehidupan saya sampai hari ini.

Keluarga kami jarang membeli buku cerita, tapi cenderung berlangganan koran dan majalah. Sebab selesai dibaca bisa dijual kembali secara kiloan ke tukang loak langganan. 

Mama bilang, kasihan tiap hari tukang loak berhenti depan pagar, menagih benda-benda yang bisa dijual kembali. Botol kosong tidak bisa diprediksi kapan isinya habis. 

Bisa cepat, bisa lambat. Tapi kalau koran dan majalah, waktunya bisa dikalkulasi secara berkala. Tiap minggu bisa tukar abu gosok untuk cuci piring. Sebulan sekali ada tambahan uang buat jajan kerupuk dari penjualan majalah-majalah langganan kami. Buku selain harganya mahal, untuk dijual kembali agak sulit. Biasanya hanya diberlakukan sistem pinjam meminjam. 

Maka, pertimbangan inilah yang menjadi pilihan orang tua kami untuk melanggankan koran dan majalah daripada membelikan buku bacaan. Cara ini juga ikut memacu kami agar disiplin membaca semua majalah yang dilanggani sampai tuntas. Tugas saya biasanya mengumpulkan aneka resep masakan dan model untuk dibikin kliping.

SELALU ADA HIKMAT

Bertahun-tahun setelah kami punya kehidupan masing-masing, saya baru menyadari bahwa persahabatan abang saya dengan Sudirman membawa manfaat sangat positif. Abang saya jadi bisa mengendarai motor walau dia tak pernah punya motor. Saya pun jadi ikut membaca banyak buku-buku dongeng untuk temani Sudirman saat bertamu sepagian. 

Andai dia tak pernah mampir ke rumah, mungkin pengetahuan bacaan saya hanya sebatas cerita dalam majalah langganan yang isinya tidak sedetil buku cerita. Saya yakin di mana pun ia berada saat ini, mungkin ia juga akan berpikir hal yang sama seperti saya. 

Menunggu 2-3 jam di rumah kami, akhirnya ia membaca semua majalah dan buku-buku pinjaman yang saya sajikan. Walau mungkin waktu itu dibaca dengan terpaksa, tapi lebih baik membaca daripada duduk bengong menambah stress karena was-was memikirkan motornya.

Untungnya pula, buku-buku cerita pinjaman yang dicoret-coret abang saya, mendapat sanjungan dari para pemilik buku tersebut. Mereka tidak marah, malahan menganggap sebagai kenang-kenangan dari abang saya. 

Mereka bilang, kalau menyuruh dia menggambar, belum tentu hasilnya bisa sebagus pada saat dia 'mood' ingin menggambar. Jadi mereka pada maklum. Padahal 'mood' yang mereka bilang itu, sudah menghabiskan berliter-liter airmata saya tiap kali melihat buku-buku tersebut sudah tampil beda.

Sekarang, tiap digelar pasar kaget di Oderzo, saya sempatkan memburu beberapa komik. Kali ini bukan untuk dibaca, tetapi untuk mengagumi ilustrasi yang mengingatkan gambar corat-coret abang saya zaman dahulu. 

Ah, andai dari zaman itu dia sudah diarahkan untuk fokus menggambar, mungkin saat ini ia sudah menjadi seorang ilustrator buku atau komikus. Namun nasib selalu berkata lain, abang saya lebih suka memilih pekerjaan sebagai pelaut. Bakat dan hobinya sudah lama dia tinggalkan. Sementara hobi saya terus berkembang, tapi kebiasaan kibas ranjang sebelum tidur , tetap saya pertahan sampai kapan pun selama masih punya sapu lidi.

Selamat hari buku, selamat membaca buku. Salam literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun