Mohon tunggu...
Clara Wening
Clara Wening Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Wayang Kulit bagi Generasi Milenial

11 November 2020   08:20 Diperbarui: 11 November 2020   09:34 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wayang kulit merupakan salah satu kesenian tradisional di Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Pada awal perkembangannya, wayang kulit digunakan sebagai sarana hiburan serta penyebaran agama Islam. 

Hal ini terjadi pada saat agama Islam mulai masuk di Indonesia dan dipelorori oleh Wali Songo. Wayang kulit tak hanya terkenal karena penggunaannya sebagai sarana penyebaran agama, namun juga filosofi yang terdapat di dalamnya. 

Bagi orang Jawa, filosofi yang terdapat dalam wayang kulit dikaitkan dengan kehidupan manusia di dunia (Anggoro, 2018). Ini sejalan dengan perspektif sastra terhadap wayang kulit yang menekankan bahwa sebuah karya sastra terutama prosa merupakan wujud representasi dari kehidupan manusia.

Dalam kaitannya dengan era modern, wayang kulit sebagai pertunjukan tradisional telah berusaha menjawab tantangan zaman dengan merambah ke dunia digital. Telah banyak dijumpai kanal-kanal Youtube yang telah mempublikasikan pertunjukan wayang kulit baik secara streaming maupun tidak.  

Selain itu, banyak pula dijumpai cuplikan-cuplikan pertunjukan wayang kulit yang tersebar di berbagai media sosial lainnya. Perubahan semacam ini bertujuan untuk menjaga eksistensi wayang kulit di tengah kehidupan modern. 

Selain itu, perubahan tersebut dilakukan sebagai upaya pengenalan budaya tradisional kepada generasi milenial. Pendekatan ke arah digital merupakan upaya penghubung dengan kehidupan generasi milenial yang sangat dekat dengan dunia maya. 

Penumbuhan kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya tradisional ini terus digaungkan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun seniman. Lalu apa pentingnya wayang kulit bagi generasi milenial?

Wayang kulit sebagai budaya tradisional Indonesia telah mendapat pengakuan dari dunia internasional. Dilansir dari id.wikipedia.org, UNESCO menetapkan wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanitiy pada tanggal 7 November 2003. Sebagai masterpiece atau karya agung, wayang kulit mengandung nilai-nilai seperti falsafah hidup, etika, spritualitas, dan estetika seni  yang sangat kompleks (Nurgiyantoro,2011). 

Dengan adanya pengakuan dari UNESCO, kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia memiliki tanggungjawab besar untuk terus mengembangkan serta melestarikan wayang kulit. Tanggungjawab ini harus dilaksanakan secara bersama-sama, salah satunya dengan memperkenalkan wayang kulit kepada generasi milenial. 

Pengenalan ini dimaksudkan agar generasi milenial mencintai wayang kulit dan kelak dapat terus melestarikannya. Sebagai sebuah budaya, wayang kulit memiliki peran penting terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Masyarakat Jawa meyakini bahwa dalam setiap pertunjukan wayang kulit memiliki makna dan filosofi tersendiri serta menjadi acuan dalam hidup bermasyarakat. Peran penting inilah yang seharusnya diketahui dan dimaknai oleh generasi milenial. 

Beberapa peran penting wayang kulit bagi generasi milenial akan dibahas dari berbagai sudut pandang seperti perkspektif budaya, perspektif pertunjukan, dan perspektif pendidikan karakter.

Pertama, dilihat dari perspektif budaya. Wayang kulit sebagai perpaduan budaya Jawa dan budaya Hindu, sarat akan nilai-nilai budaya. Nilai budaya ini tercermin dalam alur cerita serta bahasa yang digunakan. 

Dari segi alur cerita, wayang kulit mengandung nilai-nilai moral dan sosial yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. 

Nilai moral berkaitan dengan etika bermasyarakat, sedangkan nilai sosial berkaitan dengan masyarakat. Nilai sosial dapat berupa nilai kerukunan, persatuan, gotongroyong, solidarias, toleransi, kepedulian, dan lain-lain. Kebanyakan dari kita berpikir bahwa nilai-nilai tersebut telah dipelajari dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah sehingga tidak perlu belajar dari wayang kulit. 

Hal ini merupakan pandangan yang keliru. Nilai moral dan sosial yang diajarkan di sekolah hanya sebatas teori dengan praktek yang sangat minim. Wayang kulit melengkapi implementasi yang telah diajarkan di sekolah. Wayang kulit yang bersumber dari budaya masyarakat Jawa memiliki relevansi yang sangat kuat dengan kehidupan. 

Dengan menonton wayang kulit, kita seakan bercermin dengan kehidupan diri kita sendiri. Selain itu, perwujudan nilai moral dalam wayang kulit sangat kental dengan penyimbolan sehingga tidak terkesan menggurui. Melalui lakon dari tokoh-tokoh wayang, kita dapat melihat contoh tindakan moral dan akibatnya. Dalam hal ini, tokoh wayang dapat dijadikan sebagai role model dalam penerapan nilai moral dan nilai sosial (Sutrisno dalam Nurgiyantoro,2011). 

Pemberian contoh secara konkret melalui alur cerita ini dapat mempermudah generasi milenial dalam memahami nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Ini merupakan hal penting, mengingat di zaman modern ini banyak terjadi kemerosotan nilai moral dalam bermasyarakat. Generasi milenial sebagai generasi penerus bangsa memiliki tanggungjawab untuk memperbaiki kemerosotan moral dengan cara mengenal kembali apa yang menjadi sumber budaya Indonesia, salah satunya melalui wayang kulit.

Penggunaan bahasa Jawa dalam wayang kulit juga perlu mendapat perhatian. Hanya sebagian kecil dari generasi milenial (khususnya yang berasal dari Jawa) yang mengerti unggah-ungguh penggunaan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. 

Ini salah satu akibat dari perkembangan budaya asing yang masuk ke Indonesia, padahal bahasa Jawa merupakan bahasa ibu mereka. Berdasarkan aspek bahasa, wayang kulit bertujuan untuk mengenalkan dan mengajarkan mengenai etika berbahasa Jawa. 

Melalui wayang kulit, generasi milenial dapat mempelajari bahasa Jawa yang tercermin dalam percakapan antar tokoh. Dengan adanya contoh secara langsung, proses belajar bahasa akan lebih mudah karena pada hakikatnya bahasa dapat dipahami dengan merangkai beberapa arti kosakata dari sebuah kalimat. 

Selain itu, unggah-ungguh atau etika berbahasa juga penting diperhatikan dalam penggunaan bahasa Jawa agar tidak melanggar aturan sosial masyarakat Jawa. Bahasa Jawa memiliki tingkatan berbahasa seperti ngoko, krama, dan krama inggil. 

Bahasa Jawa ngoko merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan untuk percapakan antar sebaya. Sedangkan bahasa Jawa krama dan krama inggil merupakan bahasa yang digunakan untuk percakapan dengan orang yang lebih tua. 

Etika berbahasa seperti ini yang kerap kali dilupakan oleh generasi milenial. Pada penerapannya, masih dijumpai kesalahan etika berbahasa yang dilakukan anak muda seperti menggunakan bahasa ngoko ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. 

Kesalahan ini dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan berbahasa Jawa atau kurangnya pemahaman tentang unggah-ungguh bahasa Jawa. Melalui wayang kulit, generasi milenial dapat belajar mengenai hal ini, karena unggah-ungguh berbahasa menjadi salah satu ciri khas bahasa orang Jawa.

Kedua, dilihat dari perspektif pertunjukan. Pertunjukan wayang kulit menjadi sarana hiburan yang kental dengan kritik (Nurgiyantoro, 2011). Kritik yang diangkat berkaitan mengenai isu sosial, isu politik, isu HAM yang disesuaikan dengan keadaan terkini bangsa Indonesia. 

Kritik ini merupakan perwujudan tanggapan terhadap kehidupan bernegara sekaligus menjadi penyeimbang dunia demokrasi di Indonesia. Walaupun yang disampaikan sebuah kritik, namun pertunjukkan wayang kulit tetap menghibur. 

Hal ini disebabkan kritik tersebut disajikan dengan balutan humor yang khas dari para dalang. Humor yang khas ini disebut sebagai dagelan, sehingga pertunjukkannya pun tidak membosankan. 

Pertunjukan semacam ini perlu dikenalkan kepada generasi milenial. Selain untuk melestarikan dan mengapresiasi seni wayang kulit, generasi milenial dapat lebih kritis terhadap keadaan sosial bangsa Indonesia. 

Berpikir kritis merupakan salah satu peran yang dapat diambil generasi milenial sebagai generasi yang terpelajar. Hal ini penting agar generasi milenial tidak skeptis terhadap sosial masyarakat sehingga dapat mengambil peran dalam membangun Indonesia. Melalui wayang kulit, generasi milenial dapat belajar mengkritik dengan humor bukan dengan sarkasme.

Ketiga, dilihat dari perspekif pendidikan karakter. Menurut KBBI, karakter memiliki arti sebagai sifat kejiwaan, akhlak/budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. 

Dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan budi pekerti yang khas dari seseorang. Karakter perlu dibangun dengan adanya pendidikan. Pendidikan karakter sebagai usaha pembentukan karakter dengan penanaman nilai moral pada peserta didik. Wayang kulit menjadi salah satu media yang digunakan dalam pendidikan karakter. 

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa wayang kulit mengandung nilai moral dan sosial yang tercermin dalam lakon setiap tokohnya. Setiap tokoh wayang memiliki karakter yang berbeda-beda. 

Secara umum, karakter yang tergambar yaitu karakter baik dan jahat. Melalui karakter ini, peserta didik (yang merupakan generasi milenial) dapat menemukan karakter seperti apa yang baik untuk dikembangkan. Pendidikan karakter melalui pencontohan tentunya akan lebih efektif untuk membangun karakter. 

Hal ini sama seperti generasi milenial yang mengidolakan tokoh fiksi superhero. Tokoh wayang memliki karakter yang sangat relevan dengan kehidupan. Relevansi ini ditampilkan dalam sikap dan perilaku konkret dari para tokoh wayang kulit sehingga dapat dicontoh oleh para generasi milenial. Dengan begitu, karakter generasi Indonesia pun dapat diperkuat kembali sehingga Indonesia memiliki ciri khas dari negara lain.

Dari ketiga perspektif tersebut, dapat dilihat bahwa wayang kulit sebagai masterpiece atau karya agung berakar dari budaya Indonesia sendiri (khususnya budaya Jawa) dan menjadi jati diri atau karakter bangsa Indonesia. 

Dengan kekayaan nilai serta perannya sebagai budaya yang hidup di tengah masyarakat, wayang kulit perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi milenial. Generasi milenial merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa Indonesia. 

Melalui wayang kulit, kita sebagai generasi milenial dapat belajar mengenai nilai moral, nilai sosial, unggah-ungguh bahasa Jawa, berpikir kritis, dan penguatan karakter. 

Dengan begitu, jati diri bangsa Indonesia tidak akan luntur tergerus perkembangan zaman. Selain itu, peran generasi milenial sangatlah penting bagi perkembangan wayang kulit sebagai budaya tradisional di era digital.

Melalui tulisan ini penulis mengajak dan merangkul para generasi milenial untuk mengenal, mencintai, serta melestarikan budaya tradisional khususnya wayang kulit. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? 

Jangan sampai anak cucu kita tidak dapat menikmati wayang kulit yang sarat akan falsafah hidup. Selain itu, terkhusus bagi generasi milenial yang berasal dari Jawa, mari kita lestarikan wayang kulit dan menghidupi nilai-nilainya dalam bermsyarakat. Hal ini penting diperhatikan karena inilah jati diri dari masyarakat Jawa. Seperti kata pepatah "wong Jawa ojo nganti ilang Jawane" yang berarti orang Jawa jangan sampai kehilangan ciri khasnya sebagai orang Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun