Sekiranya tidak ada yang lebih sakral lagi  daripada ujian masuk perguruan tinggi di Korea. Para pelajar yang akan mengikuti tes sebelum masuk gedung tes dilepas oleh iring-iringan teman-teman ataupun keluarga bagaikan para serdadu Rusia yang yang dilepas oleh Tsar dan diberikan mantra oleh pendeta Ortodox saat Perang Dunia Pertama. Ritual sakral yang berlangsung selama delapan jam tersebut bahkan membuat maskapai penerbangan tidak boleh beroperasi selama tes berlangsung.
Karena tes yang hanya satu hari itu sangat menentukan bagi masa depan mereka, muncul lah bisnis-bisnis kursus atau bimbel yang kerap menjamin para calon pelajarnya masuk universitas-universitas favorit. Alumni-alumni mereka yang lulus akan dipajang namanya di brosur promosi-promosi mereka. Obsesi akan tes, dunia yang penuh tes, pada akhirnya dikapitalisasi.
Beberapa tahun kemudian setelah bergelut dengan skripsi dan dihajar di kampus selama kurang lebih 4-6 tahun. Memakai toga beberapa jam, foto-foto dengan orang tua, kekasih, dan sanak saudara beberapa menit, kembali ke rumah, kembali ke kamar, dan pada akhirnya, bila kita bukan anak atau keluarga dari pemilik saham, ceo, direktur, tokoh penting diperusahaan, akan ada tes lagi yang menanti bagi yang ingin masuk perusahaan raksasa. Samsung, Hyundai, Telkom, Pertamina, Sinarmas, serta perusahan raksasa melakukan tes lagi untuk seleksi. Untuk menjadi pegawai negeri, dibeberapa negara dan instansi, lebih kompetitif lagi, terutama di India.
Bagaimana kompetitifnya menjadi seleksi pegawai negeri di India atau mengikuti tes UPSC examination, dapat dilihat dalam film yang cukup inspiratif 12th fail.Â
Seseorang yang bernama Manoj Sharma untuk  dapat lulus sebagai calon perwira polisi (setara dengan AKPOL bila di Indonesia) harus pergi jauh-jauh dari desa tempat ia tinggal ke Delhi, dan harus menunggu sampai tahun ketiga baru dapat lulus dengan mangalahkan ratusan ribu saingannya.Â
Di dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana hectic-nya atau sibuknya kegiatan-kegiatan yang dilalui oleh pelajar yang akan melakukan tes setahun sekali tersebut.
TES dan Meritokrasi
ya, tes memang membuat jenuh. Kejenuhan itu kemudian "diakali" dengan kata-kata motivasi yang ditulis didinding ataupun di layar HP dan imajinasi lainnya. Kenikmatan belajar sastra korea ataupun geografi India untuk persyaratan tes tentunya berbeda dengan belajar demi pengetahuan dan keilmuan. Rasa kecewa akibat kegagalan tes pun pastinya tidak menyenangkan.Â
Beberapa mencari solusi alternatif untuk tes seperti jalur undangan ataupun jalur prestasi, tetapi arus utama tetap pada tes. Membuat bahagia ketika lulus? Ya. Membuat sedih dan putus asa karena gagal? Ya. Membuat stres karena hidup dipenuhi dengan tes, dan tes seakan-akan jembatan antar jurang untuk mencapai daratan selanjutnya? Bisa jadi. Tapi apakah ada solusi atau alternatif konkrit untuk kelas menengah, menangah kebawah, dan yang tidak memiliki priviledge? Mungkin hampir tidak ada (kecuali bagi minoritas yang mendapatkan hak affirmative action karena kondisi sosial tertentu).