Mohon tunggu...
Bryna
Bryna Mohon Tunggu... Tutor - Peminat sejarah dan budaya

Senang menulis tentang sejarah, seni, dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dunia yang Penuh dengan "Tes"

12 Maret 2024   18:43 Diperbarui: 14 Maret 2024   14:02 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa sedang menjalani tes. Sumber: Dokumentasi Humas UB via KOMPAS.com

"BISMILAH FTTM (Pertambangan) ITB 202x", "BISMILLAH KEDOKTERAN UI 202x", "SEMANGAT UGM 202x", dsb. Kiranya begitu lah kata-kata motivasi yang ditempel di meja belajar anak-anak SMA kelas 12. Atau bila ketika mereka kuliah kata-kata motivasi tersebut berubah menjadi nama-nama perusahan, BUMN, ataupun instansi pemerintah yang mereka cita-citakan untuk bekerja di dalamnya. Ada kesamaan untuk masuk UGM ataupun masuk Telkom (BUMN), yaitu keduanya harus melalui tes.

Tes ataupun dalam konteks ini "ujian masuk" merupakan hal yang sangat tidak asing bagi orang-orang yang menempuh pendidikan. Dari kelas 1 SD, untuk masuk ke kelas 2 harus lulus pada Ujian Kenaikan Kelas. 

Setelah lulus SD, mereka melakukan lagi tes ujian masuk SMP, setelah melalui serangkaian Ujian Kenaikan Kelas SMP dan akhirnya lulus SMP, mereka harus mengikuti tes ujian masuk SMA yang dipilih, begitu juga seterusnya sampai masuk pada tes perguruan tinggi. 

Pada perebutan kursi Perguruan Tinggi Negeri khususnya yang favorit, mulailah terjadi aksi "homo homini lupus" (manusia adalah serigala bagi sesama manusianya)  meskipun sebenarnya ini juga terjadi pada perebutan kursi SMP-SMA. Namun jenjang perkuliahan merupakan masa yang paling krusial untuk kehidupan ataupun karir ke depan. Untuk mendapatkan kursi di satu jurusan di UGM ataupun AKMIL, kita harus mengalahkan pesaing. 

Untuk bergembira di hari pengumuman hasil ujian masuk, mau tidak mau, harus bergembira ditengah puluhan atau ratusan orang-orang yang kecewa dan menangis. Untuk PTN pemerintah memberikan waktu maksimal belajar 3 tahun, artinya dapat 3 kali mengulang untuk mempersiapkan diri bersaing.

Calon peserta ujian pegawai negeri sipil tahun 2021 di Cina (sumber: globaltimes.cn)
Calon peserta ujian pegawai negeri sipil tahun 2021 di Cina (sumber: globaltimes.cn)

Persaingan perguruan tinggi terbaik di Korea Selatan (Suneung) ataupun di Cina (Gaokao) lebih intens lagi. Mereka belajar dari pagi sampai tengah malam (sekitar jam 1-2 malam). Di sana gap year atau setahun tidak melalukan apapun kecuali belajar untuk ujian masuk bukanlah hal aneh. 

Selama setahun itu mereka kerap mengorbakan kehidupan sosial  dan juga jam tidur mereka. Ada yang belajar mandiri, ada juga yang mengikuti kelas alumni atau bimbel (cram schools). 

Data bahkan menunjukkan bawa 60% mahasiswa baru Yonsei University dan Seoul National University (kampus terbaik di Korea) merupakan pelajar gap year, artinya bukan yang berhasil saat pertama kali mencoba. 

Orang tua dan teman yang memberi semangat bagi peserta tes (Sumber: Youtube Asian Boss)
Orang tua dan teman yang memberi semangat bagi peserta tes (Sumber: Youtube Asian Boss)

Sekiranya tidak ada yang lebih sakral lagi  daripada ujian masuk perguruan tinggi di Korea. Para pelajar yang akan mengikuti tes sebelum masuk gedung tes dilepas oleh iring-iringan teman-teman ataupun keluarga bagaikan para serdadu Rusia yang yang dilepas oleh Tsar dan diberikan mantra oleh pendeta Ortodox saat Perang Dunia Pertama. Ritual sakral yang berlangsung selama delapan jam tersebut bahkan membuat maskapai penerbangan tidak boleh beroperasi selama tes berlangsung.

Karena tes yang hanya satu hari itu sangat menentukan bagi masa depan mereka, muncul lah bisnis-bisnis kursus atau bimbel yang kerap menjamin para calon pelajarnya masuk universitas-universitas favorit. Alumni-alumni mereka yang lulus akan dipajang namanya di brosur promosi-promosi mereka. Obsesi akan tes, dunia yang penuh tes, pada akhirnya dikapitalisasi.

Beberapa tahun kemudian setelah bergelut dengan skripsi dan dihajar di kampus selama kurang lebih 4-6 tahun. Memakai toga beberapa jam, foto-foto dengan orang tua, kekasih, dan sanak saudara beberapa menit, kembali ke rumah, kembali ke kamar, dan pada akhirnya, bila kita bukan anak atau keluarga dari pemilik saham, ceo, direktur, tokoh penting diperusahaan, akan ada tes lagi yang menanti bagi yang ingin masuk perusahaan raksasa. Samsung, Hyundai, Telkom, Pertamina, Sinarmas, serta perusahan raksasa melakukan tes lagi untuk seleksi. Untuk menjadi pegawai negeri, dibeberapa negara dan instansi, lebih kompetitif lagi, terutama di India.

cover 12th Fail (sumber: imdb)
cover 12th Fail (sumber: imdb)

Bagaimana kompetitifnya menjadi seleksi pegawai negeri di India atau mengikuti tes UPSC examination, dapat dilihat dalam film yang cukup inspiratif 12th fail. 

Seseorang yang bernama Manoj Sharma untuk  dapat lulus sebagai calon perwira polisi (setara dengan AKPOL bila di Indonesia) harus pergi jauh-jauh dari desa tempat ia tinggal ke Delhi, dan harus menunggu sampai tahun ketiga baru dapat lulus dengan mangalahkan ratusan ribu saingannya. 

Di dalam film tersebut juga digambarkan bagaimana hectic-nya atau sibuknya kegiatan-kegiatan yang dilalui oleh pelajar yang akan melakukan tes setahun sekali tersebut.

TES dan Meritokrasi

ya, tes memang membuat jenuh. Kejenuhan itu kemudian "diakali" dengan kata-kata motivasi yang ditulis didinding ataupun di layar HP dan imajinasi lainnya. Kenikmatan belajar sastra korea ataupun geografi India untuk persyaratan tes tentunya berbeda dengan belajar demi pengetahuan dan keilmuan. Rasa kecewa akibat kegagalan tes pun pastinya tidak menyenangkan. 

Beberapa mencari solusi alternatif untuk tes seperti jalur undangan ataupun jalur prestasi, tetapi arus utama tetap pada tes. Membuat bahagia ketika lulus? Ya. Membuat sedih dan putus asa karena gagal? Ya. Membuat stres karena hidup dipenuhi dengan tes, dan tes seakan-akan jembatan antar jurang untuk mencapai daratan selanjutnya? Bisa jadi. Tapi apakah ada solusi atau alternatif konkrit untuk kelas menengah, menangah kebawah, dan yang tidak memiliki priviledge? Mungkin hampir tidak ada (kecuali bagi minoritas yang mendapatkan hak affirmative action karena kondisi sosial tertentu).

Salah satu bentuk motivasi khas pelajar SMA Indonesia (sumber: id.pinterest.com/saddam .)
Salah satu bentuk motivasi khas pelajar SMA Indonesia (sumber: id.pinterest.com/saddam .)

Malahan pada teorinya, tes yang dapat diakses dari orang yang paling kaya sampai orang yang paling miskin, merupakan alat mobilitas sosial. Bayangkan seoang anak buruh tani, kebetulan secara biologi, otaknya encer, kebetulan juga lingkungan sosial ataupun sekolah mendukung dan  bisa masuk  ITB lewat tes dengan bersaing dengan siswa-siswa yang mengikuti kursus. Kemudian, sehabis lulus, dapat bekerja di perusahan rakasa, lewat tes tadi juga. Pada akhirnya dapat membantu ekonomi keluarganya di desa.

Dalam sejarah, negara yang paling awal menerapkan tes terbuka pegawai negeri adalah di kerajaan Cina dengan semangat konfusianisme. Ujian Kekaisaran dimulai pada masa Dinasti Han  (206SM - 220M). Ujian-ujian tersebut merupakan sarana bagi laki-laki muda dari kelas mana pun untuk memasuki birokrasi  dan menjadi bagian dari kelas pejabat-cendekiawan yang terhormat.

Namun pada praktiknya tentu saja kehidupan sosial tidak seromantis itu. Kenyataannya justru orang-orang yang masuk kampus atau jurusan favorite (kedokteran) dibekali juga dengan modal ekonomi yang kuat. Mereka bisa membayar kursus intensif yang berjuta-juta dengan konseling guru privat. Mereka memiliki kesempatan untuk fokus belajar tanpa harus membantu orang tuanya berdagang. Tidak masuk kedokteran UI atau Unpad pun dia bisa masuk kedokteran swasta yang kualitasnya bagus. 

Kembali sejarah Cina tadi, ujian masuk pegawai kekaisaran tersebut pun  memiliki berbagai tingkatan dan sangat sulit untuk dilewati, memerlukan pengetahuan luas tentang klasik Konfusianisme, hukum, pemerintahan, dan pidato di antara mata pelajaran lainnya. Tentunya sulit bagi pemuda dari keluarga petani di Kekaisaran Cina kuno untuk lulus dalam ujian tersebut meskipun secara teori dapat mengikutinya. Namun, bagimanapun, secara optimis, mobilitas sosial yang disediakan aksesnya oleh "tes" masih kemungkinan dapat terjadi. 

-Sekalian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun