Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Membungkus Cerita di Teluk Jakarta

27 Oktober 2015   20:47 Diperbarui: 27 Oktober 2015   21:27 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Citra, kamu cuma bawa tas itu aja?", Mbak Puspa, salah satu peserta Blogtrip Kompasiana dan Kementerian Pariwisata ke Pulau Bidadari bertanya. Bawaan saya untuk blogtrip dua hari satu malam itu memang cuma satu tas merah muda bercorak kartun yang mirip tas anak TK.

Saya tersenyum dan mengangguk. Terbiasa bepergian, saya memang tak mau repot dengan bawaan. Travel light, bahasa internasionalnya. Selain karena ringkas dan tak merepotkan, travel light membuat saya bisa fokus dengan tujuan saya bepergian dan apa yang hendak saya bawa pulang.

Bukan buah tangan, bukan swafoto segudang; melainkan sebanyak-banyaknya cerita dan momen berkesan.

Tak Ada yang Kebetulan

Menurut ilmu matematika, yang namanya kebetulan itu sebenarnya sebuah hasil dari berbagai peristiwa yang bisa diperkirakan terjadinya. Entahlah, saya orang teknik kimia, bukan matematika. Yang pasti, saya merasa alam semesta sedang asyik bermain satu tema dengan saya: bahari. 

Sabtu, 10 Oktober 2015. Saya termangu di bandara Soekarno-Hatta, menanti penerbangan saya ke Kupang. Delapan hari ke depan, saya disuguhkan dengan pesona Nusa Lontar. Jika sebelumnya saya hanya mengenal Rote sebagai salah satu kepulauan terdepan di Indonesia, hari itu, hari-hari selanjutnya, saya disuguhkan pesonanya. Salah satu pesona Indonesia yang hampir selalu disebut-sebut adalah kekayaan baharinya. Dan Rote salah satu buktinya.

Mengejar senja dan menyelam sejuta pesona di Nusa Tenggara itulah yang kemudian membawa saya menjadi satu dari 20 peserta Blogtrip Kompasiana dan Kementerian Pariwisata ke Pulau Bidadari. Lihat, bagaimana cerita dan momen yang saya bawa sebagai oleh-oleh dari Nusa Tenggara ternyata membawa saya pada sederetan momen dan cerita lain di Teluk Jakarta. 

Maka izinkan saya untuk berbagi bungkusan cerita dari Pulau Kelor, Pulau Onrust, dan Pulau Bidadari. Pulau dan pantai yang tak hanya menjanjikan senja dan lembayung dini hari.

Pulau Bidadari: Rumah Nan Asri, Lampau Bertemu Kini  

Pulau Bidadari. Namanya yang cantik seakan hendak menutup sejarahnya yang panjang. Justru tak ironis, bagi saya sebutan bidadari mengisyaratkan pesona yang mengundang. Apa yang menarik dari pulau yang hanya berjarak setengah jam dari Jakarta ini?

Jakarta pulau, begitu orang menyebut. Iya, Pulau Bidadari dan sekitarnya masih merupakan wilayah Jakarta, maka satu sebutan Jakarta darat dimaksud untuk menyebut ibukota di pulau Jawa, sedangkan Jakarta pulau adalah gugusan di Kepulauan Seribu. Pesona pertamanya ada di nama yang sama dengan ibukota yang identik dengan padat kendaraan dan hari-hari tak bersahabat. Pulau Bidadari ramah menyapa. Jakarta pulau menawarkan sisi lain ibukota.

Di pulau ini, saya berkenalan dengan martello (disclaimer: bukan nama mas-mas bule). Di Pulau Bidadari terdapat reruntuhan menara yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda. Menara melingkar dengan ukuran yang tak terlalu besar ini disebut Menara Martello. Usut punya usut, martello adalah sebutan untuk benteng berukuran kecil yang menurut sejarah mulai dibangun oleh Kerajaan Inggris di semua daerah kekuasaannya, dan kebanyakan merupakan coastal forts, benteng yang terletak di pantai untuk fungsi pengawasan dan perlindungan. Inspirasi Inggris membangun martello ini adalah sebuah benteng di Corsica: Terra di Mortella.

Di masa penjajahan Belanda, gugusan pulau di Teluk Jakarta menjadi satu titik penting, baik untuk perdagangan maupun untuk pertahanan. Dengan Pulau Onrust sebagai titik beratnya, Pulau Bidadari, Pulau Cipir, dan Pulau Kelor menjadi pulau penunjang. Karena alasan inilah, terdapat martello di Pulau Bidadari dan Pulau Kelor, untuk melindungi Pulau Onrust. Desain bangunan yang melingkar memungkinkan meriam yang ditempatkan di bagian atas diputar 360 derajat, sementara ukurannya yang tak terlalu besar membuat martello dapat beroperasi dengan jumlah tentara yang tak terlalu banyak. Martello yang berada di Pulau Bidadari sebenarnya belum berfungsi, masih dalam masa pembangunan ketika Krakatau meletus. Tak jadi difungsikan, penduduk waktu itu mengambil bata merah bangunannya sebagai bahan material, hingga tersisa reruntuhannya yang tak lengkap. 

Tak ingin peninggalan bersejarah ini terkikis waktu, Dinas Purbakala DKI Jakarta menjadikannya cagar budaya. Di pulau ini, lampau bertemu kini. Sementara banyak bungalow yang dibangun di bagian pulau yang menghadap ke Jakarta,  di muka yang menghadap laut lepas, martello masih gagah berdiri. Meski tak lagi utuh, sisa ketegarannya masih gagah menyapa.

Maka saya berbisik pelan ke dinding merah bata, "Maukah kamu berbagi rahasia? Rahasiamu mengecoh masa?"

Di pergantian hari, memandang langit senja dan lembayung dini hari di pulau ini sungguh meleburkan kisahnya yang dulu tak cerah. Pernah disebut Pulau Sakit, di tahun 1600an, pemerintah Belanda membangun rumah sakit lepra di sini. Pak Candrian, pemandu wisata yang setia mengantar kami, mewanti-wanti kami untuk tak menyentuh tulang belulang yang kami temui. "Lepra baru muncul 20 tahun setelah pertama terjangkit, jadi kalau saya yang sudah uzur, barangkali tak masalah; Anda-anda yang masih muda jagalah diri baik-baik," ujarnya serius dengan selipan canda.

Kini, Pulau Bidadari adalah rumah bagi berbagai jenis pohon yang keberadaannya makin langka: pohon sentigi, pohon kepuh, hingga pohon kayu hitam. Pulau yang bisa dikelilingi dalam waktu singkat ini juga rumah untuk biawak, elang bondol, dan rusa totol India. Benar, kami dan para pengunjung lain adalah tamu, sementara merekalah sang empunya rumah. Biawak berkeliaran bebas di sela-sela akar bakau, elang terbang mengawasi sarangnya di ketinggian, dan rusa yang muncul malu-malu ketika matahari belum juga bangun.

Pulau Onrust: Sejarah yang Tergerus

Di hari yang sama, saya menginjakkan kaki di Pulau Onrust. On terus, kata Yosh, pemandu kami dengan gaya bicaranya yang cadel. Onrust dalam bahasa Belanda memang berarti tak pernah beristirahat, kata yang ekuivalen dengan unrest dalam bahasa Inggris. 

Senada dengan namanya yang bermakna tak berjeda, Onrust juga menjadi suaka sejarah yang sarat cerita.

Onrust adalah pulau yang memegang peranan penting di masa pemerintahan kolonial Belanda. Posisinya yang strategis di Teluk Jakarta membuat kapal-kapal yang hendak mencapai Jayakarta (yang kemudian disebut Batavia) dan tujuan lainnya di seitaran Asia, termasuk Australia, harus melewatinya. Pemerintah kolonial kemudian membangun galangan kapal di pulau ini, bagi mereka yang memerlukan perbaikan. Pulau Onrust pernah disebut sebagai Pulau Kapal karena adanya aktivitas ini.

Reruntuhan berbagai bangunan ada di Onrust. Di dalam tanahnya yang keras, terpendam sisa benteng pertahanan yang dibangun untuk melindungi pulau ini, sebuah benteng berbentuk segi lima yang kini hanya terlihat satu sudutnya. Penggalian yang pernah dilakukan tim arkeologi Dinas Purbakala DKI Jakarta juga menemukan fondasi kincir angin yang tercatat digunakan untuk penggergajian kayu.

Berkaitan dengan fungsinya sebagai hub untuk kapal-kapal asing, James Cook, kapten penemu benua Australia kabarnya pernah singgah di Onrust.

Ditinggali oleh banyak orang Belanda di masa itu, ada fenomena menarik tentang usia di Onrust. Di salah satu kompleks makam di sana, Pak Candrian menunjuk satu nisan yang menunjukkan usia orang yang dikuburkan di sana. "Orang ini menurut catatan adalah orang tertua yang meninggal di sini, usianya baru 43 tahun," tuturnya. Orang Belanda yang tinggal di Onrust kebanyakan tidak berumur panjang, padahal penduduk pribumi baik-baik saja. Menurut Pak Candrian, hal ini kemungkinan disebabkan karena clay dan uapnya (fumes) yang bereaksi berbahaya pada fisiologi orang Belanda. Belum ada penelitian dan bukti solid bahwa memang clay yang menjadi penyebab usia pendek ini, namun dari pengetahuan kimia yang saya miliki (uhuk!), hipotesis ini bisa jadi benar. Ketika clay dibakar pada suhu yang berlebihan, clay akan mengeluarkan gas hydrochloric yang jika dihirup menyebabkan mata merah dan terganggunya saluran pernapasan. Mengapa efeknya hanya terjadi pada orang Belanda, saya pun angkat tangan.

Jika reruntuhan benteng dan kincir angin yang dibangun jauh di tahun 1600an banyak terkubur, sisa bangunan yang masih terlihat menyajikan cerita lain tentang Onrust. Di awal abad ke-20, Onrust digunakan sebagai sanatorium TBC karena letaknya yang terpisah dari Jakarta darat. Selang beberapa tahun kemudian, Onrust dimanfaatkan sebagai tempat karantina haji hingga tahun 1933. Puing-puing rumah sakit dan barak karantina haji itulah yang masih bisa dilihat di Onrust.

Dengan moda transportasi yang terbatas, jamaah haji waktu itu harus menempuh perjalanan selama berbulan-bulan dengan menggunakan kapal. Perjalanan ke negara asing sekaligus inggal selama sekian lama dalam satu ruang yang terbatas dapat membuat penyakit menyebar dengan luas dan cepat. Untuk menghindari wabah, pemerintah Belanda waktu itu memutuskan jamaah haji yang baru kembali dari Tanah Suci untuk menjalani proses karantina di Onrus sebelum kembali ke daerahnya masing-masing. Di Onrust, mereka diperiksa dengan seksama oleh dokter-dokter Belanda dan baru diizinkan keluar jika dinyatakan sehat.

Konstruksi bangunannya pun menarik. Dengan banyaknya tikus yang membawa wabah leptospirosis, rumah sakit dan barak haji ini dibangun dengan desain dinding tahan tikus. Temboknya dalam hingga satu meter ke bawah, memiliki rongga untuk menanamkan pelat baja yang berfungsi mencegah tikus masuk ke dalam ruangan. Tempat tidur bagi para jamaah haji adalah kayu yang berdiri di atas tiang-tiang pendek, lagi, untuk menghindari kontak dengan tikus.

Saya berdiri di salah satu sisa temboknya, merenung.

Onrust yang tak pernah beristirahat ini juga menurut cerita merupakan pulau di mana pimpinan DI/TII Kartosoewirjo dieksekusi dan kemudian dimakamkan.

Sejauh mata memandang, Onrust begitu padat sejarah. Tak heran, pulau ini akan diajukan ke UNESCO sebagai World Heritage Site. "Bukan mendukung kolonialisme Belanda di masa lalu, melainkan sebagai pembelajaran bersama," Pak Candrian bercerita tentang keinginannya untuk melestarikan sejarah Onrust.

Saya tercenung. Tanpa campur tangan kita menjaganya, Onrust dan semua ceritanya memang akan tergerus.

Pulau Kelor: Pulau Selebar Daun Kelor

Pulau Kelor memang selebar daun kelor, alias tak luas. Pulau yang letaknya juga tak jauh dari Onrust dan Bidadari ini memiliki fungsi penunjang untuk Onrust. Martello merah bata dengan formasi yang lumayan utuh langsung terlihat, bahkan sebelum kami merapat di dermaga. Untuk melindungi Onrust, martello juga dibangun di pulau ini. Dibanding dengan martello di Pulau Bidadari, martello di Pulau Kelor masih menyisakan bentuk bangunan yang lengkap: "jendela-jendela" besar dan kecilnya yang rapi, juga ketebalan dindingnya yang menyadarkan saya bahwa yang namanya benteng memang tak boleh sembarang dibangun. Si gagah martello ini mendominasi pulau. Seakan-akan Pulau Kelor isinya hanya Mas Martello ini (memang iya).

Yosh sempat menyebut bahwa Pulau Kelor juga disebut sebagai Pulau Kherkhof. Kherkof adalah satu dia antara beberapa bahasa Belanda yang saya tahu (nasib bersekolah di sekolah yang sudah ada sejak zaman Belanda). Saya bertanya, "Pulau makam? Kenapa?"

Ah, pulau ini ternyata juga menjadi makam untuk awak kapal Indonesia yang memberontak di masa pemerintahan kolonial Belanda, Kapal Tujuh. Mereka gugur di tangan Belanda dan kemudian dimakamkan di pulau ini dan Onrust. Saya sedikit merinding mengingat itu artinya di pulau kecil ini isinya hanya martello dan makam. Pantas disebut Pulau Kherkhof.

Sang Penjaga

Di semua perjalanan menjelajah pulau-pulau itu, ada satu sosok yang tak alpa hadir.

Namanya Candrian Attahiyat. Figurnya yg kebapakan menyiratkan pengalaman. Bagian dari Tim Ahli Cagar Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta ini memang punya sejuta kisah. Pertama bertemu, dalam sekali bercerita, saya bisa menangkap cintanya yg dalam pada sejarah. Juga mimpinya yang besar pada pulau-pulau cagar budaya di Jakarta. Keinginannya kuat: menjaga warisan masa lalu yg sarat pelajaran.

"Jalan sama Pak Candrian seperti kuliah sejarah," saya berujar di malam kami berkumpul untuk berbagi kesan. Bagaimana tidak, dengan pengalamannya sebagai arkeolog selama hampir 30 tahun, Pak Candrian begitu fasih menyebut sejarah martello, menunjuk dengan tepat di mana sisa benteng Belanda berada, hingga berbagi cerita noni Belanda yang selingkuh dan mati muda. Darinya cerita ratusan tahun lalu dibagikan. Dikisahkan dengan penuh semangat, penuh pesan.

"Dosen" sejarah ini tak lupa berpesan: menjaga warisan sejarah adalah sebuah ikhtiar dan kita bisa iuran. Pak Candrian dengan keahliannya, kita dengan cerita-cerita yang hendaknya terus dibagikan dan ditularkan.


Rasanya tak salah saya menyebut Pak Candrian Sang Penjaga.

 

Di ujung perjalanan, saya duduk di dermaga. Memandang laut lepas dan memandang ke belakang, ke hari yang membawa saya ke masa lalu. Di Jakarta pulau, saya terpukau. Tentang pantainya yang nyaman, ekosistemnya yang harmonis, hingga balutan sejarah yang tak bisa tidak, adalah bagian dari kita.

Saya membungkus cerita di Teluk Jakarta.

 

XOXO,

-Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun