Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruang Publik: Kota untuk Manusia

29 September 2015   14:06 Diperbarui: 29 September 2015   14:12 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang menyenangkan dari tinggal di Jakarta?

Berkali-kali saya bertanya pada diri sendiri. Saya lelah jika merenungkan tentang betapa kota ini tidak livable, lelah jika harus mendata masalah yang ada.

Satu hal yang menyenangkan dari tinggal di Jakarta bagi saya adalah ruang untuk melemaskan kaki. Di dekat tempat saya bekerja, jalanan yang ada rimbun dengan pepohonan besar, segar di pagi hari, teduh di siang hari. Di dekatnya lagi ada sebuah taman kecil. Pada waktu-waktu tertentu saya melihat penghuni rumah di sekitarnya berolahraga (saya berjalan kaki, jogging sesekali), juga hewan-hewan peliharaan yang diajak berjalan-jalan. Beberapa orang bercengkerama, beberapa anjing berlarian gembira. Saya menikmati mengamatinya.

Yang pasti, saya melihat lebih banyak orang dibanding kendaraan bermotor. Mereka yang menikmati ruang terbuka bersama dan bukan asap pekat knalpot Kopaja.    

Di titik ini, saya mengamini pendapat Cynthia Nikitin, wakil presiden sebuah LSM yang fokus pada pengembangan ruang publik. Menurutnya, “cities are for people, not for cars,”. Kota adalah ruang untuk manusia, bukan untuk mobil. Namun karena cepatnya perkembangan industri dan teknologi, manusia mulai dikalahkan, sisi jalan dihilangkan untuk pelebaran, taman-taman tergusur karena pembangunan, lahan sempit diperebutkan untuk menjadi tempat parkir mobil.

UN-Habitat rupanya juga resah, dan karenanya, Hari Habitat Dunia tahun ini difokuskan pada ruang publik.

Okay. Mari bermimpi dan berdiskusi tentang kota untuk manusia.

#1 Ruang publik tak melulu taman dan city square

Saya menanyakan ini kepada 5 orang, “Menurut kamu, ruang publik itu apa?”

Tiga orang menjawab taman kota, dua lainnya area lapang di tengah kota untuk beraktivitas, semacam city square.

Kedua jawaban itu benar, tentu. Taman dan city square  adalah dua bentuk ruang publik yang paling terkenal, dan karenanya, yang paling sering mendapat fokus untuk dikembangkan. Karena bentuk yang familiar ini hanya dua, seringkali tantangan yang ada mentok untuk bisa diselesaikan, misalnya terkait area. Dinas Pertamanan DKI Jakarta mencatat area ruang terbuka hijau (RTH) di tahun 2012 hanya seluas 2.700 hektar, atau sekitar 10% dari total area ibukota. Padahal idealnya, RTH di sebuah kota berada di kisaran 30%. Ada banyak tantangan yang terkait penambahan RTH di Jakarta, misalnya sengketa lahan dan nilai jual lahan yang tinggi karena sudah dimiliki oleh pengembang. Menjaganya pun menjadi tantangan tersendiri, menurut pakar tata kota Nirwono Yoga, melihat banyaknya taman yang beralih fungsi menjadi lokasi pedagang kaki lima. Ya,  membangun taman atau city square baru memang menjadi tantangan yang sulit disesuaikan hingga saat ini.

Lalu apakah kita jadi hilang harapan?

Sembari mendorong pemerintah mengelola tantangan yang ada, mari berpikir lebih luas. Adakah bentuk ruang publik yang lain?

Ketika kembali pada prinsip cities are for people, kita dengan mudah akan menemukan bentuk-bentuk ini: trotoar, perumahan, pasar, kampus, hingga bangunan publik seperti kantor pemerintah. Itulah titik-titik di mana kita, people, berkumpul dan melakukan aktivitas yang dinamis. Dan ketika sampai pada pemahaman ini, banyak sekali ruang yang tersedia untuk kita. Ahok, Gubernur Jakarta saat ini, melihat potensi tinggi trotoar untuk menjadi ruang publik dan ruang interaksi warga kota. Ahok sudah merencanakan untuk membongkar batas jalur lambat dan jalur cepat serta menjadika jalur lambat di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin, dua jalan protokol di Jakarta, tempat untuk warga menikmati hari mereka.

Ah, ketika satu pintu tertutup, ada pintu lain yang terbuka, begitu kata pepatah. Maka dari itu, mari kita menengok sejenak pada ruang publik yang lain, misalnya……   

#2 Area di institusi dan properti pemerintah

Ketika berkunjung ke Musi Banyuasin awal tahun ini, saya diajak mengunjungi sebuah ruang terbuka di belakang rumah dinas wakil bupati. Masuk agak jauh dari jalan utama, ruang terbuka ini dulunya tanah tak termanfaatkan dan hanya dipandang sebagai tepian sungai, karena memang letaknya yang menghadap ke anak Sunga Musi. Ketika saya tiba di sana, pembangunan sebuah waterfront sedang berlangsung. Tata ruangnya dibenahi dengan penambahan pohon, bunga, tanaman, dan paving block. Tak ketinggalan anak-anak tangga di tepian sungai yang didesain untuk dimanfaatkan sebagai tempat santai di pagi dan sore hari.

Tanahnya tak luas, namun saya bisa melihat potensinya sebagai ruang terbuka untuk semua. Saya bisa membayangkan ibu dan anak-anak yang berlarian membawa mainan masing-masing. Saya bisa membayangkan sekelompok anak muda mendiskusikan musik terkini. Saya bisa membayangkan sepasang kakek dan nenek duduk bercengkerama menunggu senja.

 Jika taman kota dan city square dibayangkan harus didesain secara serius mempertimbangkan banyak aspek termasuk lahan yang cukup luas dan letak yang strategis, pemanfaatan ruang  dan area di institusi milik pemerintah bisa jadi lebih sederhananya implementasinya. Museum Nasional, contohnya di Jakarta. Lepas dari fungsinya sebagai ruang publik dalam bentuk museum, halaman depannya jelas bisa menjadi ruang publik dalam bentuk yang lain. Tak hanya tempat kumpul komunitas, halaman ini bisa digunakan sebagai sarana mendukung ekonomi lokal dengan menjadikannya farmers’ market atau pasar kerajinan. Mendukung program peningkatan kesehatan? Ruang terbuka ini tentu bisa dijadikan tempat donor darah, sosialisasi program kesehatan, hingga survei masyarakat terkait kesehatan.

Ruang-ruang terbuka di kantor milik pemerintah pun bisa dimanfaatkan, apalagi di kota dengan fasilitas ruang terbuka yang terbatas. Jika kita menghitung jumlah kantor mulai dari desa hingga level kementerian, Jakarta jelas punya banyak tabungan ruang terbuka yang bisa dioptimalkan penggunaannya. Saya membayangkan suasana city square Kota yang dipindah ke Monas atau Balaikota Jakarta.

Tak harus berbasis event, karena justru ruang publik adalah ruang interaksi. Ruang publik yang sebenarnya justru tidak “diprogram” untuk menarik orang datang ke sana. Ruang publik yang sebenarnya terbangun dari komunitas, orang, kehidupan yang dinamis bergerak di sana.   

Bicara soal pergerakan yang dinamis, yang satu ini juga ruang publik yang potensial.

#3 Stasiun bukan hanya stasiun

Saya bahagia dan tercengang melihat transformasi Stasiun Palmerah. Dulu sempit dan gelap, kini Stasiun Palmerah memiliki platform bertingkat dengan ruang luas dan atap melengkung yang membuatnya terasa bukan di Indonesia.

Pertama melihatnya, saya berimajinasi tentang dinding tinggi berhias mural. Saya berimajinasi tentang sekelompok anak muda berlatih menari di depan cermin seluas dinding yang berlawanan. Saya berimajinasi tentang keluarga kecil yang duduk di sudut dan menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Dan saya berimajinasi tentang pakdhe menari dalam langgam Jawa yang sering saya jumpai di Senayan, menari di sana di tengah tepuk riang anak-anak.

Ramai yang mengingatkan saya pada Stasiun Kota. Aktivitas yang mengingatkan saya pada sekian banyak stasiun di Taipei.

Perhentian transportasi publik, baik itu kereta api, kereta listrik, maupun bus, adalah tempat strategis di mana terdapat sejumlah orang dengan volume tinggi. Tak hanya sebagai node perpindahan, stasiun dengan segala keterbatasannya juga banyak dijadikan titik temu, bahkan oleh mereka yang tidak menggunakan sarana transportasinya. Dengan sekian banyak orang yang mengelilinginya, stasiun memiliki potensi besar untuk menjadi ruang publik yang bermanfaat. Galeri lukisan, kafe dengan kopi segar yang dipanggang hari itu, panggung untuk para seniman jalanan yang bakatnya membuat saya sering ini, hingga anak-anak yang yang riang bermain dengan busa balon dan mobil-mobilan.

Bebicara letak dan potensi, makin banyak yang bisa kita gali. Stasiun Kota dengan bangunan-bangunan bersejarahnya, Cikini dengan Taman Ismail Marzuki dan deretan kafe bernuansa tempo dulu, hingga Palmerah yang jika dimanfaatkan ruangnya, bagaikan oase di tengah himpitan jalan dan gedung bertingkat.

Kembali ke soal anak-anak, ada satu temuan menarik…..

#4 “Ikuti para wanita dan anak-anak”

Ada satu riset terkait ruang publik dari Project for Public Spaces yang salah satu temuannya adalah adanya hubungan yang erat antara ruang publik yang nyaman dan sehat dengan wanita dan anak-anak. Menurut temuan ini, dengan mengikuti para wanita dan anak-anak, ada kemungkinan tinggi bahwa tempat yang sering mereka kunjungi (ruang publik ya, terutama) adalah ruang publik dengan kualitas yang nyaman untuk semua orang.

(mungkin kalau di Jakarta akan dibilang, “Kalau wanita dan anak-anak perginya ke mall, gimana?”)

Anyway, wanita dan anak-anak memang memiliki tingkat rasa sensitif yang cukup tinggi. Secara fisik dan psikologis mereka memiliki “kemampuan” untuk tahu apakah mereka bisa “klik” dan nyaman dengan lingkungannya. Para ibu jelas menginginkan ruang yang sehat untuk anak-anaknya, apakah itu taman, city square, atau sesederhana trotoar. Definisi sehat dan nyaman itu bisa bervariasi: banyak pepohonan, bersih, hingga memiliki gazebo untuk beristirahat, misal. Anak-anak pun memperlihatkan reaksi yang sama terhadap tempat yang mereka anggap menarik dan menyenangkan.

Seringkali ideal, standar, atau sesederhana “maunya ruang publik yang seperti apa?” itu tak terbersit atau menjadi perdebatan. Padahal bisa jadi itu diawali dengan sesuatu yang sederhana: mengikuti para wanita dan anak-anak.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     

Nah, ketika membicarakan mimpi, ternyata tak harus jauh ya? Menggali potensi di tengah tantangan juga tak melulu sulit ya? Perubahan yang terjadi dan ide yang terus mengalir adalah pertanda baik. 

Ya, kita sedang membenahi kota. Kota untuk manusia.

Tak heran 

XOXO,

-Citra

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun