Gorengan disajikan pertama, dengan teman teh panas atau es teh. Tempe, gethuk, tape. Semuanya panas, biasanya baru digoreng saat pengunjung datang. Gorengan ini dihargai per piring, satu piring Rp 2.000 saja, berisi 6 buah. Nasi dan lauknya kemudian diantar, semuanya juga masih hangat. Nasinya biasa disajikan campur, karena tidak banyak orang yang doyan makan nasi tiwul saja (dan karena kebanyakan makan nasi tiwul saja bisa membuat sakit perut, kata ibu). Makannya makan bersama, bukan porsian. Mangan kembul, begitu kalau orang Jawa menyebut. Tentu saja makannya dengan menggunakan tangan. Meski sederhana, semuanya tandas.
Selesai makan, saya terdiam. Suasana makan seperti ini sudah langka. Makan masakan tradisional, dimasak secara tradisional, disajikan juga sarat tradisi. Warung ini hanya buka malam Pon dan Kliwon, sering sampai dini hari, dan pengunjungnya banyak, tidak sedikit yang dari luar area sekitar, seperti saya dan keluarga. Makan di sana seperti makan di rumah simbah (nenek/kakek), suasananya hangat.
Membuat saya sejenak melupakan bahwa dunia sudah sedemikian modernnya.
Di Warung Mbah Sembleng, waktu seakan berhenti, dan tradisi Jawa dipelihara agar lestari.
XOXO,
-Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H