Tempat makan itu terletak jauh di pelosok. Dua jam dari Wonogiri kota, tiga jam dari Solo. Dari jalanan aspal berlubang tidak rata, hanya ada satu plang kecil bertuliskan samar: Warung Mbah Sembleng.
Pun untuk menuju warung itu mobil yang kami tumpangi masih harus berjalan sepanjang 500 meter melalui jalan berkerikil.
"Ayo mangan neng nggone Mbah Sembleng (ayo makan di tempat Mbah Sembleng)", begitu kata ayah. Tempat di antah berantah yang tidak saya kenal sama sekali. Ayah juga mengenal tempat itu karena lokasinya yang dekat dengan Gua Maria Sendang Ratu Kenya di Giriwoyo, Wonogiri. Setiap kesana, ayah menyempatkan diri mampir.
Ketika sampai, tidak terlihat suasana warung. Rumah, lebih tepatnya. Warung Mbah Sembleng yang tersohor ini memang terletak di antara perumahan. Halamannya yang tidak luas biasanya dipenuhi dengan mobil dan sepeda motor. Di depan rumah, agak kesamping, ada pendopo terbuka yang diisi dengan meja dan kursi seadanya. Meja kayu tua, dengan kursi kayu yang tidak kalah tuanya, juga beberapa kursi plastik biasa.
Di sebelahnya, ada dapur. Pawon, begitu kalau orang Jawa menyebut. Di dapur yang cukup besar ini ada dua grup meja dan kursi lain yang bisa digunakan. Kalau sedang penuh semua, pengunjung bisa menggelar tikar di emper. Di dapur itu juga semua masakan disiapkan, di depan mata. Hangat dari penggorengan, panas dari periuk. Semuanya dimasak dengan tungku berkayu bakar.
Saya mulai mengerti mengapa warung mblusuk ini menjadi tempat tujuan banyak orang untuk makan.
"Mangane yo neng pawon (makannya ya di dapur)", ibu berujar. Warung Mbah Sembleng ini menawarkan masakan rumahan yang benar-benar rumahan secara literal, harfiah. Sementara ini banyak restoran yang menawarkan homemade sambal atau sayur rumahan dengan konsep modern, Warung Mbah Sembleng hanya menawarkan seadanya, sederhana. Menawarkan masakan tradisional yang tidak ada mewah-mewahnya, disajikan dalam piring biasa.
Kesederhanaan yang menawan, sekaligus menusuk. Bertahan di tengah arus gerusan jaman.
Masakan yang disediakan di sana juga masakan rumahan: nasi tiwul khas Wonogiri, nasi putih, jangan lombok (sayur bersantang pedas yang isinya paling terong dan tahu), ikan asin goreng, lalapan, trancam (sayur mentah dipotong kecil-kecil lalu dicampur dengan kelapa parut pedas), dan beberapa macam gorengan. Ayah menyebutnya panganan wong susah (makanan orang susah), karena jaman dulu ketika beras mahal, nasi tiwul yang berasal dari gaplek (singkong yang dikeringkan) adalah menu utama sebagai pengganjal perut. Lauknya ya seadanya, termasuk ikan asin tadi, yang termasuk golongan ikan paling murah di pasar. Gereh besek, begitu kami menyebutnya, karena dikemas dalam besek, kotak-kotak bambu.
Gorengan disajikan pertama, dengan teman teh panas atau es teh. Tempe, gethuk, tape. Semuanya panas, biasanya baru digoreng saat pengunjung datang. Gorengan ini dihargai per piring, satu piring Rp 2.000 saja, berisi 6 buah. Nasi dan lauknya kemudian diantar, semuanya juga masih hangat. Nasinya biasa disajikan campur, karena tidak banyak orang yang doyan makan nasi tiwul saja (dan karena kebanyakan makan nasi tiwul saja bisa membuat sakit perut, kata ibu). Makannya makan bersama, bukan porsian. Mangan kembul, begitu kalau orang Jawa menyebut. Tentu saja makannya dengan menggunakan tangan. Meski sederhana, semuanya tandas.
Selesai makan, saya terdiam. Suasana makan seperti ini sudah langka. Makan masakan tradisional, dimasak secara tradisional, disajikan juga sarat tradisi. Warung ini hanya buka malam Pon dan Kliwon, sering sampai dini hari, dan pengunjungnya banyak, tidak sedikit yang dari luar area sekitar, seperti saya dan keluarga. Makan di sana seperti makan di rumah simbah (nenek/kakek), suasananya hangat.
Membuat saya sejenak melupakan bahwa dunia sudah sedemikian modernnya.
Di Warung Mbah Sembleng, waktu seakan berhenti, dan tradisi Jawa dipelihara agar lestari.
XOXO,
-Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H