HARGA KARET YANG FLUKTUATIF, KESEJAHTERAAN PETANI KARET DI
SIJUNJUNG TERANCAM?
Karet merupakan salah satu komoditas yang termasuk paling populer di Indonesia. Karet telah dikenal dari lama dan
dibudidayakan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama daripada pertanian
lainnya.
Menurut data Rubber Study Group International (IRSG), total konsumsi karet dunia
diperkirakan meningkat sebanyak 0,7% pada 2014, naik signifikan dibawah 3,1% pada
tahun 2015. Total konsumsi karet dunia meningkat menjadi 3,6% pada tahun 2016.
Meningkatnya konsumsi karet dunia dikarenakan kebutuhan industri-industri pabrik yang karet menjadi bahan bakunya. Permintaan yang tinggi ini merupakan peluang bagus bagi negara Indonesia yang
notabene negara penghasil karet utama dunia.
Di Indonesia, di Sumatera Barat tepatnya di Kabupaten Sijunjung, pada bidang
perkebunan dan pertanian, tanaman karet menjadi salah satu komoditi unggulan. Sebagian
besar mata pencaharian masyarakat Sijunjung adalah bertani karet. Hal ini disebabkan karena
permintaan pasar karet yang selalu ada. Selain itu, tanaman karet bisa berproduksi bertahun
tahun karena karet adalah tanaman yang memiliki umur panjang .
Kabupaten Sijunjung merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Barat yang
menjadi daerah penghasil komoditas karet dengan perkebunan karet terluas bersama
Kabupaten Dharmasraya dengan luas mencapai 269.687.255 m2 pada tahun 2013. Biasanya,
perkebunan yang diwariskan dalam masyarakat serta keadaan alamnya
menjadi faktor pendukung bagi masyarakat Sijunjung untuk menjadikan karet sebagai
pendapatan utama keluarga.
Sebenarnya, menjadi petani karet bukanlah hal yang bisa dibilang mudah. Banyak hal
yang menyulitkan petani, seperti cuaca yang tidak menentu dan harga yang fluktuatif. Jika
musim hujan, petani karet tidak akan bisa melakukan penyadapan dan jika musim kemarau,
pohon karetnya yang tidak akan berproduksi maksimal. Sekarang ini, yang menjadi kesulitan
para petani karet adalah musim hujan dan harga karet yang rendah.
Berdasarkan survei, harga karet di Sijunjung sekarang ini mengalami penurunan.
Harga karet tahun ini merupakan harga terendah yang pernah ada dan berlangsung sangat
lama yaitu hanya Rp.5.000-Rp.6.000 per kg dan penurunan harga karet ini sudah terjadi dari
tahun 2015 sampai sekarang. Kondisi ini membuat para petani karet di Sijunjung kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Harga karet yang murah sedangkan harga
bahan-bahan pokok rumah tangga naik drastis sehingga mengancam kesejahteraan mereka.
Secara umum, kesejahteraan petani dapat ditandai dari perkembangan pendapatan,
pengeluaran, daya beli rumah tangga, dan lainnya. Jika pada saat sekarang di Sijunjung harga
karet per kg nya hanya Rp.6.000 dan karena sekarang musim hujan, rata-rata petani karet
hanya mengumpulkan karet 100 kg per minggu. 100 x Rp.6.000 = Rp.600.000 per minggu.
Para ibu rumah tangga di Sijunjung biasanya membeli kebutuhan di pasar pekan
sekali seminggu. Menurut survei, rata-rata ibu rumah tangga yang mendapatkan penghasilan
dari mengumpulkan karet menghabiskan Rp.350.000 per minggu untuk membeli kebutuhan
dan peralatan rumah tangga di pasar. Sisa uang 250.000 tidak akan menutupi kebutuhan
mereka yang lainnya selama seminggu, apalagi bagi pasangan suami istri yang anaknya
banyak dan bersekolah. Belum lagi untuk membayar listrik, air dan tagihan yang lainnya.
Saat sekarang ini, banyak para petani karet di Sijunjung yang mencari tambahan
nafkah dengan cara lain contohnya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian dijual.
Setidaknya ini membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan disaat harga karet yang
mencekik dan inflasi barang barang pokok. Meskipun begitu, dalam hati mereka tetaplah
mengharapkan harga karet kembali naik agar kesejahteraan mereka juga meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H