Mohon tunggu...
Citra Andriani
Citra Andriani Mohon Tunggu... Lainnya - Hello !!

Terus belajar, berproses dan saling berbagi IG : @citrandrn FB : Citra Andriani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Citra-Story#25 | Sepasang Mata dan Wanita Senja

20 Juli 2020   22:00 Diperbarui: 1 Oktober 2020   09:10 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selepas sarapan aku bersiap untuk pergi lanjut mengurus akta kelahiran sepasang kakak beradik di asrama. Setelah proses yang cukup panjang dan berbulan-bulan aku berharap urusan ini segera selesai. Di tengah Pandemi ini semua menjadi serba online, pun mengurus akta. Dua hari yang lalu aku menghubungi pihak dispenduk dan mengirim berkas. Berharap berkas yang kukirim tidak ada salah dan bisa langsung di proses. Namun ternyata masih ada berkas yang kurang dan akta tak bisa diproses.

Aku memutuskan untuk pergi ke desa dimana kedua gadis itu berasal. Menemui saudara untuk meminta bantuan dan ke kantor desa untuk meminta form yang kurang. Hari ini setelah semua proses panjang itu, aku berencana  ke desa untuk meminta tanda tangan kades, singkatnya syarat akhir semua berkas akta itu. Aku mengajak sang adik yang berumur 11 tahun, kami mengunjungi rumahnya untuk meminta tanda tangan dari sang ibu yang tinggal sendiri di rumahnya. Sebenarnya cerita ini bermula dari sini.

Rumahnya masuk di sebuah gang kecil, di penghujung ada dua rumah milik pakde dan nenek gadis itu. Rumahnya tepat berada di belakang kedua rumah tersebut. Kami memarkir sepeda di depan rumah nenek, rumah yang di cat hijau dan putih itu seperti baru di cat, dan rumah dalam tahap renovasi.

"Assalamualaikum" gadis itu mengetuk pintu rumahnya.

"ibu ada gak ya ? tanyaku cemas

"gatau mbak, harusnya ada, Assalamualaikum.."

"Walaikumsalam" suara sang ibu samar terdengar.

"Alhamdulillah, ibu ada di rumah dek". (Aku sudah berfikir jika tidak ada aku akan kembali lagi nanti dan baru besok bisa melanjutkan ini semua).

"Nduk," sapa ibu melihat gadis tersebut lalu melihatku "Mbak Citra, masuk mbak silahkan"

"Nggih bu"

Setelah selesai urusan dengan sang ibu, kami berjalan ke halaman depan. Kami berjalan kedepan, ketika sampai di samping rumah nenek kami mendengar suara.

"Nduukk"

Suara itu samar terdengar olehku. Yang ternyata sangat jelas bagi sang adik.

"Mbak, ada mbah" panggilnya menyudahi pencarianku.

Segera aku sadari suara itu berasal dari nenek gadis yang duduk di deket jendela

"Kamu mau lihat nenek dek ?" tanyaku

"Mau mbak" jawabnya bersemangat

Gadis itu berjalan bergegas berjalan, aku mengikutinya dari belakang dia terlihat senang.

Aku mengenal dua bersaudara ini sudah lama, tetapi aku belum pernah menjenguk sang nenek meskipun aku mengetahui mereka mash memiliki. Sekalian saatnya silaturahmi pikirku, toh kami tidak sedang buru-buru.

Gadis itu masuk ke dalam rumah bercat hijau dan putih. Melihat kondisi luar rumah yang bru saja di cat aku tidak menyangka bahwa kondisi di dalam berbanding terbalik. Beberapa material bangunan  juga terlihat di sudut ruang tamu itu. Rumah kecil itu sangat sederhana beralas plesteran, lalu 3 sepeda kecil usang menyambut di sebelah kanan serta dipan dan kasur yang terlipat dan berdebu di sebelah kiri, aku memandang lurus dan terlihat sofa tua berdebu sendiri. Aku berjalan mengikuti gadis itu menuju kamar neneknya.

"Assalamualaikum mbah" sapanya

"Haaaah" nenek itu menoleh ke sumber suara.

"Mbah" gadis itu mengambil tangan neneknya lalu menciumnya. Tangannya keriput, pandangannya memudar, rambut putih dengan pakaian merah marun bermotif bunga-bunga.

Gadis itu duduk di sebelah nenek di atas kasur yang lusuh, Aku masuk megikuti yang gadis itu lakukan,

Aku melihat sekitar piring dan gelas tergeletak di atas kursi dengan sisa nasi yang berceceran di bawah, sepertinya ini sisa sarapan nenek pagi ini. Di lantainya banyak riak dan ludah, dengan bau bercampur aduk.

"Iki sopo" (ini siapa) beliau menyipitikan mata.

"Genduk(menyebut nama)mbah"

"Haaa?"

Gadis itu menoleh padaku, aku mengangguk memberi isyarat.

"Genduk mbah" gadis itu mengulang dengan lemah lembut sambil mendekatkan ke telinga sang nenek.

"Owala gak sekolah ta nduk ? gaoleh melok wong sing gak kenal lek ndek dalan yo" (oh enggak sekolah ? gak boleh ikut orang yang gak dikenal kalau di jalan ya).

"Iya mbah"

Gadis itu diam, memandangi neneknya.

"Aku balik(pulang) yo mbah" gadis itu berpamit

Aku sedikit terkejut dan berniat menghalangi, tetapi gadis itu menoleh padaku memberi isyarat untuk tidak menghalanginya.

"Haahh balik, iyowes" (apa pulang, iya sudah)

Gadis itu menoleh padaku (lagi), kuliat matanya berkaca-kaca. Entah apa yang ada di fikirannya. Aku mengangguk lagi.

Gadis itu mengambil tangan neneknya lalu menciumnya, aku mengikuti gerakannya.

"Assalamualaikum mbah," suaranya serak terdengar.

Gadis itu bergegas keluar dari kamar, aku mengikuti. Selepas gadis itu pergi, nenek menatap keluar jendela lagi.

Tatapan gadis sepersekian detik tadi membuatku tak bisa berkata-kata. Kufikir ia ingin lebih lama berada disana. Aku masih bertanya-tanya arti tatapan itu, tidak tega, kasian atau saking rindunya.

"Ayo mbak" panggilannya membuyarkan lintas pikiranku

"Iya dek" jawabku singkat.

Kami memutuskan untuk tidak membahas itu selama perjalanan kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun