Di era kolonial, pelaksanaan pendidikan telah terbukti melahirkan kaum terpelajar. Di tangan elit terdidik ini bangsa kita dibukakan matanya tentang siapa pemerintah Belanda yang sesungguhnya.Â
Selanjutnya kepada masyarakat juga diajak memahami arti suatu bangsa (nation). Bahkan kaum terdidik itu pula yang menjelaskan "kesamaan nasib" yang diyakini akan menyatukan sekat-sekat yang muncul saat itu.Â
Perbedan agama, suku bangsa, status (ningrat-jelata), Bahasa, adat,dll pada akhirnya mampu disatukan ole kawula muda yang terdidik tersebut. Paparan di atas menjelaskan bahwa pendidikan adalah "pelita kehidupan".Â
Pendidikan yang bisa mengajak manusia untuk maju dan berkembang, pendidikan pula yang dapat mengeluarkan masyarakat dari kebodohan, pendidikan pula yang membimbing manusia berpikir dan berilaku untuk maju dan berkembang membangunan peradaban.
Sehingga kaum terdidik yang merupakan kelompok sosial baru di masyarakat (saat itu), tidak saja mengagumkan dan mengherankan, namun menjadi tumpuan dan harapan bagi perbaikan kehidupan masyarakat kita.Â
Walaupun pada akhirnya sepak terjangnya menjadi sorotan lensa politik kekuasaan bagi pemerintah kolonial. Apalagi  ketika kaum terpelajar menyuarakan tentang "kemerdekaan bangsanya".Â
Suatu kata yang dianggap membahayakan bagi eksistensi pemerintah kolonial. Maka mereka ada yang ditangkap dan dipenjarakan.Â
Namun pendidikan yang diperolehnya telah mencerahkan hati dan pikiran mereka, bahwa  kemerdekaan adalah hak semua bangsa. Maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Mereka Menginisiasi Perubahan Nasib Bangsanya
Perubahan nasib 'bangsanya' (saat itu disebut kaum bumi putera, pribumi bahkan inlander), menjadi proses panjang yang selalu dinisiasi oleh kaum terdidik tersebut.Â
Derap langkah mereka terus menerus dilakukan untuk melakukan perubahan kaum bumi putera yang saat itu berada dalam kondisi terikat kuat dalam ikatan kolonial dan kaum feodal. Ikatan kolonial dan feodal menyebabkan kondisi social, ekonomi, apalagi pendidikan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Ulah kaum terdidiklah lahir pergerakan nasional yang dijadikan sebagai sarana perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda.Â
Ulah mereka pula lahir peristiwa Sumpah Pemuda yang dapat menyatukan semua komponen bangsa yang mempunyai perasaan senasib. Ulah mereka pula pada akhirnya melahirkan peristiwa besar 17 Agustus 1945 yang menjadi titik kulminasi perjuangan bangsa Indonesia.
Pendidikan dalam Perspektif Masyarakat Sekarang
Pendapat ini lebih bersifat subyektif penulis berdasar pengamatan yang ada di masyarakat yang penulis lihat, amati dan dengar.Â
Dalam perspektif masyarakat sekarang (walaupun tidak semuanya), pendidikan identik dengan status sosial dan pekerjaan. Kondisi demikian jika tidak disebut sudah kehilangan arah, setidaknya sudah mengalami perubahan orientasi.
1) Pendidikan sebagai status sosial
Di sebagian masyarakat pendidikan yang dimiliki termasuk gelar yang melekat identik dengan status sosial yang dimiliki. Makin tinggi gelar pendidikan yang dimiliki, status sosialnya makin tinggi. Dan  pengakuan masyarakat tentang status sosialnya juga berbeda dengan lainnya.
Apakah itu salah? Tentu tidak. Sebab konsekwensi logis seseorang mengenyam pendidikan adalah pengakuan tentang status sosialnya di masyarakat.Â
Apabila semua proses dilalui sebagaimana mestinya (tetap berpedoman pada etika, moral dan tata nilai dan norma yang ada), pengakuan masyarakat merupakan penghargaan kepada dirinya.
Namun, ketika orientasinya semata-mata status sosial, di masyarakat muncul fenomena 'jalan pintas' proses pendidikan dan pragmatisme jalanya pendidikan.Â
Fenomena jalan pintas pendidikan setidaknya ditandai adanya proses meraih gelar yang asal-asalan. Pragmatisme jalanya pendidikan setidaknya ditandai dengan jual beli ijazah.Â
Maka tingginya pendidikan tidak bisa dijadikan ukuran tingginya keilmuan dan moralitasnya. Â Ketika kondisinya demikian, maka setinggi apapun pendidikan yang diraihnya agaknya sulit untuk menjadikan pendidikan yang dimiliki sebagai "pelita kehidupan" masyarakat. Â Â
2) Pendidikan sebagai sarana mencari pekerjaan dan jabatan
Di masyarakat juga mengemuka fenomena bahwa pendidikan didentikkan dengan pekerjaan bahkan jabatan. Bahkan ada juga sebagian masyarakat yang mengukur keberhasilan pekerjaan jika sudah menjadi pegawai negeri.Â
Maka makin tinggi pendidikannya, harapan yang diinginkan adalah pekerjaan yang layak dan penghasilan yang layak  dan bisa diterima sebagai pegawai negeri.
Apakah hal tersebut salah? Tentu jawabnya tidak, apabila semua proses dijalani sebagaimana mestinya. Dalam prosesnya tetap mengedepankan aturan main yang ada dan etika serta moralitas selama menuntut pendidikan.Â
Jika tidak, fenomena yang muncul juga jalan pintas dan pragmatisme. Sehingga di masyarakat muncul fenomena ijazah palsu, jual beli ijazah.Â
Fenomena tersebut menunjukkan pendidikan sudah melenceng dari esensinya. Ketika kondisinya demikian, mungkinkan pendidikan yang diraih dapat menjadi "pelita kehidupan" bagi masyarakatnya?
Bahkan sekarang sudah bisa dirasakan bersama munculnya fenomena dosa besar bagi kaum intelektual yaitu ia mengetahui kebenaran, tapi takut dan tak mau mengungkapkan kebenaran itu.Â
Fenomena ini yang menjadikan pendidikan gagal menjadi "pelita kehidupan". Semua ini disebabkan oleh orientasi pendidikan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan pekerjaan maupun jabatan.
Dampak yang muncul
Munculnya fenomena tersebut pasti menimbulkan dampak negatif di masyarakat. Setidaknya ada beberapa dampak yang bisa dicermati di masyarakat. Dampak tersebut setidaknya dapat diamati pada realita berikut:
- Perkelaian pelajar, bahkan mahasiswa sudah mewabah di berbagai daerah
- Status kaum terpelajar tidak lagi bisa dijadikan garansi bagi simbol penegakan moral dan etika
- Munculnya sikap apatis pada sebagian siswa tentang masa depannya. Kondisi ini cenderung dimiliki oleh mereka yang berasal dari strata bawah.
Langkah-langkah pembenahan
Kondisi yang dipaparkan di atas akhirnya kembali pada sistem pendidikan. Sebab betapapun sistem itulah yang akan membentuk output maupun outcome pendidikan.Â
Oleh sebab itu perlu adanya beberapa langkah untuk mencari jalan keluarnya. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi renungan terhadap keprihatinan yang diuraikan di atas:
- Bangsa kita memiliki sistem pendidikan yang dapat menyiapkan siswa sejak usia dini tentang penguasaan skill dan kompetesi special melalui pendidikan kewirausahaan. Sehingga output pendidikan yang dihasilkan adalah sumber daya manusia yang mempunyai skill dan komptensi special yang menjadi pilihannya. Â
- Bangsa kita memiliki sistem pendidikan yang dapat mencerdaskan hati dan pikiran peserta didiknya. Sebab kecerdasan hati peserta didik akan mendorong kecerdasan pikirannya ke jalan yang benar.
- Bangsa kita memiliki sistem pendidikan yang dapat melahirkan guru yang mempunyai kemapanan inteletual dan moralitas agama yang benar (mampu menginternalisasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan) dan etika yang bersumber dari nilai, norma dan adat istiadat masyarakat .
Tempat "peraduan" pendidikan Indonesia adalah hati dan pikiran bangsa Indonesia. Mengolah hati terlebih dahulu baru mengolah pikirannya.Â
Wujud kecerdasan hati bangsa Indonesia adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Esa. Sehingga dalam kesehariaanya mau menyisihkan waktu untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya.Â
Selain iman dan taqwa, hati bangsa Indonesia menuntun pada sikap santun, menghidupkan perasaan, tanggungjawab dan bisa dipercaya.Â
Sedangkan wujud kecerdasan pikiran bangsa Indonesia yaitu kemampuan intelektual bangsa Indonesia yang mampu membimbing masyarakat ke jalan yang benar, mencerdaskan, memberdayakan  dan kemampuan mengolah sumberdaya social-budaya dan alam Indonesia untuk kepentingan kemaslahatan bangsa dan negara.Â
Kecerdasan hati dan pikiran bangsa Indonesia adalah kunci mengembalikan esensi pendidikan Indonesia agar bisa menjadi "pelita kehidupan" masyarakat Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI