Sejak itu pula aktivitas sore pergi ke sungai beramai-ramai berhenti. Demikian juga antri air berjam-jam sudah tidak dilakukan. Apalagi mencari air di desa atasnya dengan cara memikul sudah tidak lagi dilakukan.
Warga menunggu hujan untuk lahan pertanian, keperluan minum, masak, dan cuci sudah tercukupi dari stok air hujan yang dibuat serta tangki air bantuan pemerintah jika kemarau.
Anak sekolah sampai SMP di kampungku termasuk langka. Waktu aku SMP belum ada warga kampungku yang sekolah sampai SLTA. Umumnya sampai SMP keluar, kerja dan menikah sehingga budaya kawin usia muda sangat tinggi di kampungku.
Bersyukur aku terinspirasi kakak-kakak KKN untuk sekolah lagi atas dukungan orang tua. Bersyukurnya lagi setelah SMA masih dibolehkan orang tua melanjutkan kuliah asalkan diterima di negeri. Lebih bersyukur lagi tahun 1986, aku menjadi sarjana pertama di kampungku. Â
Kemarau menjadikan aku dan warga kampungku berjuang mempertahankan hidup dengan cara yang bisa dilakukan.Â
Namun sejak kehadiran kakak-kakak KKN, wargaku terentaskan masalah besarnya dan aku terinspirasi untuk melanjutkan pendidikan sampai lulus sarjana.Â
Perjalananku dan warga kampungku seperti peribahasa "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H