Mohon tunggu...
cipto lelono
cipto lelono Mohon Tunggu... Guru - Sudah Pensiun Sebagai Guru

Menulis sebaiknya menjadi hobi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Meliterasi Proses Spiritualitas Nabi Ibrahim Sang Ulul Azmi

20 Juli 2021   10:50 Diperbarui: 30 Juni 2022   21:05 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: mamikos.com via tribunnews.com

Bagi umat Islam Idul Adha dengan segenap fenomenanya tidak hanya bersifat ritual, namun mengandung nilai substansial tentang proses spiritual seorang nabi yang diberi gelar "ulul azmi." Gelar yang memosisikan nabi Ibrahim sebagai bapaknya para nabi penyebar risalah kebenaran ilahi robbi.

Mengapa perlu me-literasi spiritualitas Nabi Ibrahim? Karena rekam jejak perjalanan dan perjuangan spiritualitas yang panjang, berliku dan penuh dengan kondisi kejiwaan yang haru biru. Semua kondisi demikian dilakukan sebagai upaya menemukan pencerahan jiwa tentang hakiki sang pencipta alam raya seisinya.

Maka me-literasi rekam jejak perjalanan panjang dan berliku sosok nabi Ibrahim menjadi hal yang tidak saja penting (substansial) namun juga mempunyai peran yang fundamental. Penting karena banyak nilai-nilai yang dapat diuangkap dan dapat dijadikan teladan oleh umat Islam.

Fondamental karena nilai-nilai spiritualitas nabi Ibrahim dapat membutktikan bahwa logika hanya salah satu langkah menemukan kebenaran hakiki. Kualitas spiritualitas-lah yang akhirnya menjadi ujung tombak menemukan kebenaran hakiki sang pencipta alam raya seisinya (Allah SWT).

Literasi apa saja yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses spiritualialitas nabi Ibrahim?

1. Literasi tentang sikap Nabi Ibrahim menolak dogmatisme praktik keagamaan.

Ibrahim dibesarkan di tengah masyarakat (Mesopotamia) yang membangun peradaban dengan penyembahan terhadap berhala-berhala. Maka akal Ibrahim menolak tentang praktik keagamaan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Praktik keagamaan tersebut dipandang sebagai praktik dogmatisme agama yang dilakukan oleh penguasa. Penolakannya berakhir dengan dirusaknya sentral berhala-berhala yang dijadikan tempat sesembahan raja Namrud dan rakyatnya.

Peristiwa itu menghebohkan masyarakat sehingga nabi Ibrahim dijatuhi hukuman dengan cara "dibakar". Namun realitanya nabi Ibrahim bisa selamat dari mara bahaya. Selamatnya Ibrahim dari bara api raja Namrud disadari sepenuhnya oleh Ibrahim, ternyata kebenaran realitas itu tidak berada di "relung logika" dia sebagai manusia.

Sejak peristiwa tersebut, Ibrahim mulai menggunakan "rasa" untuk mengungkap realitas kebenaran Tuhan sebagai penguasa alam semesta seisinya. Tahap ini disebut dengan langkah "ainul yaqin"

2. Eksplorasi spiritual nabi Ibrahim untuk menemukan keberadaan Tuhan melalui benda-benda alam semesta

Eksplorasi spiritual nabi Ibrahim dimulai dari peristiwa "terbebasnya" nabi Ibrahim dari hukuman raja Namrud yang mengerikan itu. Eksplorasi ketuhanan setelah peristiwa tersebut ditandai dengan pesrsepsi Tuhan terhadap benda-benda alam semesta seperti Bintang, Bulan bahkan Matahari.

Ternyata semua benda-benda alam raya tersebut hilang pada saat tertentu dan muncul pada saat yang lain. Langkah Ibrahim menggunakan panca indera menemukan kebenaran eksistensi Tuhan belum dapat menjawab kegalauan jiwanya. Sebab eksistensi benda-benda tersebut tidak abadi. Jiwa dan akal sehatnya Ibrahim mengatakan bahwa Tuhan harus abadi. Tahap ini disebut dengan langkah "ilmul yaqin".

3. Pematangan spiritual

Tahap ini Ibrahim menggunakan pendekatan rasa. Dalam pengembaraan Ibrahim menemukan kebenaran Tuhan dengan logika dan panca indera belum mendapatkan pencerahan jiwa. Maka Ibrahim menggunakan pendekatan rasa. Sebab rasa merupakan bagian jiwa yang akan berpengaruh pada unsur terpenting manusia yaitu "nurani".

Pendekatan ini akhirnya menemukan hasil. Puncak dari perjalanan panjang nabi Ibrahim menemukan klimaksnya pada perintah untuk menyembelih Ismail (sang putera tercintanya) melalui mimpinya. Bagi Ibrahim, mimpi itu adalah perintah dari sang Maha Pencipta yang diperjuangkan sejak masa mudanya. Proses inilah yang dikenal dengan tahap "haqul yaqin" yaitu meyakini kebenaran realitas Tuhan yang maha sempurna, Allah SWT. Maka Ibrahim bersedia mengorbankan ego dan anak tercintanya semata-mata menjalankan perintah sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Perjalanan panjang nabi Ibrahim menemukan pematangan jiwanya terdapat nilai-nilai yang dapat dipetik sebagai langkah refleksi diri.

a. Keikhlasan menerima secara totaliitas dalam menerima ujian dari Allah SWT.

Keikhlasan nabi Ibrahim menerima ujian kehidupan mengantarkan pada gelar "ulul asmi", sedangkan keikhlasan yang kita lakukan setidaknya bisa memancarkan bias kemaslahatan bagi orang lain. Sebab hakikinya keikhlasan akan mengantarkan pada kemuliaan. Sedangkan kemuliaan yang dilalui dengan landasan keikhlasan akan mengantarkan pelakunya pada kepasrahan jiwa yang totalitas pada sang pencipta.

b. Merendahkan ego.

Siapapun manusia tentu mempunyai ego. Namun manusia yang hidupnya berorientasi pada ego tidak akan memperoleh ketenangan jiwa. Nabi Ibrahim mengajarkan nilai agar manusia dapat merendahkan egonya sebagai ijitihad membangun harmoni kehidupan baik vertiakal maupun horizontal.  

Langkah ini mengajari kita agar tidak menjadikan keberhasilan ujian, tempaan yang berulang kali dan berliku-liku,  sebagai sarana atau media memperoleh popularitas pribadi,  namun digunakan sebagai sarana pematangan jiwanya.

c. Beragama tidak bersifat dogmatis-teoritika tapi harus relevan dengan praktika

Ibrahim mengajari kita agar beragama tidak bersifat dogmatis-teoritis semata. Sebab langkah ini akan membawa pada munculnya kesenjangan antara ucapan dan tindakan. Pandai berdalil kok masih senang menyakiti, kaya kok tidak peduli, sudah haji kok masih korupsi,dll. Semua fenomena ini terjadi akibat umat terjebak pada beragama yang dogmatis teoritis.  

Maka meliterasi perjalanan spiritualitas nabi Ibrahim berarti berusaha untuk menjadikan rekam jejak perjuangannya yang berpuncak pada pengorbanannya sebagai bahan refleksi diri dan berbenah diri dan menjadikannya sebagai suri teladan.

Sehingga umat Islam dituntut cerdas memahami segenap peristiwa yang dialami oleh para nabi agar dapat menjadi umat teladan dalam membangun peradaban hari sekarang dan hari yang akan datang. Semoga bermanfaat!

Referensi:

Agus Mustofa. 2012. Ibrahim Pernah Atheis. Padma Press. Surabaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun