Mohon tunggu...
Cinthya Yuanita
Cinthya Yuanita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bermain dengan aksara, merenda kata, menciptakan makna.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berbalas

3 Juli 2012   14:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:18 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Raira menatap kertas ujiannya. Lembar jawaban itu sudah hampir terisi penuh, tinggal tersisa satu nomor terakhir.

Dokter muda itu tengah menghadapi ujian Objective Structured Clinical Examination (OSCE), atau yang kerap kali disebut  ”ujian teng-teng”. Pasalnya, ujian yang terdiri dari beberapa pos itu memang dibatasi oleh waktu dan ditandai dengan bunyi bel–yang sebenarnya berbunyi “teeeet”, alih-alih “teng-teng”. Begitu bel berbunyi, mahasiswa harus berpindah ke pos di sebelahnya untuk menjawab soal yang berbeda. Seperti saat ini misalnya, Raira tengah menjalani OSCE pada stase X (nama disamarkan demi kemaslahatan bersama-red). Berbeda dari stase lainnya, OSCE kali ini bukan hanya perihal menunjukkan skill pemeriksaan fisik, melainkan juga menjawab pertanyaan setepat dan selengkap mungkin.

“TEEEEEET!!!” Bel pertanda pergantian pos itu menjerit nyaring. Semua koas–nama lain dokter muda–beranjak dari bangkunya, melaju ke pos berikutnya. Tak terkecuali Raira.

Namun, gadis itu tiba-tiba terkesiap. Mukanya pucat seketika, aliran darahnya meluncur deras seolah beradu cepat memenuhi rongga perutnya. Desiran itu lantas bertransformasi menjadi kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya–sebuah ungkapan yang biasa digunakan penyair untuk mendefinisikan perasaan jatuh cinta.

Bagaimana Raira tidak pucat pasi, meja yang seharusnya hanya dihiasi oleh selembar kertas soal itu rupanya berpenghuni. Bukan, bukan temannya yang salah masuk pos. Pada kursi di depan meja itu, duduklah sosok yang beberapa hari terakhir ini memenuhi ruang pikirnya. Dokter Radit, seorang calon spesialis yang juga sedang menuntut ilmu di departemen X itu.

Cowok jangkung berkacamata itu terlihat santai dengan posisi duduk melipat tangan di dada, seolah tidak merasa bahwa dirinya duduk di tempat yang tidak lazim untuk diduduki. Harusnya pos menjawab pertanyaan itu steril dari siapapun, hanya menyisakan koas dan kertas ujian. Kalaupun berdalih sebagai pengawas ujian, rasanya tidak mungkin. Selama ini ujian diawasi oleh pihak sekretariat, bukan residen (nama lain calon spesialis-red).

Di tengah kepanikannya, Raira mencoba tetap terlihat wajar. Ia beringsut duduk di belakang meja dan mulai fokus pada kertas soal di hadapannya. Raira mati-matian memungkiri keberadaan sosok di hadapannya. Tapi gagal. Ia tidak sanggup mengabaikan debar keras yang menghentak bagai godam di dadanya. Dengan kewaspadaan tingkat tinggi, sudut mata Raira berkali-kali melirik ke depan. Dan berkali-kali pula didapatinya Radit tengah menatap tajam ke arah dirinya.

Raira berpikir keras, sangat keras. Tapi bukan untuk menjawab soal di depannya. Soal singkat itu sudah mampu dikerjakannya dalam setengah menit pertama. Dikerjakan dengan jawaban sekenanya dan tulisan seadanya. Lebih dari gugup, Raira rasanya ingin masuk ke lubang kelinci saja! Ia tidak habis pikir ada keperluan apa dokter yang satu ini tiba-tiba bercokol di meja ini, semacam tidak ada tempat lain yang bisa dijadikan area untuk duduk-duduk santai di siang hari. Lagi ujian loh ini!

Dan Raira jadi terusik dengan tatapan tajam penuh makna itu. Raira tidak mampu menginterpretasikan arti pandangan itu. Selama tiga minggu di sini rasa-rasanya Raira tidak punya masalah dengan Radit. Boro-boro punya masalah, interaksi aja nggak pernah!

Selama ini Raira cuma mampu memandangi Radit dalam diam, mengagumi dalam hening yang nyata. Melihat bagaimana dokter yang masih berusia muda itu beraksi memeriksa pasien, ikut senyum-senyum sendiri ketika dokter tampan itu berbicara dengan sejawatnya, atau sekedar terpangah menyaksikan Radit berjalan dengan gaya yang–menurut Raira–sangat keren.

Raira mengagumi sosok ini. Ah, lebih dari itu, Raira menaruh hati pada Radit!

Tapi, Raira cukup tahu diri. Sebagai koas kemarin sore, mana mungkin rasa itu berbalas.Mungkin saja Radit malah sama sekali nggak ngeh kalau ada manusia sejenis Raira hadir di muka bumi ini.

Maka Raira pun cukup berkomitmen penuh untuk menyembunyikan perasaan itu rapat-rapat, menyimpannya secara rapi di sudut relungnya. Tidak ada yang tahu, kecuali halaman blognya. Cewek itu memaparkan secara gamblang semua perasaannya di tempat itu, lengkap dengan inisial nama Radit–untungnya Raira masih cukup waras untuk menyembunyikan identitas idolanya itu. Melalui bait-bait kata dalam jalinan rima, Raira menggambarkan perasaannya dengan bebas, tanpa malu tanpa ragu.

Kegusaran semakin melanda. Dua menit di pos itu, dengan Radit yang terus menatap tajam seperti itu, rasanya seperti dua ratus juta tahun cahaya bagi Raira.

“Kapan sih belnya bunyi? Disabotase apa ya belnya?!!” gerutu Raira dalam hati.

Tak berapa lama, bel tanda selesai pun berbunyi. Raira tak henti mengucap syukur karena ia bisa segera minggat dari tempat itu, dari pandangan Radit.

Belum genap tiga langkah Raira berjalan, tiba-tiba ada suara dari belakangnya.

“Dek,” suara itu, Raira sangat mengenal suara berat itu. Suara yang setiap hari didengarnya ketika ia mencuri lihat aktivitas Radit di poliklinik atau ketika Raira mencuri dengar perbincangan Radit dengan teman-temannya. Suara Radit, tidak salah lagi.

Tapi Raira yang tidak merasa punya kepentingan dengan Radit, tetap saja melangkah maju.

“Ah, palingan dia manggil koas yang lain. Palingan si Bimo yang suka lupa nulis nama di kertas ujian,” gumam gadis itu pada dirinya sendiri.

“Rairania Kirana,” suara yang sama kembali bergema.

JLEB!

“Eh, eh, apaan nih? Seriusan tadi itu nama gue yang dipanggil?”

Mau tak mau–walaupun sebenarnya dirinya sangat tidak kuasa–Raira menoleh ke belakang. Didapatinya Radit tengah menatapnya.

“Aih, mati deh gue! Ada apaan sih nih!”

“Dokter manggil saya?” Raira berusaha bersuara senormal mungkin, meskipun ada gemuruh yang mendesak kerongkongannya.

“Iya, kamu, Rairania Kirana, kan? Tulisan kamu di blog bagus! Saya tunggu sekuel selanjutnya, ya!” Radit tersenyum penuh makna lalu beranjak pergi.

Raira membeku seketika, mencoba mencerna maksud perkataan Radit barusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun