Produksi garam di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berakar pada tradisi lokal. Metode tradisional yang masih banyak digunakan hingga kini melibatkan proses penguapan air laut di tambak-tambak garam menggunakan sinar matahari. Proses ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat pesisir Indonesia.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa produksi garam di Nusantara telah berlangsung sejak era kerajaan-kerajaan kuno. Pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-16), garam menjadi komoditas perdagangan penting yang diproduksi di sepanjang pesisir utara Jawa. Daerah-daerah seperti Rembang, Juwana, dan Jepara tercatat sebagai sentra produksi garam yang signifikan pada masa itu.
Pada masa kolonial Belanda, industri garam mengalami transformasi signifikan dengan dibentuknya monopoli garam pemerintah (zoutmonopolie) pada tahun 1813. Sistem ini membagi wilayah produksi garam menjadi beberapa divisi, dengan Madura menjadi produsen terbesar. Pemerintah kolonial memperkenalkan standarisasi dalam proses produksi dan sistem pengawasan yang ketat untuk menjamin kualitas garam.
Tantangan Utama dalam Pengembangan Usaha Garam
1. Ketergantungan pada Impor
Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap garam impor telah menciptakan dampak negatif yang signifikan terhadap industri garam lokal. Garam impor yang masuk dengan harga lebih murah seringkali menekan harga garam lokal, membuat petani garam kesulitan bersaing di pasar. Selain itu, kebijakan impor yang terkadang kurang terkoordinasi dengan musim panen garam lokal sering menyebabkan oversupply di pasar, yang pada akhirnya merugikan petani garam.
2. Kualitas dan Standar Produksi
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi petani garam adalah kesulitan dalam memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Garam konsumsi harus memenuhi kandungan NaCl minimal 94%, sementara untuk kebutuhan industri bahkan memerlukan kadar NaCl di atas 97%. Mayoritas garam rakyat masih memiliki kadar NaCl di bawah standar tersebut, berkisar antara 85-90%.
Rendahnya kualitas ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk:
- Keterbatasan teknologi pengolahan
- Kondisi lahan yang kurang optimal
- Proses penanganan pasca panen yang belum standar