Mohon tunggu...
Cindy Florencine
Cindy Florencine Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Jadilah pribadi yang bermanfaat untuk lingkungan sekitar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Kasus Kekerasan Berkedok Senioritas, Tanggung Jawab Siapa?

31 Oktober 2022   18:56 Diperbarui: 31 Oktober 2022   19:08 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CINDY FLORENCINE

Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ

cflorencine@gmail.com

Wajah dunia pendidikan tercoreng. Belum lama ini kita dikejutkan dengan aksi kekerasan berkedok senioritas yang terjadi di sebuah pondok pesantren dan mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Sang korban yang berinisial AM wafat setelah dianiaya oleh beberapa kakak seniornya. Dan ternyata kasus kekerasan di dunia pendidikan bukan pertama kali terjadi, dan tidak hanya di pondok pesantren. SMP, SMA juga menjadi tempat berlangsungnya berbagai aksi tak terpuji. Aksi senioritas yang sedang marak terjadi di dunia pendidikan menjadi raport merah bagi semua pihak terkait.

Dunia pendidikan yakni sekolah merupakan wadah dimana seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak dalam menimba ilmu, bermain, bersosialisasi dengan lingkungannya dan berprestasi. Anak seharusnya bebas untuk mengeksplorasi bakat dan minatnya tanpa harus dilanda rasa takut. Namun sayang, di tahun ini kita mendengar berita yang begitu memilukan dari dunia pendidikan. Banyak sekali kasus perundungan atau yang lebih dikenal dengan bullying, baik secara verbal maupun fisik, bahkan tidak sedikit yang sampai menimbulkan korban jiwa. Tidak hanya itu, parahnya lagi, dalam aksi kekerasan berkedok senioritas ini tidak sedikit korban yang dianiaya dan berujung maut. Kekerasan di kalangan siswa khususnya kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya sering terjadi baik di SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi. Masa Orientasi Siswa (MOS) atau OSPEK ditetapkan sebagai sekolah untuk memberi waktu pada siswa baru untuk menyesuaikan diri dengan sekolah mereka.

Aksi kekerasan yang terjadi di sekolah mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kekerasan yang menimpa peserta didik di lingkungan sekolah menjadi topik hangat pemberitaan di media massa. Kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan, mengindikasikan bahwa mainstream kekerasan masih digunakan dalam pola pembelajaran di dunia pendidikan. 

Tindak kekerasan di dunia pendidikan seolah "dihalalkan" untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak sedikit kita lihat tindak senioritas masih saja dipakai hingga saat ini, bahkan sampai tingkat Universitas. Tujuannya apa? Ya, sebagai bentuk pengenalan akan kehidupan lingkungan pendidikan. Kekerasan seolah menjadi jalan utama yang dipilih dalam menyelesaikan masalah, sekalipun dalam masa orientasi siswa. 

Masa pengenalan sekolah yang seharusnya diliputi rasa gembira dan bahagia karena siap menjalani jenjang pendidikan selanjutnya, justru dilingkupi ketakutan yang luar biasa akibat tindak kekerasan dalam senioritas.

Meskipun tradisi senioritas sudah mulai di hilangkan dalam dunia pendidikan, masih banyak kasus yang menunjukkan budaya senioritas di sekolah atau universitas yang menggunakan kekerasanPertanyaannya, apa sebenarnya penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan senior? Apa kekerasan menjadi satu-satunya jalan yang berkedok untuk mendisiplinkan junior? Apa kekerasan sudah menjadi budaya yang mendarah daging dalam menyelesaikan suatu masalah? Simak penjelasan berikut.

 TEMUAN DAN ANALISIS

Banyak sekali kasus senioritas berujung maut yang memakan korban jiwa. Kasus pertama terjadi belum lama ini, pada 22 Agustus 2022 di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang menewaskan seorang santri berinisial AM (17). Masalahnya sepele, korban yang merupakan panitia kegiatan berinisial AM, bersama ketiga temannya mengembalikan semua peralatan perkemahan kepada terlapor yang merupakan koordinator bagian perlengkapan. Namun, setelah di periksa kembali oleh terlapor, terdapat pasak tenda yang hilang. 

Korban lantas diberi tugas untuk mencari pasak tersebut hingga ditemukan dan dikembalikan ke bagian perlengkapan pada 22 Agustus 2022. Memang di dunia kampus maupun pondok pesantren, senioritas bukan dilihat dari kematangan usia, melainkan lamanya masa tinggal dan masa belajar yang lebih dulu. Sewaktu menghadap MF dan IH pukul 06.00 WIB, AM bersama dua kawannya dievaluasi soal perlengkapan perkajum yang hilang dan rusak. 

Selanjutnya, MF dan IH menghukum AM, RM, dan NS. IH memukul korban menggunakan patahan tongkat pramuka dan tangan kosong. Sedangkan, MF menendang korban. Berselang beberapa menit, sekitar pukul 06.45 WIB, AM terjatuh dan tak sadarkan diri. RM dan NS bersama MF lantas membawa AM menggunakan becak inventaris pondok menuju instalasi gawat darurat (IGD) RS Yasyfin Pondok Darussalam Gontor. Akan tetapi, tak lama kemudian, AM meninggal dunia.

Namun yang lebih parahnya lagi, Pondok Pesantren Gontor sempat menutup-nutupi kasus ini dengan mengatakan bahwa korban meninggal dunia akibat kelelahan. Namun setelah orangtua korban menuntut keadilan dan membawa kasus ini ke ranah hukum, barulah diketahui anak mereka tewas secara memilukan akibat penganiayaan yang dilakukan oleh para seniornya. Kasus kekerasan akibat tindak senioritas tidak hanya terjadi di lingkungan pesantren saja. dan bukan pertama kali terjadi. Sudah banyak korban berjatuhan akibat aksi senioritas yang semena-mena. 

Kasus kedua terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Menguaknya kekerasan di IPDN terjadi ketika Praja Madya Cliff Muntu (21 tahun), siswa IPDN asal Sulawesi Utara ditemukan tewas akibat siksaan para seniornya di tahun 2007. Kemudian di tahun 2003 juga pernah terjadi aksi senioritas yang menewaskan Wahyu Hidayat, praja asal Bogor dengan modus yang sama. 

Kasus ketiga, seorang taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Kota Semarang meninggal dunia karena diduga dianiaya oleh seniornya Senin (6/9/2021) pukul 23.00 WIB lalu. Mahasiswa semester enam bernama Zidan Muhammad Faza (21)  dipukuli lima orang seniornya. Penganiayaan itu berawal saat para seniornya itu memanggil 15 orang junior di Mess Indo Raya di Jalan Genuk Krajan hari Senin (6/9/2021) sekitar pukul 22.00 WIB malam. 

Di sana para junior dibariskan dengan formasi U dan para Junior dipukul bergantian. Ada lima orang yang memukuli korban dan pelaku Caesar menjadi orang terakhir yang memukul korban hingga tergeletak dan tewas. Mereka langsung membawa korban ke rumah sakit tapi nyawa korban tidak tertolong.

Kekerasan sendiri dapat diartikan sebagai  Kekerasan sendiri diartikan sebagai  Suatu aksi atau perbuatan yang didefenisikan secara hukum, kecuali jika unsurunsur yang ditetapkan oleh hukum kriminal atau hukum pidana telah diajukan dan dibuktikan melalui suatu keraguan yang beralasan, bahwa seseorang tidak dapat dibebani tuduhan telah melakukan suatu aksi atau perbuatan yang dapat digolongkan sebagai tindak kekerasan. 

Dengan demikian tindak kekerasan adalah suatu perbuatan yang disengaja atau suatu bentuk aksi atau perbuatan yang merupakan kelalaian, yang kesemuanya merupakan pelanggaran atas hukum kriminal, yang dilakukan tanpa suatu pembelaan atau dasar kebenaran dan diberi sanksi oleh Negara sebagai suatu tindak pidana berat atau tindak pelanggaran hukum yang ringan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2003: 21). 

Batasan tindak kekerasan tidaklah hanya tindakan melanggar hukum atau undang-undang saja, tetapi juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan conduct norms, yang tindakan-tindakan bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat walaupun tindakan itu belum dimasukkan atau diatur dalam undang-undang.( Varia Peradilan, 1997:118). 

Selanjutnya Puspasari dan Satrya (2019) menyatakan bahwa senioritas adalah sebagai keadaan yang lebih tinggi dalam hal pangkat, usia dan pengalaman dan seorang karyawan yang telah cukup lama bekerja di perusahaan biasanya akan mempunyai kemampuan yang lebih dan memiliki pengalaman yang lebih banyak meskipun berada di satu jabatan yang sama. 

Pengertian senioritas dalam kamus KBBI merupakan seseorang yang memiliki tingkatan lebih tinggi dalam pengalaman, pangkat, serta usia. Di dalam kehidupan manusia, senioritas merupakan sesuatu hal yang wajar. Hal itu di karenakan dalam setiap kehidupan manusia ada berbagai tingkatan-tingkatan. Senioritas dalam arti yang sebenarnya tidak membawa unsur kekerasan di dalamnya. Namun karena terdapat pemahaman yang salah dan terus di lestarikan akhirnya membuat pemahaman akan senioritas berubah arti menjadi senioritas yang identik dengan kekerasan.

LANDASAN TEORI

Kasus tewasnya junior akibat tindakan senioritas bisa dianalisis menggunakan Teori Perubahan Sosial yang dikemukakan oleh Piotr Sztompka. Dalam teori perubahan sosial ini Sztompka berpendapat bahwa perubahan sosial yang ada di masyarakat terjadi karena adanya perubahan pada sistem sosial masyarakat (Suntari, 2017). 

Perubahan ini yang akhirnya berpengaruh ke unsur lain seperti ekonomi, sosial, politik dan keluarga. Perubahan ini akhirnya menyebabkan masyarakat ke dalam tatanan kehidupan baru. Menurut Sztompka perubahan sosial yang ada dimasyarakat terdapat tiga kriteria. Kriteria tersebut adalah studi tentang perbedaan, pengamatan pada sistem sosial, dimensi ruang yang erat kaitanya dengan sistem historis. 

Dalam hal ini perubahan sosial yang ada di masyarakat lama kelamaan membawa masyarakat kedalam keadaan yang lebih baik dan menguntungkan. Piotr Sztompka berpendapat bahwa suatu perubahan dapat terjadi karena beberapa hal yaitu adanya perubahan komposisi, struktur, perubahan fungsi, batas, hubungan antarsubsistem, dan adanya perubahan lingkungan (Sztompka, 1993).

Jadi, dari kasus ini menurut Teori Perubahan Sosial ditemukan fakta bahwa senioritas terjadi karema adanya unsur perubahan sosial berupa penanaman nilai-nilai kekerasan dalam kegiatan ospek yang akhirnya menciptakan tatanan baru di masyarakat yang pada akhirnya membawa ke dalam suatu keadaan yang menguntungkan, yaitu rasa ingin dihormati oleh juniornya dan menunjukkan kekuasaan di sekolah. Kekerasan berkedok senioritas juga dapat dianalisis menggunakan Teori Teori kontrol sosial di pelopori oleh Travis Hirschi. 

Teori kontrol sosial merupakan teori yang melihat perilaku menyimpang dan perilaku tidak menyimpang yang di lakukan oleh seseorang (Kusumastuti & Hadjam, 2019). Teori tersebut juga menjelaskan bahwa kurangya sosialisasi serta integrasi dengan lingkungan (keluarga, masyarakat, sekolah) telah menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang. 

Dimana dalam teori tersebut memfokuskan mengenai perilaku menyimpang yang di lakukan oleh remaja. Selain itu Travis Hirschi (dalam Khodijah, 2018) menjelaskan dalam teorinya yakni perilaku tidak taat aturan merupakan perilaku dasar setiap manusia, maka di butuhkan kontrol sosial agar manusia patuh pada aturan yang berlaku dan turut serta dalam upaya kontrol sosial di masyarakat.

Pendidikan memiliki fungsi yakni mengembagkan potensi yang ada dalam diri individu dan membentuk karakter, serta mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menghilangkan ketertinggalan dan kebodohan (Sujana, 2019). Sebagai lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga, Sekolah bertujuan untuk mendidik anak mengenai ilmu yang tidak di ajarkan oleh orangtua di rumah. Di dalam sekolah juga terdapat proses interaksi baik antara guru dengan siswa. 

Dalam proses interaksi inilah penanaman nilai-nilai moral serta memberikan kontrol sosial bagi perilaku remaja. Dimana jika sekolah dengan masyarakat memiliki kerja sama yang baik, maka orang tua juga akan berperan aktif dalam mendukung pendidikan di sekolah. selain itu menurut Nasution (dalam Umar, 2016) hubungan sekolah dengan masyarakat dapat terlaksana dengan baik karena adanya dukungan dari orang tua serta masyarakat yang terlibat aktif bersama guru untuk mendidik dan mengontrol siswa baik jangka panjang maupun jangka pendek dalam mencapai nilai-nilai yang baik dalam kepribadian, pendidikan, dan sosial.

Aksi senioritas yang disertai dengan tindak kekerasan disebabkan karena hilangnya kontrol sosial sekolah dalam mengatur perilaku para senior sehingga memberi celah bagi pelaku dalam melakukan tindakan menyimpang. Teori Kontrol Sosial Hirschi sangat tepat dalam mengkaji fenomena ini sebab kontrol sosial dapat terwujud jika terdapat Attachement dimana ketika terdapat kasih sayang yang diberikan lingkungan kepada remaja maka akan menimbulkan perilaku yang peduli terhadap lingkungannya, Commitment yakni ikatan yang mana ketika lembaga-lembaga di sekitarnya dapat memberikan manfaat yang baik maka akan memperkecil terjadinya perilaku menyimpang, involvement yakni jika individu sibuk degan aktivitas yang di lakukannya maka individu tersebut tidak akan sempat untuk berperilaku menyimpang, beliefs yakni ketika individu sudah memiliki keyakinan akan nilai-nilai yang ada di masyarakat maka akan membuat individu tersebut tidak melakukan perilaku menyimpang.

KESIMPULAN

Aksi senioritas yang disertai dengan kekerasan, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa terjadi karena kurangnya kontrol sosial dari sekolah, dan yang terutama pihak keluarga turut serta dalam pembentukan nilai-nilai dan norma yang baik. Ketika lingkungan tersebut memberikan pendidikan moral yang baik serta memahami perannya masing-masing maka akan dapat memberikan kontrol sosial bagi perilaku remaja untuk tidak melakukan kekerasan dalam senioritas di lingkungan pendidikan.

Maka dari itu kontrol sosial akan sangat berpengaruh dalam mengontrol perilaku remaja yang melakukan kekerasan dalam senioritas di lingkungan pendidikan. Aksi ini juga bisa terjadi karena langgengnya nilai-nilai kekerasan, sehingga perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 'Kriminologi", Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.Hal.       

          21

Varia Peradilan, "Langkah Pencegahan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita",

         Tahun XIII.No.145 Oktober 1997. Hal 118

Puspasari dan Satrya. 2019. "Landasan Teori Tentang Senioritas". Dikutip dari http://repository.teknokrat.ac.id/3600/3/b217411400.pdf

Khodijah, K. (2018). AGAMA DAN BUDAYA MALU SEBAGAI KONTROL SOSIAL

           TERHADAP PERILAKU KORUPTIF. Sosial Budaya. https://doi.org/10.24014/sb.v15i2.7606

 Kusumastuti, H., & Hadjam, M. N. R. (2019). Dinamika Kontrol Sosial Keluarga dan Teman

            Sebaya pada Remaja Berisiko Penyalahgunaan NAPZA. Gadjah Mada Journal of

            Psychology (GamaJoP). https://doi.org/10.22146/gamajop.43439

Sujana, I. W. C. (2019). FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN INDONESIA. Adi Widya:

            Jurnal Pendidikan Dasar. https://doi.org/10.25078/aw.v4i1.927

Umar, M. (2016). MANAJEMEN HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT

            DALAM PENDIDIKAN. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling.

            https://doi.org/10.22373/je.v2i1.688

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun