Mohon tunggu...
Cindy Carneta
Cindy Carneta Mohon Tunggu... Lainnya - Sarjana Psikologi

Saya merupakan seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Independen vs Mapan: Kok Jadi Ribet?

22 Desember 2024   15:15 Diperbarui: 23 Desember 2024   10:18 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita karier, wanita independen | SHUTTERSTOCK/SEVENTYFOUR

Pernyataan bahwa "banyak wanita independen, tapi pria mapan semakin sedikit" memang cukup menyentil. Tidak butuh waktu lama untuk membelah masyarakat menjadi dua kutub. Satu sisi merasa ini adalah kenyataan pahit yang harus diterima, sementara sisi lainnya menganggap ini sekadar pernyataan subjektif yang bias. Namun, di balik itu, ada fenomena sosial yang layak untuk kita renungkan bersama.

Yang sering kali luput dari perhatian adalah pemahaman bahwa definisi "independen" dan "mapan" itu berbeda-beda untuk setiap individu. Menyamaratakan standar ini justru bisa membuat kita terjebak dalam pola pikir yang membatasi. 

Jadi, mari kita bahas secara lebih mendalam dan terstruktur. Apa sebenarnya yang kita cari dalam sebuah pasangan? Apakah mapan dan independen hanyalah soal angka, atau ada nilai lain yang lebih penting dalam sebuah hubungan?

Definisi Independen dan Mapan: Perspektif yang Berbeda

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita luruskan dua istilah ini.

Independen

Bagi sebagian orang, independen berarti memiliki kemandirian finansial. Namun bagi yang lain, independen bisa berarti mampu membuat keputusan sendiri, stabil secara emosional, dan tidak bergantung pada orang lain untuk bahagia.

Independensi bukan hanya tentang materi, tetapi tentang kontrol penuh atas hidup sendiri, baik dalam pekerjaan, hubungan, maupun kesehatan mental.

Mapan

Mapan sering kali dikaitkan dengan stabilitas ekonomi. Pekerjaan tetap, tabungan cukup, rumah, mobil, dan segala atribut "keamanan finansial".

Namun di sisi lain, ada juga yang memandang "mapan" sebagai kematangan emosional dan kesiapan untuk menjalani kehidupan jangka panjang. Mapan bukan sekadar soal punya uang, tapi juga soal mampu bertanggung jawab.

Jika kita menyadari bahwa kedua kata ini bersifat subjektif, maka "wanita independen" dan "pria mapan" memiliki standar yang berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan. Apa yang dianggap mapan oleh seseorang mungkin tidak sama bagi orang lain. Begitu pula, independen bagi satu individu mungkin memiliki makna yang berbeda bagi individu lain.

Mengapa Fenomena Ini Muncul?

1. Perubahan Peran Gender dan Ekspektasi Sosial

Perempuan modern kini memiliki akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan karier. Mereka tidak lagi dibatasi dalam peran domestik seperti era sebelumnya. Hal ini menciptakan generasi wanita independen yang tidak bergantung pada pasangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sementara itu, ekspektasi sosial terhadap pria sering kali tetap statis. Pria diharapkan untuk menjadi penyedia utama atau "breadwinner". Tekanan ini jauh lebih berat di era modern, di mana biaya hidup semakin tinggi dan persaingan ekonomi semakin ketat. Akibatnya, ada kesenjangan antara peran tradisional dan realita modern.

2. Persepsi Kualitas Pasangan yang Berubah

Wanita independen cenderung mencari pasangan yang setara, baik dalam hal finansial, emosional, maupun mental. Ini bukan soal "menuntut banyak", tetapi tentang keseimbangan dan sinergi. Dalam psikologi hubungan, ini disebut sebagai "equitable relationships". Hubungan yang didasarkan pada prinsip keadilan dan pertumbuhan bersama.

Namun, masalah muncul ketika standar "mapan" atau "independen" diukur dengan satu perspektif saja. Seorang pria mungkin dianggap belum mapan hanya karena ia belum memiliki rumah, padahal ia memiliki visi, tanggung jawab, dan kerja keras yang luar biasa. Begitu pula, seorang wanita independen bisa saja dianggap "terlalu menuntut" hanya karena ia mencari pasangan yang sepadan.

Psikologi Kebutuhan dalam Hubungan: Kesetaraan adalah Kunci

Dalam teori Self-Determination yang dikemukakan oleh Ryan dan Deci (2000), manusia memiliki tiga kebutuhan dasar untuk merasa puas dalam hidup:

  • Autonomy (kebebasan dalam menentukan pilihan hidup).
  • Competence (perasaan mampu dan berdaya).
  • Relatedness (hubungan sosial yang berarti).

Wanita independen sering kali sudah memenuhi dua kebutuhan pertama. Kebebasan dan kompetensi. Hal yang mereka cari dari pasangan adalah relatedness. Sebuah hubungan yang setara dan saling mendukung. Bukan untuk "melengkapi" hidup mereka, melainkan untuk tumbuh bersama-sama.

Demikian pula, pria mapan (dalam arti yang lebih luas) bukan hanya soal memiliki aset material, tetapi juga kesiapan untuk berkontribusi dalam hubungan. Baik secara emosional, finansial, maupun mental.

Bukan Soal Siapa Lebih, Tapi Siapa yang Sejalan.

Alih-alih mempertanyakan "mengapa pria mapan semakin langka" atau "apakah wanita independen terlalu banyak menuntut", kita seharusnya merenungkan apa yang sebenarnya kita cari dalam sebuah hubungan.

Setiap individu memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Ada yang lebih dulu mapan secara finansial, ada pula yang masih berproses untuk menemukan stabilitas emosionalnya. Tidak ada ukuran yang benar-benar objektif dalam hal ini. Yang paling penting adalah menemukan pasangan yang sejalan, yang siap berjalan bersama dalam proses pertumbuhan hidup, apa pun kondisinya saat ini.

Seperti pepatah lama, "Cinta bukan soal menemukan seseorang yang sempurna, melainkan tentang menerima ketidaksempurnaan dan tumbuh bersama."

Keseimbangan adalah Kunci Kebahagiaan

Fenomena ini sebenarnya mengajarkan kita tentang satu hal. Hubungan yang sehat adalah hubungan yang seimbang dan setara. Wanita independen maupun pria mapan bukanlah dua kutub yang saling berlawanan, melainkan dua individu yang seharusnya saling melengkapi.

Dalam proses ini, kita harus berhenti menggunakan standar eksternal untuk mengukur diri sendiri atau orang lain. Setiap individu memiliki definisi "independen" dan "mapan" yang berbeda, sesuai dengan nilai hidup dan prioritas masing-masing.

Yang paling penting adalah bagaimana kita melihat potensi diri sendiri dan pasangan.

Apakah kita siap bertumbuh bersama?

Apakah kita bisa mendukung satu sama lain dalam segala kondisi?

Karena pada akhirnya, kehidupan ini bukan tentang siapa yang lebih cepat mencapai garis akhir, tetapi tentang siapa yang mau berjalan bersama kita, melalui segala proses, tantangan, dan kebahagiaan yang ada di dalamnya.

Jadi, berhenti membandingkan diri dengan standar orang lain. Temukan versi terbaik diri Anda, dan percayalah bahwa pasangan yang sejalan akan hadir di waktu yang tepat. Karena hubungan terbaik adalah hubungan yang saling menghargai, saling memahami, dan tumbuh bersama-sama.

Referensi

  • Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-Determination Theory. Psychological Inquiry.
  • Thibaut, J. W., & Kelley, H. H. (1959). The Social Psychology of Groups.
  • APA. (2019). Men, Masculinity, and Mental Health. American Psychological Association.
  • OECD. (2022). Gender Equality in Education and Work.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun