Mohon tunggu...
Cindy Ismantara
Cindy Ismantara Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswi Trisakti School of Management

Hi Everyone! Have a great day!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rendahnya Budaya Risiko Masyarakat Indonesia Kala Pandemi Covid-19

16 September 2021   22:00 Diperbarui: 16 September 2021   22:40 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, kejadian di dalam kehidupan sehari-hari dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu kejadian pasti, mungkin, dan mustahil. Kejadian pasti dan kejadian mustahil dapat diketahui dengan jelas, baik untuk waktu dimasa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Sebagai contoh, matahari pasti terbit di sebelah timur dan mustahil terbit di sebelah barat.

 Artinya, kejadian pasti dan mustahil dapat diketahui meskipun belum terjadi. Sedangkan, kejadian mungkin artinya kejadian tersebut memiliki peluang untuk terjadi atau pun tidak terjadi. 

Contohnya, ketika seorang anak belajar naik sepeda, ia memiliki kemungkinan untuk terjatuh atau tidak terjatuh. Tidak ada yang bisa memberi kepastian akan hal ini, karena belum terjadi dan belum pasti. Kejadian mungkin ini disebut juga sebagai ketidakpastian.

Ketidakpastian yang terjadi di dunia ini membuat manusia terus berusaha mengenali dan beradaptasi dengan keadaan tersebut. Setiap masalah yang timbul saat ini seringkali berhubungan dengan kekeliruan dalam pengambilan keputusan terkait ketidakpastian dimasa lalu. 

Hal ini lumrah terjadi mengingat kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Hal tersebut bisa disebabkan karena kondisi saat pelaksanaan tidak sama dengan apa yang diprediksikan sebelumnya. 

Saat ketidaksesuaian itu terjadi, kemungkinan kita akan mengalami risiko kerugian, baik yang bersifat material maupun non material. Oleh karena itu, faktor ketidakpastian perlu dipertimbangkan dalam memprediksi risiko yang terjadi, sehingga dapat diantisipasi dengan mitigasi apabila hal yang tidak diharapkan terjadi.

Risiko merupakan dampak dari ketidakpastian dalam mencapai suatu tujuan. Salah satu kunci utama dalam menghadapi risiko adalah menanamkan budaya risiko dalam setiap diri manusia. 

Budaya risiko merupakan sistem nilai, keyakinan, pemahaman dan perilaku manusia dalam bentuk pengambilan keputusan terkait dengan risiko. Konteks mengenai budaya risiko ini pun luas, tidak hanya sebatas pada risiko kerugian materi, melainkan juga risiko keselamatan, kesehatan, reputasi, kinerja, dan lain sebagainya. Lalu, apa yang terjadi jika kita apatis terhadap budaya risiko?

Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dilihat melalui salah satu peristiwa yang terjadi saat ini di hampir seluruh dunia, yakni pandemi Covid-19. Di Indonesia, kesadaran masyarakat di beberapa daerah dalam menerapkan protokol kesehatan masih sangat rendah. Salah satunya di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sebelum meninggal, kedua korban sempat berbaur dengan tetangga dan masyarakat lainnya tanpa protokol kesehatan, terutama tidak menggunakan masker. (Dikutip dari Kompas.com)

Kisah tersebut terjadi pada Sabtu, 3 Juli 2021 malam hari, di mana kakak dan adik kandung berusia 51 dan 40 tahun di Kampung Papagan, Kelurahan Sirnagalih, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Setelah dilakukan cek swab oleh petugas gugus tugas Kota Tasikmalaya, keduanya ternyata meninggal dengan hasil positif Covid-19. 

Pihak keluarga mengatakan bahwa mereka mengira hanya flu biasa. Selain itu, warga di daerah sekitar tempat tinggal tersebut pun tampak acuh terhadap protokol kesehatan. Mereka bahkan berkomunikasi satu sama lain tanpa menggunakan masker.

Tak hanya di Tasikmalaya, beberapa kota lainnya pun menyampaikan rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga protokol kesehatan, salah satunya di Kota Medan.

Masih ada pedagang di pasar yang mengabaikan protokol kesehatan. Sebagian dari mereka pedagang tidak mengenakan masker saat melayani pembeli. Ada yang beralasan gerah, ada pula yang memang tidak membawa masker. (Dikutip dari Pemkomedan.com)

Fakta-fakta tersebut sangat memprihatinkan, mengingat ancaman bahaya dari sikap apatis warga terhadap protokol kesehatan adalah nyawanya sendiri. Padahal, berita dan informasi mengenai dampak Covid-19 sudah sangat meluas dan rasanya tidak mungkin apabila warga tidak mengetahui bahayanya. Namun begitu, mereka tetap mengabaikan risiko yang terlihat jelas di sekitar kita. Alhasil, nyawa yang menjadi taruhannya. Jika budaya apatis risiko ini masih terus berlanjut, maka tak heran jika setiap harinya terjadi penambahan kasus Covid-19 dengan jumlah yang cukup signifikan.

Virus Covid-19 memang sangat mudah menular, tak terkecuali bagi mereka yang sudah menjaga dengan baik kebersihan dan ketat protokol kesehatan. Namun, bagaimana pun tetap dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan protokol kesehatan sebagai tindakan preventif terhadap peningkatan jumlah kasus Covid-19.

Oleh karena itu, penting untuk menerapkan budaya risiko, termasuk di dalamnya memperkirakan dan mengantisipasi kejadian risiko dengan tindakan mitigasi yang sesuai apabila benar-benar terjadi.

Bagaimana mengubah budaya apatis risiko menjadi budaya peduli risiko? Hal ini merupakan suatu hal yang tidak mudah, mengingat bahwa pola pikir atau mindset seseorang akan sulit berubah. Ada beberapa tahap yang harus dilalui, diantaranya:

(1) Sosialisasi

Dalam membentuk budaya risiko, hal pertama yang krusial adalah sosialisasi, karena orang harus memiliki pengetahuan mengenai risiko yang sedang dihadapi.

(2) Membentuk kesadaran

Setelah disosialisasikan, beri kesadaran dengan menyampaikan manfaat dari budaya risiko dan bahaya apabila mengabaikan budaya risiko. Semakin besar manfaat dan bahaya tersebut, kemungkinan budaya risiko yang terbentuk pun semakin kuat.

(3) Memberikan pelatihan

Setelah mengetahui dan memiliki kesadaran tinggi, orang tersebut dapat diberikan pelatihan tentang bagaimana menghadapi risiko yang ada.

(4) Mengadakan sistem reward and punishment

Memberikan pelatihan saja akan percuma apabila ia tidak memiliki kemauan kuat untuk menghadapi risiko. Oleh karena itu, perlu didorong dengan reward atas kepatuhan dan punishment atas pelanggaran yang dilakukan.

Melalui budaya risiko, setiap individu diharapkan mampu mengelola kejadian risiko dan mengantisipasinya. Hal ini penting mengingat budaya risiko dibutuhkan di segala aspek kehidupan manusia, mulai dari keuangan, kinerja perusahaan, kesehatan, keselamatan, reputasi, bahkan nyawa. 

Terlebih lagi dimasa pandemi saat ini, di mana pemerintah sangat menaruh harapan kepada masyarakat supaya memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga protokol kesehatan demi terciptanya Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.

REFERENSI

Prowanta, Embun, 2019. Manajemen Risiko Pasar Modal (ISO 31000:2018)

1234

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun