Hai, namaku Dru. Aku sedang tidak baik-baik. Aku ingin bercerita sama seseorang namun rasanya aku menjadi khawatir dengan tanggapan dia terhadapku.
Aku tak punya siapapun yang bisa aku percaya selain Tuhan.
Kalau aku mau cerita, kau mau dengarkan aku?
Ya sudah kalau kau tak mau dengarkan aku, aku sudah bisa menebaknya. Memang hanya Tuhan yang dapat menjadi teman setia ketika aku sedang sedih, gundah bahkan nyaris bunuh diri. Tapi aku akan tetap memaksamu dengarkan aku.
3...2...1..
Kutata mobil kecilku senyaman mungkin, mobil butut ini aku dapat dengan susah payah bahkan nyaris aku tidak makan agar cicilan mobilku berjalan lancar.
Terkesan memaksakan, tapi kadang kalau tidak dipaksa aku tak akan punya apa-apa.
Kupasang handphone tepat di depanku, kuarahkan pada sudut yang pas agar tidak ganggu jarak pandangku, akan kumulai hari ini. Aku akan becerita tentang obrolanku dengan Tuhan.
Bukan, bukan mau sombong apalagi cari sensasi, hanya ingin mengingat berapa banyak buih dari mulutku yang sudah kutumpahkan pada Tuhan, inginnya saat aku bersujud dan menangis meraung pada Tuhan aku pasang video, tapi kok rasanya ndak lucu, moso cerita sama Tuhan ta umbar-umbar, walaupun ujungnya aku umbar sama kamu tapi setidaknya ada beberapa hal yang tetap menjadi rahasia antara aku dan Tuhan.
Ini bukan kebiasaanku, namun entah kenapa, ketika aku sudah jalan terlalu jauh seolah aku menjadi aku yang bukan aku. Dalam kurun waktu yang sudah terlalu lama, kebodohan ini baru kusadari.
Bukan saatnya berdebat dengan hidup, bukan pula saatnya menyalahkan diri sendiri bahkan menyalahkan kehadiran orang lain untuk kita. Inilah hidup yang sudah aku pilih, inilah pilihan dari banyak hal yang Tuhan sampaikan dan inilah keputusan atas jalan pikir yang telah aku ambil sendiri.
Tangis, gembira, sedih, tertawa semua datang silih berganti.
Kesempurnaan manusia tak ada batasnya, itulah sebabnya banyak orang sampaikan bahwa tak ada yang sempurna.
Bukan, bukan tak ada. Hanya masing-masing orang punya batasan dan pemikiran sendiri tentang sempurna.
Ketika sempurna dan seimbang bersanding, apakah sudah memenuhi kriteria keindahan hidup?
Entahlah. Yang pasti hari ini, malam ini, aku hanya mau kamu dengarkan aku, aku tak perlu kau bisikkan kata manis, aku hanya mau kamu dengarkan aku saja. Ocehanku tak ada nilainya, keluhanku membuat semua telinga tuli.
Ya aku paham, karena akhirnya aku harus akui bahwa aku mungkin bertakdir sendiri, namun dalam perjalanan ini aku sedang berdebat sama Tuhan bahwa aku tak mau sendiri, aku tak ingin menjadi manusia yang lahir, hidup dan mati mendapat perlakuan yang sama, yaitu sendiri.
Angin di luar tak ingin diajak senggama, baru kubuka sedikit jendela mobilku, hembusannya membuat kupingku beku. Tanpa AC, nyalakan radio 103.10 FM dan kupelankan kecepatan mobilku, kubiarkan lampu sepanjang jalanan Bandung membawaku mengitari dinginnya alam malam ini.
Khusyu, kupejamkan mata sekejap saat lampu merah menghadangku.
Bram, kembali mengusik pikiranku. Sakit hatiku mengingatnya. Mulutku sudah tak bisa katakan apapun, selain "Bram, aku mencintaimu".
Perdebatanku dengan Tuhan belum selesai malam tadi. Berkali aku sampaikan bahwa aku meminta Bram untukku. Dan Tuhan hanya tersenyum lalu memintaku bersabar. Sampai kapan aku harus bersabar? Sampai aku sudah bosan? Atau sampai aku sudah tak tahan? Atau sampai aku mengikis rasaku pelan-pelan untuk Bram? Atau mungkin sampai satu hari kutemukan sosok lain pengganti Bram?.
Kamu tahu tidak, tadi pagi aku melihat sepasang muda-mudi bercengkerama begitu mesranya, sorot mata sang lelaki begitu mengasihi perempuan manis di depannya. Aku tak tahu apakah di balik romantisnya mereka adalah memang keindahan atau mungkin sebaliknya, tapi setidaknya sorot mata yang dipancarkan adalah yang kurindukan selama ini. Aku tak pernah punya.
Bulan masih di tempat yang sama, terang menerangi langit yang ditiup angin dengan genitnya. Tepat di depan mesjid Salman, kulihat kembali pemandangan yang membuatku menghentikan mobilku lalu kutatap dalam-dalam.
Sebuah keluarga kecil dengan seorang anak yang begitu gembira melakukan gerakan ke kanan ke kiri, loncat setinggi lutut Ayahnya, Ibunya sibuk mendokumentasikan lompatan-lompatan gadis kecilnya dan sang Ayah siap menangkap kalau-kalau lompatannya terlalu tinggi atau malah membuat jatuh mencium tanah.
"Bu, besok aku ikut shalat lagi ya, biar aku dapat coklat lagi dari ayah."
"Loh, adek mau shalat apa mau dapat coklat?"
"Dua-duanya dong Ibu, aku shalat biar disayang Allah sekaligus dapat hadiah dari ayah, tidak apa-apa kan Ayah?"
"Nda, nda papa kok sayang, dengan kamu ikut ke mesjid saja, harganya jauh lebih mahal dibandingkan coklat yang kamu dapat."
Air mataku menetes, aku bahagia melihatnya. Dan tahukah kamu, pemandangan seperti ini yang aku mau, dan aku tak punya.
Aku ingat, dulu Bapak yang selalu bawa aku ke mesjid, walaupun Ibu kadang sibuk di dapur, susah sekali Bapak ajak ke mesjid, tapi Bapak selalu sabar tunggu Ibu di teras agar Ibu kasihan melihat Bapak lalu akhirnya Ibu ambil wudhu dan ikut Bapak ke Mesjid. Lalu dengan penuh tawa, aku didandani Ibu, diikat ekor kuda rambutku, dipasangkan kerudung oleh Ibu, dibekali mukena, lalu kami sama-sama pergi ke mesjid.
Kata Bapak, dengan kami terbiasa seperti ini, in sya'a Allah kelak kau dan keluargamu akan merasakan hal yang sama kelak.
Ah Bapak, kali ini Bapak keliru. Aku tak sampai pada masa itu.
Entah aku yang terlalu sibuk, atau aku yang tak pandai merajuk atau mungkin memang kesalahanku hingga aku merasa, bahwa bahagiaku hanya sampai pada masa Bapak dan Ibu saja.
Apa salahku Pak, hingga akhirnya aku sampai pada titik yang tidak aku kehendaki.
Aku tak mau seperti ini, aku tak pernah memintanya, bahkan aku jijik melihat diriku sendiri. Tapi Pak, jika aku mau bilang sama Bapak, kali ini aku tak bisa berdusta, kali ini aku ingin memikirkan diriku sendiri, aku ingin seperti Bapak dan Ibu, bersama hingga maut memisahkan.
Kamu tahu, aku pernah menjadi perempuan dengan garis kodrat yang kutulis tegas. Aku pernah mengabdi dengan mengabaikan kepentinganku sendiri, Aku pernah menelan ludah saat tak ada satupun yang bisa kutelan.
Dan aku menyesal.
Hingga pernah mulutku sesumbar, ternyata jadi perempuan nakal lebih menyenangkan daripada menjadi perempuan yang baik tapi tak pernah mendapat yang baik.
Hatiku berontak, mataku menatap liar. Aku berperang.
Dasar aku perempuan dungu, aku salah mengokang. Peluruku sampai bukan pada laki-laki yang tepat. Bram menangkap peluruku.
Aku yang dungu terpana melihat Bram, kubiarkan luka hatiku pulih oleh Bram. Kubiarkan masa laluku dipoles pelan-pelan oleh Bram. Kubiarkan senyumku kembali hadir oleh Bram dan kubiarkan binar mataku kembali terpancar oleh Bram.
Tuhan, Tuhan di mana?
Apa doaku kurang kencang? Atau doaku tidak baik? Atau harapanku terlalu banyak? Atau apa Tuhan?
Aku yang sempat mati rasa terhadap dunia, Engkau berikan kembali rasa itu melalui Bram. Aku yang sempat putus asa oleh hidup, Engkau sambung kembali melalui Bram. Dan sekarang saat aku meminta Bram, Engkau minta aku bersabar?
Mau Tuhan apa untukku? Aku lemah, kali ini aku kalah ya Tuhan.
Aku yang begitu kuat menerima caci dan maki, tak kuasa saat alunan cinta perlahan mengisi aliran darah di nadiku. Aku yan bisa berdiri tegak saat telingaku dijejali kata kotor, lumpuh oleh bisikan tentang sabar dan menunggu.
Ketahuilah Tuhan, dan aku sangat yakin Engkau paham isi hatiku. Aku memintanya dengan sangat. Dengan segala kerendahan hatiku, ampuni aku, aku memintanya, aku memintanya, dan aku memintanya.
Perlahan kubuka mataku. rasanya malam ini cukup untuk aku cerita padamu. Besok kuajak kamu berkeliling lagi. Kau siapkan saja telingamu, mungkin besok ceritanya akan jauh lebih menarik.
Air mataku tak lagi menetes, tak ada kamu yang mengusapnya.
Oh aku keliru, air mataku sudah mulai kering, karena aku yakin, kau usap air mataku dengan doamu. Iya kan Bram?
Bandung, 26 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H