Tangis, gembira, sedih, tertawa semua datang silih berganti.
Kesempurnaan manusia tak ada batasnya, itulah sebabnya banyak orang sampaikan bahwa tak ada yang sempurna.
Bukan, bukan tak ada. Hanya masing-masing orang punya batasan dan pemikiran sendiri tentang sempurna.
Ketika sempurna dan seimbang bersanding, apakah sudah memenuhi kriteria keindahan hidup?
Entahlah. Yang pasti hari ini, malam ini, aku hanya mau kamu dengarkan aku, aku tak perlu kau bisikkan kata manis, aku hanya mau kamu dengarkan aku saja. Ocehanku tak ada nilainya, keluhanku membuat semua telinga tuli.
Ya aku paham, karena akhirnya aku harus akui bahwa aku mungkin bertakdir sendiri, namun dalam perjalanan ini aku sedang berdebat sama Tuhan bahwa aku tak mau sendiri, aku tak ingin menjadi manusia yang lahir, hidup dan mati mendapat perlakuan yang sama, yaitu sendiri.
Angin di luar tak ingin diajak senggama, baru kubuka sedikit jendela mobilku, hembusannya membuat kupingku beku. Tanpa AC, nyalakan radio 103.10 FM dan kupelankan kecepatan mobilku, kubiarkan lampu sepanjang jalanan Bandung membawaku mengitari dinginnya alam malam ini.
Khusyu, kupejamkan mata sekejap saat lampu merah menghadangku.
Bram, kembali mengusik pikiranku. Sakit hatiku mengingatnya. Mulutku sudah tak bisa katakan apapun, selain "Bram, aku mencintaimu".
Perdebatanku dengan Tuhan belum selesai malam tadi. Berkali aku sampaikan bahwa aku meminta Bram untukku. Dan Tuhan hanya tersenyum lalu memintaku bersabar. Sampai kapan aku harus bersabar? Sampai aku sudah bosan? Atau sampai aku sudah tak tahan? Atau sampai aku mengikis rasaku pelan-pelan untuk Bram? Atau mungkin sampai satu hari kutemukan sosok lain pengganti Bram?.
Kamu tahu tidak, tadi pagi aku melihat sepasang muda-mudi bercengkerama begitu mesranya, sorot mata sang lelaki begitu mengasihi perempuan manis di depannya. Aku tak tahu apakah di balik romantisnya mereka adalah memang keindahan atau mungkin sebaliknya, tapi setidaknya sorot mata yang dipancarkan adalah yang kurindukan selama ini. Aku tak pernah punya.