Kamar 212, pertama kali diajak oleh Dru ke tempat yang akhirnya kuketahui bernama Hotel.
Desain minimalis dengan dominasi warna putih tulang membuat ruangan yang disewa Dru membuatku nyaman sejenak, setidaknya sampai pada waktu Dru menceritakan masalahnya.
Kamar yang aneh, atau apakah memang hotel begini adanya?.
Di sudut meja sudah tersaji segelas kopi dan satu porsi Kebab Turki. Atau apakah Dru sudah memesan sesuatu sebelum dia memasuki kamar ini?
Dru ini kebiasaan, setiap habis pergi yang dia lakukan pasti mandi. Kenapa tidak dia lihat sekeliling dulu sih.
Kubiarkan Dru melepas penatnya. Seharian bermandi keringat di jalanan telah membuat Dru diam seribu Bahasa, ditambah dengan fokus berlebihan terhadap cerita Tania membuatku sedikit deg-degan. Aku tidak mau Dru yang kukenal menjadi berubah watak dan kebiasaannya.
Sepanjang aku menemani Dru, dia adalah orang yang sangat pemaaf. Dari sekian bacaan yang Dru miliki, tidak pernah ada satupun bacaan berbau pembunuhan seperti itu. Dru orangnya penakut, mendengar acara Nighmare di Radio Ardan saja akan membuat Dru melompat di balik kursi, padahal mau kemana lari pun suara dari radio tetap akan terdengar. Sayup kudengar Dru bernyanyi, dan aku masih perhatikan sekeliling ruangan ini.
Satu asbak berwarna hijau, dengan beberapa punting rokok di dalamnya.
"Dru, cepat mandinya. Aku mau bicara!"
"Sebentar aku masih mau main air dulu. Mau apa sih, kaya bisa mandi saja?"
"Banyak tanya. Cepat mandinya!!!"
Masih dengan handuk dan rambut yang basah, Dru segera selesaikan mandinya. Laela tidak biasanya membentak Dru seperti itu.
"Apa sih Laela. Aku tuh pusing tahu tidak?. Sepanjang jalan naik Bus itu tidak enak."
"Yang suruh kamu naik bus siapa?. Yang suruh kamu ada di sini siapa?"
"Ya tidak ada, aku hanya kesal saja."
"Gila kamu ya, kesal itu belanja, curhat, nonton atau apa gitu. Ini kenapa harus siksa diri sih?"
"Terserah aku dong. Apa hak kamu atur-atur aku?"
"Oh begitu. Baik aku tidak mau lagi temani kamu. Aku bosa ikuti egomu terus."
Dru lemparkan handuknya, sibuk obrak abrik koper.
Aku yakin di dalam koper isinya berantakan, juga tidak karuan. Aku yakin pula Dru tidak tahu barang apa saja yang sudah dia masukkan ke dalam koper.
"Sial, ternyata tidak ada Bra dan CD di koperku. Terus aku pakai apa Laela?"
"Masih mau tanya sama aku?"
"Ah terserah. Aku mau tidur saja."
"Enak saja kau tidur. Lihat di sudut meja, rokok siapa itu? Lalu Kebab Turki dan kopi punya siapa? Kamu masukkan laki-laki ke dalam kamar hotelmu?"
"Gila kamu Laela. Sebejatnya aku masih bisa berpikir jernih. Sekuatnya aku ingin membunuh orang, masih ada iman yang melarang aku."
Aku bosan dengar Dru membela diri. Kubiarkan dia ganti baju dulu lalu membereskan seluruh isi kopernya ke lemari.
"Dasar aneh kamu Dru. Aturan kamu cari tahu dulu itu kopi dan kebab siapa?"
"Iya sebentar."
"Kalau ternyata kamar ini ada penghuninya bagaimana?"
"Tidak mungkin, aku akan complain ke pihak hotel kalau seperti itu."
"Artinya kamu memang sengaja mengundang laki-laki ke kamarmu?"
"Tidaaaaak. Tidak Laela."
Akhirnya Dru menuruti apa mauku. Dia perhatikan meja yang kumaksud.
"Hahahahah. Laela, Laela. Kalau norak jangan bilang-bilang."
"Kurang ajar kamu ya, aku dibilang norak."
"Hey hello. Ini bukan kopi. Ini Syrup Blackcurrant dan di sini tertulis welcome drink."
"Apa itu welcome drink?"
"Sudah tak usah tahu. Toh kamu tidak minum juga."
"Lalu itu kebab siapa?"
"Mana siiiii. Ini bukan kebab sayangku, ini handuk muka yang dibuat menyerupai makanan. Lagi sok tahu banget kebab Turki. Memang sudah pernah makan?"
"Ah malu aku. Rupanya aku yang tidak tahu apa-apa. Lalu itu asbak penuh rokok?"
"Hadeuh. Ini pun bukan rokok. Coba lihat ini ada tanda silang merah. Ini hanya dummy bahwa di kamar ini tidak boleh merokok. Paham?"
Keanehan Dru wajar kutangkap. Sebagai perempuan kuat seharusnya dia bisa melewati masa-masa sulit tanpa harus melarikan diri seperti ini.
Masa iya Cuma karena seorang Rei, hidupnya jadi luluh lantah begini. Enak banget Rei diagung-agungkan oleh Dru.
"Heh, tidak usah dumel. Aku dengar semua."
"Sok tahu Dru. Sok bisa denga raku."
"Bisa lah Laela. Dengar, aku sudah tidak peduli dengan Rei. Jika memang takdirku bukan dengannya, apa mau dikata. Sampai detik ini aku selalu berusaha menjadi manusia yang baik. Jika ternyata aku melakukan kesalahan, percayalah Laela aku punya alasan dan keyakinan yang kuat."
"Maksudmu Dru?"
Dru mematikan lampu kamar. Lagi-lagi ini bukan kebiasaan Dru. Atau memang di hotel ada peraturan bahwa tidur harus matikan lampu? Bukannya mati atau hidup bayarnya tetap sama ya?.
Ambil posisi menghadap cermin, Dru langsung tarik selimutnya.
Aku kira ada yang aneh. Dru menyembunyikan sesuatu. Kenapa akhir-akhir ini Dru tidak lagi terbuka padaku.
"Laela, kau belum tidur?"
"Laela...."
Kamar kembali terang, semua lampu dihidupkan oleh Dru. Perkiraanku tepat bahwa ada yang disembunyikan oleh Dru.
Tuhan,Â
Jika menurutMu aku sanggup melewati semua ujianmu, akan aku ikhlaskan semuanya.
Jika masih ada kesalahan yang belum aku tebus, mohon maafkan
Jika ada permintaan yang tak berkenan, berikan ampunan
Aku tak punya kuasaÂ
Kiranya Engkau merasa
Bahwa ada rasaÂ
Yang membuatku tertawa
Â
Telah kupanjatkan jutaan doa
Telah kulakukan segala upaya
Tolong tiupkan kepadanya
Bahwa doa saja tak akan menjadi raja
Â
Izinkan dia berusaha
Izinkan dia berupaya
Berikan dia daya
Untuk menjemputku dalam bahagia
Sayup kudengar dengan sedikit getir.
"Oh Dru apa yang salah dari diriku hingga kau tega untuk menutup diri kala kau merasa sendiri?"
"Laela, kau belum tidur?"
"Mana bisa aku tidur, jika kau gundah gulana. Kau pikir aku tak merasakannya?"
"Maaf Laela. Kali ini aku hanya perlu Tuhan saja yang mengetahuinya."
"Kau tak menganggapku ada?"
"Bukan, bukan begitu."
"Lalu, aku tak akan pernah berpisah darimu Dru. Kau harus pahami itu."
Tak tega kuteruskan bertanya pada Dru.
Tatapan kosong disertai genangan yang sudah menggelayut dan sebentar lagi akan pecah.
Boom.
Semua pajangan hotel berjatuhan. Lampu berkedip, semakin lama semakin melambat. Ruangan gelap gulita.
Kali ini bukan ulah Dru. Dru berteriak mohon ampun. Aku tak paham dengan yang terjadi.
"Kau mau apa?. Kau ini siapa?"
Berulang kali Dru mengatakan hal yang sama, namun tak ada satupun suara yang keluar selain suara teriakan Dru dan berjatuhannya semua yang berada di meja.
"Ampun, jangan lukai aku. Aku tidak tahu siapa kamu, aku tidak tahu salahku dimana."
Sunyi, aku menjadi khawatir dengan kondisi Dru. Apakah Dru baik-baik saja.
Kucari Dru pelan-pelan. Masih terdengar sedikit suara nafas Dru dan sedikit rintihan. Apakh Dru kesakitan?. Ya Tuhan ada apa ini sebenarnya.
Dari Lorong hotel kudengar sura orang berlari dengan cepat.
Satu orang, oh bukan. Dua orang.
Ah bukan, ini terlalu banyak orang. Mau kemana mereka. Suara sepatu PDH terdengar jelas. Terlalu banyak orang bicara hingga aku tak memahami jelas yang sedang mereka bicarakan.
Braaak.
Kagetnya bukan main.
Kamar kembali menyala dan ruangan kamar Dru sungguh berantakan.
Laki-laki itu. Entah siapa namanya, dia segera menyelamatkan Dru.
Dalam kondisi terikat tangan dan kakinya serta baju tidur yang sudah tidak karuan. Keluar darah sedikit dari ujung bibir Dru yang sudah disumpal dengan kain seprai tempat tidur kami.
Ya Tuhan, Apakah Dru baik-baik saja?
#Bandung, 27 Oktober
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H