Mohon tunggu...
Cika
Cika Mohon Tunggu... Tutor - ...

No me gusta estar triste . Pecinta "Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang" #WARKOP DKI . Suka menjadi pekerja tanpa melewati titik kodrat wanita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan Kira Aku Kuat

27 Agustus 2020   01:31 Diperbarui: 27 Agustus 2020   01:29 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua laki-laki itu sama, jangan debat denganku. Aku yakinkan sekali lagi bahwa semua laki-laki itu sama.

Menenggelamkan ke dalam bantal berlama-lama, menarik selimut kembali lalu melamun sambil berdoa agar aku terlelap lalu bermimpi indah.

Barisan awan putih bersih sedikit tebal, kakiku cantik saat menapak dan melangkah. Rok lipit gemerlap menyempurnakan penampilanku. Rupanya Tuhan mengabulkan permohonanku. Di sini hanya aku sendiri, ya Tuhan aku benar-benar dapat berteriak tanpa mengganggu mahluk hidup lainnya.

Pantas aku dokumentasikan, kucari kamera kesayanganku, kubuat naskah tentang ratapan-ratapan yang akhir-akhir ini mengganggu hidupku. Tidaklah berlebihan jika kubilang mengganggu hidupku, karena memang dengan berjauhan dari Bram, hidupku berubah drastis, nafsu makan menurun, semangat menyambut pagi tidak ada, tarik nafas saja kalau bisa didelegasikan, akan aku delegasikan.

"Hai, Guys. Hari ini aku happy banget, penasaran kan ada apa saja di pagiku kali ini. Ikutin yuk!"

Ah, kok garing pengantar videonya ya. Hmm, bagaimana kalau begini, "Jangan ngaku bahagia kalau belum datang ke Kerajaan Awanku, di sini kamu bisa bahagia karena cuma kamu yang tinggal di sini."

Duh, makin tidak jelas.

Aku tak perlu video, aku tak perlu dokumentasi, aku tak perlu teman, aku tak perlu apapun, aku hanya perlu waktu untuk sendiri.

Pelan-pelan kuinjak barisan awan yang sudah disiapkan Tuhan. Tak ada lampu namun terang dan cerah. Tak ada alunan musik namun sangat tenangkan hati, tak ada manusia lain di sini namun sangat membuat hatiku kembali ramai dan berwarna.

"Permisi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"

"Loh kamu siapa?. Bukannya di sini tidak ada manusia lain selain aku?"

"Aku pelayanmu. Katakan jika kau perlu bantuan!"

"Tolong hapus ingatanku tentang Bram!"

"Maaf Nona, aku tidak diperkenankan untuk menghapus kenangan indah."

"Siapa bilang indah, itu menyakitkan."

"Maaf Nona, kau bilang indah karena kau sedang marah padanya."

Kutinggalkan pelayan yang aku sendiri tak tahu namanya. Dibekalinya aku sebuah harmonika, alunan Harmonika ini akan terdengar hingga ke ujung barisan awan. Semakin jauh aku melangkah, awan ini semakin tebal namun semakin cantik.

"Permisi Nona, jangan terlalu jauh melangkah, kelak bila kau lupa jalan pulang maka kau tak akan kembali ke duniamu!"

"Bagus dong, aku tak mau kembali."

"Maaf Nona, tempat ini bukan tempat peristirahatan terakhir. Hanya untuk singgah agar hatimu kembali mekar dan berbahagia saat kau bertemu dengan pujaan hatimu."

"Sok tahu ya kamu, aku tak punya pujaan hati. Basi semua yang namanya laki-laki. Cukup sudah aku menunggu dan berdoa. Aku lelah."

"Minumlah ini Nona. Pelan-pelan dan habiskan. Kau akan tahu siapa yang tulus mencintaimu saat kau bertemu dengan ampas minuman ini."

Kuambil minumannya, namun enggan aku minum.
Aku takut, jika tak ada bayangan di dalam ampas tersebut atau ternyata yang tampak bukanlah Bram.

Bram lagi, Bram lagi. Harus bagaimana aku melupakannya, jika dalam segala cara yang sudah aku tempuh malah membuat aku semakin jatuh cinta padanya.

Persetan dengan peringatan untuk tidak melangkah terlalu jauh, aku memang tak mau kembali. Untuk apa aku kembali jika dengan kembali hanya akan membuat hidupku makin tidak karuan.

"Nona, Nona manis."

"Tak ada pelayan seperti yang tadi, namun suaranya sangat aku kenal."

"Bangun, apa perlu aku kecup agar putri cantikku kembali menjelma menjadi sosok penuh cinta?"

Bram tepat di depanku. Seingatku aku sudah kunci pintu kamarku, lalu bagaimana caranya Bram bisa masuk ke kamarku?

"Kamu lelap sekali tidurnya, memang semalam tidur jam berapa sih?. Pasti kamu tidak shubuh. Mandi sana kita dzuhur bareng yuk!"

"Sebentar, ngapain kamu di sini. Ganggu mimpi orang saja. Pulang sana!"

Bram beranjak dari tempat tidurku dan dia benar-benar meninggalkan aku. Aku tak percaya dengan pemandangan ini. Tapi baiklah. Pergilah kau Bram, aku tak perlu kamu. Aku tak perlu pendamping, aku tak perlu laki-laki. Karena buatku sama saja, semua laki-laki yang diciptakan di sekelilingku, tugasnya hanya untuk menyakiti aku, membuatku menangis, rapuh, lemah dan tidak berdaya.

Bagus jika kamu pergi Bram, setidaknya aku tidak akan buang waktuku untuk menunggumu di setiap pagi dan setiap hari.

Dasar laki-laki tidak peka. Jauh-jauh kau dari hidupku. Aku kuat. Aku yakin aku kuat.

Tuhan memberiku banyak ujian. Ya aku yakin ini ujian, aku sudah ikut kelas Tuhan sedemikian banyak. Sebisa mungkin aku hadir di setiap kelas-Nya. Sampai saat ini Tuhan kira aku kuat. Aku masih berjibaku dengan perjuanganku.

Baiklah Tuhan, aku kuat, aku yakin aku kuat. Tak akan ada tangis. Jika Bram juga bukan untukku, silakan saja. Aku bisa sendiri. Aku terbiasa sendiri.

Penghuni dunia mentertawakan kesedihanku. Segera kuambil air wudhu. Kuikhlaskan segalanya.

Sajadah terhampar dengan mukena cantik berwarna pastel. Setangkai bunga dan selembar kertas berbunyi "Jika kau izinkan aku untuk jadi imammu, tunggu aku."

Bau Bram menyengat hebat, tangisku pecah.

"Terlalu rindukah aku hingga kamu selalu hadir disetiap penolakanku?"

"Aku sudah wudhu, aku siap jadi imammu."

Ya Tuhan rupanya Bram tidak pergi.

Mataku tak dapat lagi berbohong. Semoga Bram mampu membaca harap yang kutitipkan pada tatapanku.

Harmonika aku tiup, aku sudah terlalu jauh melangkah.

"Pelayaaaaaan, cepat datang. Bantu aku untuk kembali. Aku lupa sudah berbelok berapa kali dari awal aku injakkan kaki di sini."

Kemana mereka, katanya dengan meniup harmonika akan membuat mereka datang membantuku.

Terlalu lelah meniup harmonika. Kuminum segelas air yang dari tadi aku genggam. Hanya air putih, pelayan tadi berbohong. Bagaimana caranya air putih memiliki ampas.

Glek, glek, glek.

Semakin aku minum, warnanya berubah. Gelap, semakin pekat. Dan Bram hadir di tetes terakhir minumanku.

Kutiup harmonikaku. Aku mau pulang. Aku mau bertemu Bram. Aku mau bertemu dengan laki-laki yang tulus mencintaiku.

"Sssst, bangun. Nyenyak sekali sih. Maafkan aku ya Dru. Jika aku lagi-lagi membuatmu ragu."

Kupeluk erat Bram, janjiku pada Tuhan aku tak akan lepaskan Bram. Demi apapun aku tak sanggup sendiri, aku tak kuat sendiri dan aku tak bisa hidup tanpa Bram.

#Bandung, 27 Agustus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun